BERSUKACITA DENGAN SEMUA ORANG ROMA 12:14-21

 

Photo by Alex Alvarez on Unsplash

Membangun kebersamaan tidak mudah. Semakin banyak orang di dalam sebuah kelompok, semakin banyak perbedaan dan potensi konflik. Paulus memahami hal ini dan memberikan nasihat kepada jemaat bagaimana membangun kebersamaan sebagai anggota tubuh Kristus.

Adapun Paulus menasihatkannya dalam 3 prinsip menarik yang untuk kita telusuri juga dapat kita praktikan dalam bersosialisasi dengna lingkungan sekitar kita.

1.      Apa Yang Kita Pikirankan, Percayai Dan Lakukan Itulah Yang Membentuk Sikap Kita.

Jika atau entah bagaimana, orang yang kita sebut “pembuat onar” datang ke bisnis Anda, keluarga Anda, atau Anda lahir bersama mereka, mereka anggota keluarga Anda, atau Anda jadi guru mereka, atau mereka muncul begitu saja dalam hidup Anda, apa yang bisa Anda lakukan? Bukankah ini adalah masalah yang setiap dari kita harus hadapi dari waktu ke waktu: berurusan dengan orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar”.

Sejatinya apa yang kita fikirkan, percayai dan lakukan itulah yang membentuk siikap kita. Kalau saudara menyebut diri sebagai seorang percaya akan Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus, lalu memberitakan injil ataupun dalam kasus ini memberikan nasihat kepada orang yang kita sebut “pembuat onar” dan terganggu dengan penerimaan ataupun penolakan dari orang tersebut. Tampaknya ada yang salah dengan diri kita, sebab bukankah penerimaan dan penolakan, baik atau buruk, akan selalu menjadi bagian dari perjalanan kehidupan kita? Justru dalam hal inilah kita harus membiarkan Roh Kudus bekerja atas kehidupannya. Atau dengan kata lain, jangan bermimpi untuk mengubah sudut pandang orang lain. Kalau bukan karena Roh Kudus maka hal itu sangatlah tidak mungkin terjadi. Maka dari itulah gangguan yang ada dalam diri kita atas respon dari orang lain atas pelayanan ataupun nasihat yang kita berikan. Justru menunjukkan, ada hal yang tidak beres dalam kita saat berkata dan mempercayai Yesus tapi membatasi pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang-orang yang hidup bersama dengan kita.

Terimalah bahwa orang yang kita sebut “pembuat onar” itu sebagai bagian dari hidup. Alih-alih menjadi galau sendiri, “Aku tidak menginginkan ini.. ini salah! Mengapa aku harus berurusan dengan ini? Mengapa harus saya?” Ketimbang segala macam pemikiran negatif yang bikin masalah tambah rumit, kadanag kita cukup belajar cara hidup yang berdamai bersama orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar” itu.

Sebab, pada akhirnya bila kita mengasihi orang lain semata-mata didasarkan atas tingkah laku, mungkin tidak akan ada orang yang pernah merasa dicintai. Karena, kitapun mengetahui bahwa hari ini mungkin kita dikecewakan orang lain, tapi esok bisa saja kita mengecewakan orang lain. Bukan hal yang tidak mungkin, kan? Karena setiap harinya kita tidak bisa menyenangkan siapapun.

2.      Jarak Terdekat Antara Dua Titik Adalah Perhatian

Diantara kita pastilah menginginkan kehidupan yang dipenuhi dengan cinta. Untuk membuatnya terjadi, kita sendiri yang harus mengusahakannya. Daripada menunggu orang lain memberikan kasih sayang yag kita dambakan, lebih baik kita yang menjadi visi dan sumber kasih sayang. Kita harus mengisi hidup kita dengan kasih sayang dan kebaikan yang tulus untuk memberi teladan bagi orang lain terkhusus dimulai dengan lingkungan terdekat kita

Ada yang berkata, “Jarak terdekat antara dua titik adalah perhatian.” Ini berlaku berkenan dengan hidup yang penuh dengan kasih sayang. Titik atau landasan awal suatu kehidupan yang penuh dengan kasih sayang adalah keinginan dan komitmen untuk menjadi sumber kasih sayang. Sikap, pilihan, tidakan kebaikan, dan kerelaan kita untuk menjadi orang yang lebih dahulu menghampiri akan membawa kita menuju tujuan ini.

Ingatlah ini, Tidak ada yang lebih membantu memperluas sudut pandang kita selain memperbesar rasa peduli kita kepada orang lain. Peduili berarti berempati kepada orang lain. Dengan peduli kita berusaha menempatkan diri kita pada posisi orang lain, tidak memikirkan diri sendiri dan membayangkan bagaimana rasanya bila kita yang mengalami kesulitan yang dialami orang lain itu, dan sekaligus berbelas kasih pada orang tersebut. Harus diakui bahwa persoalan orang lain, rasa sakitnya dan frustasinya, persis seperti yang kita rasakan – malahan kadang-kadang lebih parah. Mengakui kenyataan ini dan berusaha menawarkan bantuan akan membuka hati kita dan memperbesar rasa syukur kita.

Rasa peduli dapat dikembangkan dengan melatih diri sendiri. untuk melakukannya, kita membutuhkan dua hal: niat dan tindakan. Dengan berniat berarti kita ingat untuk membuka hati kita kepada orang lain; menyampaikan apa dan siapa yang jadi persoalan, dari diri kita ke diri orang lain. Dengan bertindak berarti kita “melakukan apa yang harus kita lakukan untuknya.” Saudara bisa menyumbangkan sedikit uang atau waktu (atau kedua-duanya) secara berkala pada hal-hal yang menyentuh hati. Atau mungkin saudara akan tersenyum manis dan menyapa dengan tulus orang yang saudara temui di jalanan. Tidak penting apa yang saudara perbuat, pokoknya lakukan sesuatu. Seperti yang dikatakan ibu Teresa, “Kita tidak dapat melakukan hal-hal besar di dunia ini. Kita hanya dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta kasih yang besar.”

3.      “Berdaya Guna” jauh lebih baik daripada dari “Berdaya Saing”

Percayalah, menjadi lebih baik daripada orang lain merupakan motivasi yang sangat melelahkan. Sekalipun demikian, banyak orang telah beranggapan bahwa dunia ini seperti sebuah Apel. Apabila apel tersebut dibagikan hanya untuk 2 orang, maka saya dan kamu mendapatkan setengah bagian. Namun, kita menyadari bahwa bukan hanya 2 orang yang hidup di dunia ini. Sementara Bumi tidak pernah membesar dan bahkan hanya satu yang kita ketahui. Alhasil, “daya saing” menjadi sesuatu yang penting untuk setiap orang bisa mendapatkan bagiannya.

Sekalipun ilustrasi ini memiliki dasar yang amat sederhana tentang mengapa manusia harus memiliki “daya saing” di dunia kita. Setidaknya dalam berbagai alasan apapun kita tidak lagi perlu menyetujuinya, sebab bila hidup kita. Sebab hidup demikian ini hanya sibuk dengan memuaskan ego kita masing-masing untuk mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada orang lain.

Tapi inilah realitanya, sejak kita duduk dibangku pendidikan kita selalu dicekoki dengan kompetisi antara anak pintar dan bodoh. Setelah menyelesaikan bangku pendidikan, kita diperhadapkan dengan pengejaran karir dan status sosial. Apakah itu berhenti? Tidak! Kompetisi itu tanpa kita sadari, terus berlanjut sampai kematian. Bukankah, ini menjadi tatanan yang paling rendah dari manusia dengan akal, budi dan imannya. Bayangkan saja, sudut pandang itu membawa kita pada dunia sangat kompetitif dan selalu akan menampilkan Si Menang dan Si  Kalah. Si kuat akan memenangi persaingan. Sedang mereka, tanpa “daya saing” akan terjebak dalam keterpurukan akibat kalah bersaing.

Lalu, saudara yang menyetujui soal “daya saing” memberikan pembelaan dengan berkata bahwa para pemenang dapat bermanfaat bagi orang-orang kalah. Para pemenang akan peduli kepada yang kalah dan menyebut perlakuan itu sebagai tindakan memanusiakan manusia. Bahkan kepeduliannya akan mereka sebut dengan tindakan baik untuk bersedekah pada si kalah.

Sungguh tragis dunia seperti itu, bukan?

Adapula yang berpendapat bahwa “daya saing” dihapuskan dengan menjadi “daya guna/manfaat”. Istilah menarik bagi saya, sebab setiap manusia harusnya memberi manfaat bagi orang lain dan kehidupan. Kemampuan yang kita miliki diperuntukkan bagi kepentingan bersama. Ketika kita memiliki kekayaan material berlimpah, kita gunakan untuk membantu sesama yang kekurangan. Kita bertanggung jawab memberdayakan masyarakat yang miskin secara ekonomi. Pendidikan yang kita dapatkan bisa turut mencerdaskan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lemah dan kurang berdaya.

Jika kita membangun sektor perekonomian dan sektor pendidikan, maka dimaksudkan agar kita memiliki daya guna/manfaat untuk membangun kehidupan yang dihuni jutaan manusia ciptaan-Nya. Jika negara kita maju, kita pun ingin negara-negara lain juga maju. Jika kita tak ingin terpuruk, maka kita juga tak ingin melihat orang lain terpuruk. 

Pada bagian mengubah paham antara “daya saing” menjadi “daya guna/manfaat” saya setuju. Namun, lebih daripada itu setiap orang harusnya menyadari bahwa dalam dunia ini, kita harus sangat adaptif. Sebab tidak semua hal di dunia ini dapat terkonsep dengan sempurna seperti yang kita harapkan. Ada banyak ketidakmungkinan dalam kehidupan ini, akan terjadi. Siap ataupun tidak, semua orang harus menghadapinya.

Maka dari itu, selain dari pada konsep hidup yang berdaya guna/ bermanfaat, setiap orang juga perlu menanamkan dalam dirinya tentang sikap yang selalu dan mampu berdaptasi. Sebab kehidupan ini adalah anugerah atas belas kasih Tuhan, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu dengan yang lain. Dengan akal dan budi yang diberikan kepada kita, manusia dapat beradaptasi dengan begitu banyak situasi bahagia ataupun penderitaan. Dengan iman, kita dapat memelihara, membangun, dan membangkitkan kembali dunia ini seturut kehendakNya.

Akhir kata…..

Maukah kita menghidupi ketiga prinsip ini untuk hidup bersukacita dengan semua orang? Sebab pada akhirnya, kita tidak dapat membuat sukacita semua orang. Tapi, kita dapat menanam bunga sukacita dalam diri kita.

Komentar