SUPLEMEN PEKAN DOA HARI KEEMPAT ; BELAJAR DOA LAGI PART 4 : MARKUS 11:25-26

Photo by Felix Koutchinski on Unsplash


Tahukah kita, keberadaan dukun-dukun yang bekerja untuk men-santet orang lain sudah semakin tidak diminati. Mengapa? Sebab pada kenyataanya kebencian tidak dapat disembuhkan dengan santet kepada para pelaku. Walaupun demikian, tidak jarang diantara kita mengutuk orang lain dalam doa kita. Alhasil, ayat-ayat dalam perjanjian lama yang menuliskan tentang kutukan-kutukan kepada orang jahat dan fasik, jadi sangat diminati dan sering kali dikeluarkan dalam setiap doa juga ucapan kita.

Tapi, pernahkah kita menyadari apabila, hal sebaliknya terjadi kepada dan kutuk tersebut menimpa kita? Mengerikan bukan? Kita berfikir bahwa diri kita yang benar, tapi bagi Allah kitalah orang-orang fasik dan jahat tersebut. Alhasil kutuk yang kita harapkan jatuh kepada orang lain, ternyata mengenai kita

Sadarkah kita, bahwa sebagai citra Allah, kita dituntut untuk membawa Allah dalam segala keberadaan kita, dalam setiap perkataan dan perbuatan kita. “Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan kepada orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Sangat jelas bagaimana kita sebagai seorang kristiani terpanggil dengan seluruh diri kita, memberikan “kebahagiaan”, kelegaan, keterlepasan, sebagai tampilan wajah Allah yang Mahakasih.

Jadi, mengapa kita masih mengingikan kutuk kepada orang lain?

Terhadap para pelaku kejahatan yang telah menyakiti kita, Fitzgibbon-Hope (1986) dan Worthington (1997) pernah mengungkapkan bahwa kita dapat saja memilih bersikap marah dan tidak mau memaafkan, tetapi kita juga harus mempertimbangkan risiko yang diakibatkannya. Risiko tersebut dapat berupa antara lain, gangguan emosi, rusaknya hubungan antar pribadi (interpersonal), dan dapat juga terjadi gangguan fisik yang berwujud gangguan kesehatan. Sementara Enright dan Coyle (dalam Worthington: 1998) menemukan bahwa korban yang cenderung mempertahankan kemarahannya, sebenarnya secara diam-diam sedang membuat dirinya menderita. Dalam sikap tidak memberi maaf ini korban dihadapkan pada dua pilihan kemungkinan, yaitu: (1) Mempertahankan kemarahannya secara diam-diam, dan ini membuat dirinya menderita sampai dengan saat ia membalas pelaku dengan tindakan tertentu, atau; (2) Mengubah dirinya dengan cara memaafkan pelaku dan berusaha mengakhiri semua perasaan marah, benci, dan keinginan membalas serta menggantinya dengan emosi positif.

Dengan demikian, selalu ada pilihan terbukan untuk kita memaafkan pelaku yang telah menyakiti kita atau dapat bertahan pada pilihan sikap tidak memaafkan. Jelasnya, apabila kita memaafkan maka kedamaian hati yang akan kita dapatkan; sebagaimana Markus 11:25-26 sarankan untuk kita.

Jadi, bagaimana? Maukah kita mendoakan orang-orang yang bersalah kepada kita? Maukah kita juga mendoakan dan meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang kita buat kepada orang lain? Cobalah renungkan ini, “Jangan-jangan semua penghalang doa kita, justru karena kebencian dan kemarahan kita?”

Cara untuk seorang dapat memberikan pengharggaan dan kesejahteraan terhadap dirinya sendiri adalah mengampuni - AGM

Komentar