Belajar Mengimani Yoel 2:23-27

 


Salah satu yang tersulit dalam proses menjadi seorang Kristen adalah melakoni setiap doa dan mazmur yang kita panjatkan. Hal ini terlihat nyata dalam setiap pekerjaan kita. Beberapa orang selalu meminta rejeki kepada Tuhan atas setiap yang dia kerjakan dan usahakan. Saat Tuhan memberikan rejeki menurut takaranNya, maka tidak jarang diantara kita yang mengeluh atas pemberiannya tersebut. Lalu kita meronta meronta dan mempertanyakan kebaikan Tuhan atas hidup kita.

Ironis bukan? Tapi demikianlah yang sering kali terjadi,

Dalam satu kesempatan saya pernah bertanya, siapakah yang paling beriman diantara penjudi dan petani. Bagaimana menurut saudara? Siapakah yang paling beriman bagi saudara?

Tahukah kita, seringkali iman itu terfokus dengan hasilnya. Tentu ini tidak salah, seperti Yoel 2:23-27 yang mengisahkan dan mengajuk bangsa Israel untuk bertobat agar dipulihkan.

Tapi apakah “hasil” yang menjadi proses utama dalam beriman?

Setiap orang yang mengutamakan “hasil” pada proses keimananya itu sangat mirip dengan seorang pejudi. Ia memberikan uangnya kepada “bandar” dengan harapan dapat dilipatkan lebih banyak dari pemberiannya. Alhasil, para pejudi sering tidak merasa rugi atas uang yang telah dia pertaruhkan. Sebab baginya janji “bandar” lebih nyata ketimbang pemeliharaan Tuhan.

Namun realitasnya? Saudara melihat sendiri, “bandar” semakin kaya dan penjudi semakin melarat.

Bagaimana dengan petani?

Seperti kita ketahui, saat ini petani tak ubahnya dengan para penjudi. Mereka menanam lalu mengharapkan, agar apa yang mereka tanam dapat membiayai semua perlengkapan keluarga. Perbedaanya, tentu berada pada prosesnya. Seorang petani menyerahkan seutuhnya kepada janji Tuhan. Walaupun pada realitas saat ini, Petani sering kali ditipu oleh para pekerjanya, ditipu oleh para penjual pupuk dan tengkulaknya.

Namun, keyakinan seorang petani menjadi bentuk keimanannya. Terbukti, kegagalan dan kekecewaan yang sering mereka hadapi tidak tergerumus oleh hasil yang tidak sesuai dengan harapannya. Sebab imannya menyatakan bahwa pemeliharaan Tuhanlah yang mencukupkan.

Benar, saudara mungkin beranggapan bahwa petani yang saya sebutkan itu adalah petani yang beriman. Berbeda cerita dengan para petani yang tidak beriman dan sering kali menyerah pada proses juga hasil.

Untuk itulah, dalam kesempatan ini saya ingin mengajak kita berefleksi bersama seteguk kopi. Adapun filosofis ini saya dapat dari suatu kisah yang menceritakan seorang anak laki-laki yang mengeluh pada sang ayah tentang kehidupannya yang sangat berat. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan bermaksud untuk menyerah. Ia merasa capai untuk terus berjuang dan berjuang. Bila satu persoalan telah teratasi, maka persoalan yang lain muncul.

Lalu, ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama dimasukkannya beberapa wortel. Ke dalam panci kedua dimasukkannya beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji-biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga panci itu beberapa saat tanpa berkata sepatah kata.

Anak laki-laki itu mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia keheranan melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit, ayahnya mematikan kompor. Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam mangkok. Diambilnya pula telur-telur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir.

Segera sesudah itu ia berbalik kepada putrinya, dan bertanya: "Sayangku, apa yang kaulihat?"

"Wortel, telur, dan kopi," jawab anaknya.

Sang ayah membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah mengupas kulitnya si anak mendapatkan telur matang yang keras. Yang terakhir sang ayah meminta anaknya menghirup kopi. Ia tersenyum saat mencium aroma kopi yang harum. Dengan rendah hati ia bertanya "Apa artinya, bapa?"

Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.

"Yang mana engkau, anakku?" sang ayah bertanya. "Ketika penderitaan mengetuk pintu hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel, telur, atau kopi?"

Bagaimana dengan saudara?

Apakah saudara seperti sebuah wortel, yang kelihatan keras, tetapi saat berhadapan dengan kepedihan dan penderitaan menjadi lembek, lemah, dan kehilangan kekuatan?

Apakah saudara seperti telur, yang mulanya berhati penurut? Apakah engkau tadinya berjiwa lembut, tetapi setelah terjadi kematian, perpecahan, perceraian, atau pemecatan, Anda menjadi keras dan kepala batu? Kulit luar Anda memang tetap sama, tetapi apakah Anda menjadi pahit, tegar hati, serta kepala batu?

Atau apakah saudara seperti biji kopi? Apabila saudara seperti biji kopi, maka ketika segala hal seolah-olah dalam keadaan yang terburuk sekalipun saudara dapat menjadi lebih baik dan juga membuat suasana di sekitar saudara menjadi lebih baik.

Jadi, bagaimana cara saudara menghadapi penderitaan? Apakah seperti wortel, telur, atau biji kopi?

Komentar