SABTU PENGHARAPAN, ADA PENGHARAPAN



Selama kita hidup, ada realita-realita yang tidak boleh kita abaikan. Memperhatikan realita-realita ini dengan seksama menyebabkan kita berpikir kembali untuk menjalani hidup dengan bijaksana. Pertama, setiap hari, semua orang yang hidup bertambah usianya. Berdasarkan kronologis (urutan waktu), usia biologis manusia menurut pengalaman Pemazmur pada umumnya adalah 70 tahun dan bisa mencapai 80 tahun. Pemazmur mengatakan “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mazmur 90:10). Inilah fakta pertama dan terpenting: seiring bertambahnya usia berarti hidup biologis kita berkurang bila dilihat dalam kronologis waktu.

Kedua, menurut ilmu pengetahuan alam, yang kita kenal sebagai hukum Termodinamika II, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia bersifat merosot atau berkurang. Contoh, batu baterai tanpa digunakan pun tenaga yang tersimpan di dalamnya akan semakin merosot. Gedung yang megah bila tidak dirawat akan menjadi lapuk dengan sendirinya. Taman bunga yang indah tanpa dirawat akan rusak dan dipenuhi semak belukar. Demikian juga dengan hidup jasmaniah manusia akan merosot, sebagaimana yang Paulus katakan dalam 2 Korintus 4:16. Berdasarkan, hukum Termodinamika II, bahwa setiap orang seiring bertambahnya usia akan mengalami kemerosotan biologis (jasmniah). Sebagian orang berusaha menyangkali penuaan ini dan berusaha mempertahankan kemudaannya yang perlahan-lahan mulai hilang. Kosmetik dan krim kecantikan walau pun penting dan bermanfaat, tidak mampu menyembunyikan keriput dan noda ketuaan. Inilah fakta kedua: siapapun tidak mampu menaham proses penuaan!

Ketiga, ciri-ciri penuaan adalah kemerosotan. Berdasarkan gerontologi atau ilmu tentang lanjut usia, ada tiga bentuk kemorosotan yang akan dialami manusia. Secara kronologis, menjadi tua berarti merosotnya usia hidup. Seiring bertambahnya usia, berarti semakin berkurang kesempatan hidup, dengan kata lain, semakin dekat dengan kematian jasmaniah. Secara biologis, menjadi tua berarti merosotnya kondisi fisik dan keadaan kesehatan. Saat kita makin tua kemampuan reflek akan berkurang; lensa mata menjadi kurang elastis, penglihatan kurang tajam dan tidak dapat melihat jauh (istilah medis “presbiopa”); dan pada berbagai tingkat daya pendengaran mulai berkurang (istilah medis “presbikusis”). Secara psikologis, menjadi tua berarti merosotnya kemampuan berpikir dan mengingat (istilah medis “dimensia”)

Pemazmur, setelah mengetahui betapa singkatnya hidup ini, memohon kepada Tuhan, “ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Kehidupan di bumi bersifat sementara jika dibandingkan dengan kekekalan. Karena itu harus dimanfaatkan secara maksimal dan dijalani dengan bijaksana. Paulus menasihati Titus supaya memberitakan ajaran sehat kepada jemaat, yang mencakup nasihat agar jemaat yang tua baik pria ataupun wanita hidup bijaksana dan menjadi teladan (Titus 2:1-5). Karena itu penting menjalani hidup dengan mengutamakan hal-hal yang menjadi prioritas kita karena waktu yang terbatas (Efesus 5:15-17). Orang-orang yang ada di sekitar kita, anak, isteri, suami, orang tua, teman-teman, akan mati dan kita pun akan mati. Kasihi dan hargailah mereka selagi masih hidup.

Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan mereka yang telah Mati?

Belajar dari kisah di Sabtu Pengharapan

 

Maria, ibu Yesus, Maria Magdalena, dan para murid Yesus yang lain sebagai umat Israel menyadari bahwa saat itu tidak ada lagi harapan. Yesus telah wafat. Dia telah meninggalkan mereka. Semua telah berakhir sebagaimana dinyatakan oleh Ayub, yaitu: “Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan” (Ayb. 14:2). Ungkapan Ayub menggambarkan manusia seperti bunga yang berkembang lalu layu dan hilang lenyap. Keberadaan manusia begitu singkat dan fana. Bahkan dibandingkan dengan pohon, keberadaan manusia tidak dapat menandingi daya hidup sebuah pohon. Ayub 14:7 berkata: “Karena bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia bertunas kembali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh.” Namun kalau manusia telah ditebang, ia tidak dapat hidup kembali. Karena itu saat para murid melihat Yesus wafat dan dimakamkan, di dalam hati mereka bertanya: “Tetapi bila manusia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di manakah ia?” (Ayb. 14:10).

Umat Israel tidak memiliki gambaran kehidupan setelah kematian. Sebab roh dan tubuh merupakan suatu entitas kedirian yang utuh. Kisah kematian seseorang diungkapkan dengan pernyataan: “Kemudian Daud mendapat perhentian bersama-sama nenek-moyangnya” (1Raj. 2:10; bdk. 1Raj. 11:43). Bila manusia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di manakah ia? Kehidupan setelah kematian merupakan masa depan yang tidak mungkin. Keberadaan roh setelah kematian tidak dapat dibayangkan tanpa tubuh.

Para murid waktu itu belum memahami makna janji Yesus yang akan bangkit. Waktu itu iman Paskah sama sekali tidak dimiliki oleh para murid Yesus yang sedang berdukacita dan trauma dengan kematian Yesus. Di tengah-tengah realitas “ketiadaan yang absolut” (kematian) dan “ketiadaan yang relatif” (keputusasaan, kepedihan, dan ketiadaan makna hidup) umat membutuhkan iman Paskah, yaitu kuasa kebangkitan Kristus. Namun bagaimana umat dapat memiliki iman Paskah ketika mereka sedang berada dalam situasi ketiadaan? Sebab dapatkah iman Paskah dapat lahir dari sesuatu yang tidak ada? Saat Yesus berkata: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan,” maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali (Mat. 17:22-23). Berita dari Yesus bahwa Ia akan bangkit pada hari ketiga ternyata direspons dengan sikap tidak percaya, yaitu dengan sikap kesedihan. Janji Yesus bahwa Ia akan bangkit yang memberi harapan ternyata terkubur oleh kesedihan hati para murid. Peristiwa salib bagi para murid bukan hanya suatu kesedihan, namun juga suatu trauma yang menggoncangkan iman. Kesedihan dan trauma menutup mata iman, sehingga umat tidak mampu melihat harapan dan kuasa Allah di balik realitas ketiadaan itu. Sama seperti dua orang murid Yesus yang pergi ke Emaus, mereka tidak dapat mengenali Yesus yang telah bangkit dan berdiri di hadapan mereka (Luk. 24:16-17).

Dalam kehidupan kita saat ini, juga sering terjadi hal sedemikian rupa, kita terarah pada “trauma kisah Jumat Agung” sehingga kita membiarkan kuasa kematian mencabik-cabik realitas kehidupan kita. Hal ini sering terlihat, dalam pengalam-pengalaman beberapa yang kehilangan makna hidupnya disebabkan oleh kematian orang-orang tercinta. Bahkan tidak jarang pula yang mengakhiri hidupnya. Untuk itu dalam Sabtu Pengharapan ini, kita diingatkan kembali dalam Roma 14:7-9

“Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi, baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Sebab itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang – orang mati, maupun atas orang – orang hidup.”

Atau dengan kata lain, melalui Iman Paskah kita memiliki pengharapan akan perjumpaan dengan seluruh orang terkasih yang terlibih dahulu meninggalkan kita di dunia. Sebab itu, marilah kita memperbaruhi pengharapan kita dari KEMATIAN dan KEBANGKITAN KRISTUS; bahwa masih ada hidup setelah kematian dan masih ada kebersamaan setelah kematian.


Komentar