BELAJAR DOA LAGI PART 7 - YOH 14:13-14

 

Photo by Brett Jordan on Unsplash



Siapa yang tidak ingin dan merasa bahagia, ketika doanya dikabulkan? Tentu semua bahagia akan hal itu. Tak mengapa, ayat yang menjadi renungan kali ini sangat populer di kalangan orang-orang Kristen. Sebab, bagi beberapa diantara kita ayat ini meneguhkan tentang setiap doa kita “Pasti” dan akan dikabulkan oleh Tuhan.

Namun, benarkah demikian? Apakah perkataan di ayat ini, menegaskan tentang semua permintaan kita dalam doa, sudah dan pasti dikabulkan? Pernahkah kita berfikir, bila seluruh doa kita akan dikabulkan Tuhan maka dunia ini akan jadi chaos?

Jim Carey dalam filmnya Bruce Almighty yang rilis tahun 2003 pernah mengisahkan dan memvisualisaikan hal ini. Ketika seorang manusia menjadi Tuhan dan berkuasa. Maka semua permintaan yang datang kepadanya dikabulkan, alhasil dunia chaos. Termasuk ketika ia mencoba mewujudkan semua permintaannya pula.

Nah, menarik bukan? Hal yang menjadi pertanyaan tentu, mengapa perkataan tersebut muncul dalam renungan kita hari ini, kalau pada akhirnya doa manusia sering kali merugikan orang lain dan menguntungkan diri sendiri?

Pada akhirnya saat kita membaca seluruh isi percakapan Yesus dengan murid-muridnya dalam konteks Yohanes 14, kita akan mengerti bahwa sebenarnya bukan doa tentang semua permintaan kita dikabulkan, ataupun semua hal dapat kita lakukan bahkan melebihi apa yang Yesus lakukan. Sebaliknya, semua doa yang kita sampaikan dengan tujuan untuk kemuliaan Tuhan. Maka semua hal itu dilakukan. Sebaliknya, bila doa kita hanya untuk menyenangkan hati kita dan mempermuliakan diri kita, Tuhan tentu tidak akan mengizinkannya.

Ada suatu kisah yang menceritakan tentang seorang anak yang bersekolah dan telah berupaya sedemikian rupa untuk belajar sebelum ujian berlangsung. Bahkan dia belajar dan mengerjakan semua itu dengan mudah serta sukacita. Lalu dikemudian hari, hasil ujian dibagikan kepada semua siswa dalam kelasnya. Didapati, maka anak itu ternyata tidak mendapatkan predikat terbaik dari keduapuluh temannya. Sebab, menurut hasilnya anak tersebut mendapat urutan ke 21. Lalu ia stress dan sedih, karena ketidakberhasilannya pada ujian tersebut. Bahkan ia merasa sedih, ketika melihat orangtuanya yang mendapati bahwa dia tidak mendapatkan predikat terbaik dari keduapuluh temannya.

Dengan rasa sedih dan perasaan gagalnya, ia belari keluar rumah. Ia meratapi kehidupannya yang kelam karena kegagalan tersebut. Sampai akhirnya, seorang Bapa Tua mendatangi dan melihat situasinya. Bapak tua tersebut, menanyakan peristiwa apa yang terjadi padanya sampai membuat dirinya begitu murung. Si anak menceritakannya dengan meluapkan seluruh emosinya kepada Bapak Tua tersebut.

Menariknya, Bapak Tua tersebut berkata kepadanya, “Wah, hebat sekali kamu nak. Tuhan memberikan kamu anugerah dan kekuatan untuk membahagiakan keduapuluh temanmu”. Anak itu terheran-heran dengan jawaban dari Bapak Tua tersebut. Sebab, baginya hasil ujian itu menentukan dirinya yang gagal, sementara Bapak Tua mengatakan sebaliknya.

Lalu Bapak Tua tersebut melanjutkan ungkapanya, “ Bayangkan bila diantara keduapuluh temanmu yang mendapati hasil seperti dirimu. Apakah ia akan sekuat dan sehebatmu untuk menerimanya? Bagaimana bila akhirnya hal itu, justru membuat dia menghakimi diri? Apakah kamu bahagia akan hal tersebut?”. Anak itu seketika terdiam mendengar penjelasan Bapak Tua itu dan lalu tersenyum menerima kenyataannya.

Bagaimana dengan kita, apakah kita juga pernah berfikir demikian? Apakah kita pernah melihat hal lain dari setiap kegagalan, penolakan atau apapun yang tidak sesuai dengan harapan kita ternyata berguna baik untuk orang lain dan memuliakan Tuhan?

Ingatlah ini, yang terpenting dalam doa kita sebenarnya bukan apakah doa itu terkabul atau tidak, tetapi bahwa dengan berdoa kita menyerahkan segala sesuatu termasuk keinginan dan pergumulan kita kepada Tuhan. Artinya, memang kita sudah seharusnya membawa keinginan dan kepentingan pribadi kita harus kita tempatkan di bawah kepentingan Kerajaan Allah. Kalau apa yang kita inginkan itu ternyata merugikan kemuliaan Tuhan atau merusak suasana Kerajaan Allah: perdamaian, kasih dan keadilan maka kita harus rela jika doa kita tidak dikabulkan Tuhan, seperti sikap Paulus ketika Tuhan menolak mengabulkan doanya untuk kesembuhan dirinya atau kisah Daud yang berkeinginan untuk membangun bait Allah.

Inilah yang tersulit dalam berdoa, memberikan diri untuk benar-benar berserah kepada kehendakNya. Kita sering tidak terlalu ikhlas ketika mengatakan: “Jadilah kehendak-Mu”. Sebaliknya, kehendak Tuhan hanya kita perhatikan kalau itu menunjang kehendak kita. Alhasil, kata-kata seperti “Indah pada waktunya” sering menjadi bentuk ego tertinggi dari manusia yang tidak menerima kehendak Allah.

Jadi, bagaimana?

Komentar

Anonim mengatakan…
Mejuah juah..
Suka tdk suka,mau tidak mau..
Harus memuji Tuhan dlm hal apa pun ,sekalipun dlm situasi terburuk.
Karena itulah yg terbaik buat cibtaanNya