REFLEKSI BERSAMA “LAYANGAN PUTUS”

 


Akhir-akhir ini web series “Layangan Putus” menjadi fenomenal dikalangan masyarakat luas. Saya tidak ingin bicara banyak tentang web series ini, sebab saya juga tidak terlalu mengikuti yang jalan ceritanya sejak awal. Hanya beberapa cuplikan yang memberikan saya gambaran bahwa ternyata, masih sering manusia “Tidak terbuka pada -Apa yang Ada” dan selalu “Mencari-cari Atap yang Bocor”.

Tahukah kita, salah satu prinsip spiritual yang paling dasar dalam banyak filosofi adalah gagasan untuk membuka hati kita pada “apa yang ada” ketimbang memaksakan hidup berlangsung seperti apa yang kita inginkan. Gagasan ini sangat penting karena kebanyakan konflik batin kita berasal dari keinginan untuk mengendalikan hidup, mendesak agar hidup harus berbeda dengan yang sudah ada. Tetapi hidup tidaklah selalu (atau bahkan jarang) menjadi seperti apa yang kita inginkan – hidup akan berjalan sebagaimana adanya. Semakin besar rasa pasrah diri pada kebenaran saat ini, maka semakin besar kedamaian yang ada dalam pikiran kita.

Bila kita memiliki gagasan yang telah terbentuk sebelumnya mengenai seperti apa hidup ini seharusnya, gagasan itu akan mengganggu kesempatan kita untuk menikmati atau belajar dari saat sekarang ini. Gagasa ini akan mencegah kita menghargai apa yang akan kita alami, yang mungkin merupakan kesempatan bagi kebangkitan besar.

Hal ini juga termasuk dalam hal positif seperti halnya saat kita ingin menjaga rumah kita dari musim hujan dengan mencari-cari retakan, genteng bocor dan segala yang rusak, kita juga dapat mencari-cari apa yang rusak dalam hubungan kita, bahkan hidup kita, dengan melakukan hal yang sama. Itulah mengapa sebelumnya, saya menyebutnya sebagai “Mencari-cari atap bocor”. Sebab kita sering berada pada keadaan mengamati dengan cermat apa yang butuh diperbaiki. Padahal, kecenderungan inilah yang justru sering membuat hubungan kita menjadi sangat lelah, dan membuat orang lain juga merasa tidak nyaman berada di dekat kita.

Sebab kita bukannya menghargai hubungan dan hidup kita, sikap ini justru memunculkan pemikiran bahwa hidup ini tidak lain adalah sesuatu yang selalu kacau. Tidak ada apa pun yang pas di tempatnya.

Bila kita berharap untuk melihat segala sesuatu secara berbeda, bila kita menerima bahwa setiap orang memiliki pembawaan yang berbeda-beda dalam melakukan sesuatu dan bereaksi terhadap rangsangan yang sama, rasa peduli yang kita miliki bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain akan meningkat secara dramatis. Bila kita berharap sebaliknya, potensi timbulnya konflik akan muncul.

Ingatlah, bahwa sikap ini bukan sekedar masalah menolerir perbedaan, tetapi masalah memahami dan menghargai bahwa kenyataan itu secara harafiah memang tidak bisa diubah.

Itulah sebabnya Paulus dalam 1 Tesalonika 5:12-15, tidak hanya mengajak untuk menegur dan mencari-cari kesalahan. Itu bukanlah fokus utama dalam nashi-nasihat yang diberikan Paulus, sebaliknya Paulus berbicara tentang selalu mengusahakan yang baik. Atau dengan kata lain, kehidupan orang lain bukan menjadi tanggung jawab kita dengan atau bagaimanapun alasanya. Kita hanya diminta untuk menghormati kehidupan orang lain, memberika penghargaan, memberikan empati dan selalu mengusahakan kebaikan untuk hidup damai dan harmonis. Sehingga teguran yang kita bayangkan selama ini berubah menjadi nasihat baik yang membuahkan kedamaian bagi kita dan orang lain


Komentar