MEMBERI DENGAN CINTA / Kisah Para Rasul 20:17-35

 


 

Bagian ini merupakan rangkaian penutup dari “pidato perpisahan” dengan para penatua Efesus di Miletus, sebelum Paulus akan berangkat ke Yerusalem. Kali ini, Paulus tidak bisa datang ke Efesus, karena itu ia menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua jemaatlah yang datang ke Miletus dan menjumpainya di sana.  Hal ini mungkin karena ada sesuatu yang hendak dikerjakan, entah dengan rencana pelayaran atau keinginan untuk menghindari pertikaian di Efesus. Dan keputusan ke Yerusalem bukanlah semata-mata keputusan Paulus, melainkan juga karena Roh Kudus telah menetapkan keputusan atas Paulus dengan berbagai cara. Hal ini nyata dari bahasa Paulus yang tegas kepada para penatua itu “sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem” (ayy. 22). Serta diakhiri dengan suasana yang sangat emosional, doa bersama yang disertai dengan cucuran air mata, pelukan, dan ciuman.

Secara umum, ada 3 bagian pesan perpisahan Paulus

·        Mengulas tentang masa lalu (18-21) menekankan pada kesetiannya pada Tuhan dan gereja-Nya selama 3 tahun melayani di Efesus ditengah tantangan yang berat.

·        Membahas tentang masa kini (22-27), mengungkapkan perasaan pribadi Paulus tentang masa lalu dan masa depan.

·        Berbicara tentang masa depan (28-35), memperingatkan mereka tentang bahaya yang akan dihadapi gereja-gereja.

Di dalam acara perpisahan tersebut, Paulus berharap agar ketika ia meninggalkan jemaat Efesus, mereka dapat tetap berdampak bagi sesama. Salah satu yang ditekankan oleh Paulus adalah tindakan untuk saling memberi. Memberi merupakan wujud kepedulian terhadap sesama. Dengan memberi, setiap orang dapat saling menopang dan ikut merasakan pergumulan orang lain. Semangat memberi inilah yang oleh Paulus, dengan mengutip perkataan Yesus, dikatakan akan mendatangkan kebahagiaan.

Namun, mampukah kita “memberi” di dunia yang semakin penuh dengan kompetisi ini? Ketika semua orang, hanya memikirkan tentang persaingan dan dirinya sendiri? Bahkan dalam hal kebaikan, semakin kemari “kebaikan” juga menjadi sesuatu yang sifatnya menjadi “persaingan”. Salahkah? Saya juga tidak mampu menilainya. Namun Mother Teresa pernah mengatakan "I am not sure exactly what heaven will be like, but i know that when we die and it comes time for God to judge us, he will not ask, 'How many good things have you done in your life?' rather he will ask, 'How much love did you put into what you did?" (Saya tidak dapat memastikan seperti apa surga itu, tetapi yang saya tahu, ketika kita meninggal, itulah waktu Allah untuk menghakimi kita. Ia tidak akan bertanya, "berapa banyak hal baik yang sudah kamu lakukan di hidupmu?", melainkan "sebesar apakah cinta yang sudah kamu taruh di setiap apa yang kamu lakukan?")

Ya, ini soal menaruh cinta dalam setiap kebaikan yang kita bagikan tanpa terjerat dengan kata imbalan dari manusia ataupun Tuhan. Karena, menaruh “cinta” dalam setiap kebaikan menumbuhkan kebahagiaan dan kedamaian.

Itulah mengapa “Investasi Kebaikan” menjadi sesuatu yang saat ini diperjuangkan. Sebab, mereka yang berinvestasi selalu menyadari untung dan rugi, tetapi mereka tetap melakukannya dengan sukacita. Suatu hal yang layak juga kita tanamkan dalam “kebaikan”, bukan hanya tanah, emas dsb.

Sehingga kita tidak terlalu kecewa ketika kebaikan kita disia-siakan. Sebab, kitapun menyadari bahwa Yesus pernah menyembuhkan 10 orang penderita Kusta namun hanya seorang yang kembali untuk berterima kasih.

Sesuaut yang juga sering dipertanyakan kepada banyak orang, “BAGAIAMANA MUNGKIN AKU MELAKUKAN KEBAIKAN, KALAU PADA AKHIRNYA BANYAK ORANG HANYA MEMAANFAATKAN KEBAIKANKU?”

Terakhir, bicara soal “memberi” akan sangatlah sulit dilakukan oleh beberapa orang yang hanya menunggu “momen” (mis; saat kampanye, saat kaya, saat perayaan dsb). Padahal. Mother Teresa pernah mengatakan "Not all of us can do great things. But we can do small things with great love". (Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Tetapi kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan penuh cinta).

Sampai kapanpun, seorang yang selalu mencari dan menunggu momen untuk “memberi” akan sulit mengaplikasikan pesan perpisahan Paulus di jemaat Efesus. Karena yang paling dibutuhkan dalam kita memberi bukan “momen” bukan pula “materi”. Semua ini tentang menaruhkan “cinta” yang besar dalam setiap hal yang kita lakukan.

Komentar