SEBUAH MIMPI TENTANG SALIB “KARO” SEBAGAI KONTEKSTUALIASI DALAM MASYARAKAT KARO


Oleh Det Aron Ginting Manik, S.Si (Teol) C,CM

Simbol dalam Kekristenan memiliki kedudukan yang penting bagi Umat. Sebab simbol-simbol Kekristenan, kerap menjadi perantara Umat untuk dapat merasakan kehadiran Sang Ilahi, Seperti Salib yang dalam setiap kesempatan, perjalanan, keseharian umat Kristiani selalu menyertakan simbol Salib. Hal ini bertujuan agar umat meningat keikutsertaan Tuhan dalam setiap perjalanan hidup manusia[1]

Rasul Paulus adalah salah satu penulis Perjanjian Baru yang sangat tertarik dengan tema Salib. Moriss menjelaskan pernyataan di atas sebagai berikut, “Bagi Paulus makna salib itu begitu besar, sehingga banyak masalah dapat diselesaikan oleh salib.”[2] Salah satu contoh ketika terjadi friksi di Jemaat Korintus, Paulus menghadapkan semua friksi dengan pusat ajaranya yaitu salib Kristus (1 Korintus 1:12-19).[3]

Menjadi pertanyaan adalah, “apakah dimungkinkan simbol Salib mengalami proses inkulturasi/ kontekstualisasi?”

Anthony dalam tulisannya mengenai inkulturasi / kontekstualisasi memberikan penjelasan yang menarik mengenai proses ‘bagaimana religious belief and practice’ terjadi. Jika belief merupakan sistem makna dan nilai dari suatu agama, sedangkan simbol keagaman adalah salah satu unsur tindakan praktis dan merupakan aspek ekspresi dari pemahaman agama tersebut, maka menurut Anthony, keduanya tidak bisa tidak akan berinteraksi dengan sistem nilai dan ekpresi yang hidup di tengah masyarakat. Sistem nilai suatu agama akan berjumpa dengan sistem nilai, filosofi, ilmu yang hidup pada suatu budaya lokal di mana agama itu hidup. Demikian juga simbol Salib saat berjumpa dengan pemahaman masyarakat lokal. Dalam relasi dan komunikasi ini kedua sisi saling mempengaruhi satu dengan yang lain, dan pada akhirnya terjadilah suatu proses dialog / komunikasi. [4] Atau dengan kata lain, menjawab pertanyaan sebelumnya maka simbol Salib juga dimungkinkan untuk mengalami proses inkulturasi/kontekstualiasi. Sebab simbol Salib yang ada bagi Masyarakat Karo selama ini belum berinteraksi dengan ekspresi-ekspresi budaya. Sebaliknya, perjalanan ibadah selama ini menunjukkan, Masyrakat Karo yang selalu menyesuaikan dengan simbol Salib dari para penginjil terdahulu.

Adapun usulan Salib yang mengalami proses inkulturasi/kontekstualisasi adalah sebagai berikut;

Gambar Salib

-          Tampak Depan

 

-          Tampak Belakang








-          Tampak Sisi Kanan dan Kiri

 

 

 

 

 

 

-          Detail




 

-          Bahan Dasaar Salib (Pilihan Kayu Jatuh, Kayu Pengkih dan Kayu Juhar)

Pemilihan bahan dasar dari Salib “KARO” ini diambil dari Kayu-kayu yang secara umum digunakan dalam bangunan-bangunan dasar orang Karo seperti Kayu Jatuh, Kayu Pengkih dan Kayu Juhar. Seperti diketahui, maka Masyarakat Karo dahulu memakai kayu-kayu ini sebagai penopang bangunan bangunan Rumah ataupun Jambur. Sehingga penggunaan bahan dasar kayu ini, mengisyaratkan kepada Masyarakat Karo tentang dasar yang teguh adalah Firman Tuahn yang hidup yaitu Yesus Kristus

-          Segita dalam setiap Sudut Salib (Trinitas dalam Rakut Sitelu)

Secara sekilas segitiga dalam setiap Salib mengambarkan kesan Bintang Timur yang menjadi pemaknaan akan kehadiran Yesus Kristus di Dunia. Lebih daripada itu,dalam Masyarakat Karo, ada istilah “Rakut si telu” ini sebagai tatanan hidup dalam pola berpikir multi level mindset. Setiap orang dalam konteksnya bisa menjadi Kalimbubu (orang yang di tuakan, dihormati atau dirajakan), menjadi Sembuyak (orang yang mempersatukan keluarga dan saudara untuk membangun kehormatan hidup bagi kalimbubu) dan menjadi Anak Beru (sebagai orang yang menghambakan dan melayankan dirinya demi kabaikan kalimbubu dan pihak sembuyak).

Secara sederhana, tatanan hidup orang Karo sangat menghormati semua posisi kehidupan. Semua posisi sangat terhormat dan menyatu dalam kesalingtergantungan. Keistimewaan budaya orang Karo dibangun dalam pikiran, karakter dan mental yang bisa hidup sebagai raja, sebagai kerabat dan pelayan.

Pikiran ini, muncul dari Pdt Krismas Imanta Barus yang melihat tatanan hidup ini seperti Allah Tri Tunggal, yang adalah Raja atas kehidupan (Kalimbubu), tapi juga datang ke dunia menjadi sama seperti manusia (Sembuyak), dan sebagai Roh Kudus menjaga kehidupan manusia walau IA tidak kelihatan.(Anak Beru)[5]

Demikianlah bentuk Segita dalam setiap sudut salib, menjadi pengingat bahwa Kombinasi Ke-Tritunggalan Allah dan Rakut Si Telu dalam Masyarakat Karo merupakan potensi Spirit Koinonis yang sangat istimewa dalam membangun tatanan hidup manusia.

 

-          Bentuk Horisontal Salib Kebawah (Allah yang Memberkati)

Seperti umumnya yang kita ketahui, maka Salib berbicara juga tentang perintah Allah. Sisi vertikal menggambarkan perintah untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan. Sisi horizontal merupakan perintah Allah untuk mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri (Luk. 10:27).Namun, dalam Salib (belum ada nama) sisi vertical yang secara umum lurus 900 dibentuk menjadi turun 1200.

Tentu perubahan ini bukan untuk merubah makna yang dikenal secara umum, hanya menyadari bahwa Tindakan Salib juga merupakan “Berkat” dari Allah kepada manusia. Melalui kematian Yesus di Kayu Salib maka ada keselamatan, ada pemulihan hubungan manusia dengan Allah, ada jalan untuk datang kepada Bapa di surga. Inilah berkat yang luar biasa telah manusia rasakan melalui peristiwa Salib.

Dalam berbagai acara peradatan, Masyarakat Karo yang menjadi Kalimbubu melakukan sikap untuk memberkati dengan menurunkan tangan 1200 dan meletakannya diatas kepala anak berunya. Atas dasar ini juga, maka Salib dirubah bentuk sedemikian rupa.

-          Sisi Putih yang Menjorok Kedalam

Secara umum Salib memiliki bentuk yang rata, namun dalam Salib (KARO), bentuk salib dibuat menjorok kedalam. Sesuatu yang menggambarkan cinta Ilahi kepada Umat Manusia. Selain daripada itu, titik pertemuan hubungan Horisontal dan Vertikal dalam keimanan juga harus bertumpu oleh dan karena Cinta Ilahi.

 

-          Bentuk Salib yang Maju Kedepan (Allah yang Dekat dan Mendekati)

Secara umum Salib memiliki bentuk yang rata, namun dalam Salib (KARO). Bentuk Salib dibuat agar maju kedepan sebagai kesadaran akan Allah yang Dekat dan Mendekati manusia. Tentu, hal ini bukan sekedar perbincangan teologia saja. Sebab disadari maka, kehadiran Tuhan selama ini di Masyarakat Karo secara keseluruhan terbilang jauh. Dapat dilihat dari Masyrakat Karo yang masih mempercayai Agama Pemena, mereka merasakan bahwa hubungan dengan Tuhan itu hanya dapat dilakukan oleh seorang Guru. Dengan menghadirkan pemaknaan Tuhan Dekat dan Mendakati, Salib “Belum Ada Nama” menjadi pesan yang menambah pemaknaan Masyrakat Karo akan hubungannya bersama Tuhan.

-          Kombinasi 3 Warna dalam Salib ( Putih, Hitam dan Merah)

Benang Sitelu Rupa adalah warna dasar dalam kehidupan sehari-hari suku Karo. Kombinasi warna ini dijadikan sebagai suatu simbol, yang disebut juga sebagai "benang benalu". Pada umumnya, benang-benang dengan warna tertentu ini, digunakan sesuai dengan karakter upacara pada adat tradisi suku Karo. Dalam busana Karo, Benang sitelu rupa digunakan salah satunya pada "tudung" dalam acara adat budaya suku Karo

Adapun warna dari Benang Sitelu Rupa sebagai berikut: Mentar (Putih) Warna putih melambangkan cahaya. Itu adalah simbol kesucian, bersih, sifat ketuhanan, dan sebagainya yang semakna.Merah (Megara) Warna merah pada suku Karo melambangkan matahari. Itu adalah simbol panas, hangat, gairah, darah, kekuatan, daya dan sebagainya dalam pengertian yang sejenis. Mbiring (Hitam) Warna hitam melambangkan tanah. Itu juga bisa diartikan sebagai simbol kedukaan, pemanggilan roh-roh leluhur, dan sebagainya dalam makna yang sejenis

Tidak jauh berbeda dengan pengertian dan makna dari warna Liturgi GBKP. Putih juga dimaknai sebagai simbol terang, kesucian, bersih, kesempurnaan dan kehidupan baru dalam Kristus. Merah juga dimaknai sebagai simbol keberanian dan kesetian dalam mengikut Yesus dalam pengorbanannya untuk keselamatan manusia. Hitam juga dimaknai sebagi simbol kematian dan kesedihan sebagai peringatan akan kerapuhan manusia sekaligus ajakan untuk menyerahkan hidup kepada Kristus.

Hal ini jugalah yang menjadi dasar dari penggunaan warna pada SALIB “KARO”. Warna putih diletakkan tepat dibagian depan Salib sebagai ajakan untuk percaya dan menerima keselamatan dari Kristus Yesus yang telah disalib. Sedang warna Merah pada setiap sisi salib menjadi pengingat kembali tentang pengorbanaan, sekaligus ajakan untuk meneladani kesetiaan Yesus dalam pelayanannya. Terakhir, hitam diletakkan sebagai warna belakang Salib, mengingat manusia yang rapuh dan memiliki segala bentuk keterbatasan. Namun justru dalam kesadaran tersebutlah maka Kuasa Kristus menjadi sempurna (2 Korintus 12:9)

Penutup

Simbol adalah cara ekspresi yang lebih berkualitas dibandingkan perkataan manusia. Simbol mampu menampung informasi yang sulit bahkan yang tidak memungkinkan untuk diekspresikan. Simbol adalah tanda-tanda realitas yang transenden, memberikan pandangan yang jelas mengenai keberadaan yang sakral. Simbol disebut bentuk wahyu yang otonom. Simbol memiliki keunikan karena memberikan pemahaman yang jelas mengenai yang sakral dan realitas kosmologis yang tidak ada manifestasi lain mampu menyatakannya. Simbol memainkan peran penting dalam kehidupan manusia dan membawa manusia kepada makna yang lebih dalam dari pengetahuan biasa atau sehari-hari[6]

Simbol memiliki berbagai macam fungsi terutama dalam agama. Beberapa fungsi yang tersebut ialah simbol sebagai fungsi religius, yaitu mentransformasikan suatu hal atau suatu tindakan dalam sesuatu yang lain (yang kudus) yang tidak tampak pada pengalaman profan (duniawi).[7] Fungsi simbol untuk membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti dengan cara lain, atau simbol berfungsi untuk membukakan roh manusia kepada pandangan-pandangan yang lebih tentang yang kudus dalam dimensi transendennya.[8] Simbol dapat juga berfungsi sebagai bahasa dan tanda yang di dalamnya terkandung makna yang memperlihatkan kepada manusia bahwa ada tingkatan realita yang tidak dimengerti oleh manusia yang dituangkan dalam simbol.

Dari pengertian kesemua inilah maka disimpulkan bahwa Salib “KARO” menjadi benda atau objek yang diharapkan dapat lebih mudah menyampaikan makna-makna, nilai-nilai yang sakral yang tidak dapat dikatakan secara langsung kepada Masyrakat Karo.



[1] Rev. Willian Wood Seymoor, The Cross in Tradition, History, and Art (New York and London: The Knickerbocker Press, 1898), hlm. 88.

[2] Leon Moris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1996), hal. 88

[3] Leon Moris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1996), hal. 88

[4] Anthony, Francis-Vincent, “Ecclesial Praxis of Inculturation”, Liberia Anteneo Salesiano, (Roma : 1997) , hal. 194-195.

[5] https://gbkp.or.id/2016/07/koinonia-sebagai-tatanan-hidup-keluarga-allah/

[6] Saliba, Homo Religiosus in Mircea Eliade, hlm. 54

[7] Ivan Th. J weismann, “simbolisme menurut mircea eliade,” jaffray 2, no. 1 (Juni 2004), hlm.59.

[8] Dilliston, The Power of Symbol, hlm. 125.


Komentar