BELAJAR MENJADI MANUSIA PART 1 : MAZMUR 8 DAN MAZMUR 104

 

APAKAH YESUS YANG SAMA HADIR DI SIOSAR? Photo by @aaronginting

Allah begitu mulia, demikianlah pemazmur menuliskan hal ini kepada para pembaca. Suatu pengakuan yang seharusnya menyadarkan kita sebagai manusia untuk tidak mencapai dan melebihi Tuhan. Sebab, pada hakikatnya manusia rapuh, kasih Allah dan hikmatnyalah yang menutupi kerapuhan tersebut.

Seperti halnya, tanah liat dalam tangan pengerajinnya. Setelah mengalami pembentukan yang sungguh teramat baik, tanah itu harus dijemur kembali. Demikianlah manusia tercipta dari tanah, pembentukannya sempurna hanya oleh karena belas kasihan Allah.

Tapi bagaimana yang terjadi saat ini?

Dalam suatu kesempatan, saya berbicara dengan seorang teolog terkenal di Indonesia. Beliau pernah mengatakan dalam pidatonya tentang suatu daerah yang mayoritas Kristen demikian, “Dahulu Yesus dihadirkan ditempat ini, namun apakah Yesus yang sama masih dihadirkan di tempat ini? Atau Yesus baru yang diciptakan oleh akal sehat manusialah, sudah dan telah berkuasa di daerah ini?”

Suatu pidato yang menarik bagi saya, sebab dalam diskusi santai kala itu saya mempertanyakan tentang kehadiran Gereja saat ini. Suatu pertanyaan yang mendalam itu terungkap karena pergumulan dari pernyataan seorang budayawan, katanya “Bila Kekristenan itu baik dan memiliki kesempurnaan. Lalu mengapa kehadiran Kristen di Tanah Karo justru tidak berdampak apapun pada kelestarian Alam?” Bahkan beliau menceritakan bagaimana relasi masyarakat karo dengan Alam atas pengajaran orangtua dahulu, maka generasi saat ini dapat menikmati Alam dengan begitu bebasnya. Lalu bagaimana setelah kekristenan berkuasa, “moderenisasi”, globalisasi dan perkembangan zaman saat ini. Bukankah, justru karena perilaku itu semua manusia menjadi seolah-olah lebih dari Tuhan, kemudian berusaha mengeksploitasi alam dengan begitu hebat beralaskan “Kebutuhan Hidup”.

Salah satu trend saat ini yang viral di tiktok adalah nyanyian rohani “Tuhan Yesus tidak Berubah”, saya sangat setuju akan hal ini. Tapi benarkah Yesus yang sama, juga masih disampaikan pada saat ini? Atau kita membawa Yesus dalam rangkuman logika dan menyebarkannya dengan bungkusan kepentingan kita?

Mari kita lihat dan bandingkan;

Dahulu orang-orang tua kita sangatlah ramah kepada Alam. Seperti misalnya dalam Masyarakat Karo "dulu" saat merasa takjub pada fenomena-fenomena alam ini dengan memberikan sirih, tembakau, buah, bunga dan barang lainnya. Persis seperti tindakan hormat mereka kepada sesama manusia.

Masyarakat Karo “dulu” menunjukkan keramahannya dengan cara demikian. Tapi bagaimana dengan saat ini? Tampaknya, pengetahuan dan pengertian yang didapat, justru membuat manusia semakin tinggi hati terhadap Alam. Berfikir bahwa dirinya mampu berkuasa secara hirarki atas alam, padahal tidak demikian. Mari kita merujuk pada Mazmur 8:7-9 ditulis demikian;

Engkau membuat dia berkuasa atas tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya, kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.

Jika kita perhatikan, semua binatang yang dituliskan dalam ayat ini juga terlihat pada Kejadian pasal 1. Sehingga menurut, Emanuel Gerrit Singgih, pemazmur hanya membayangkan penguasaan manusia hanya terbatas pada makhluk-makhluk hidup ini. Hal itu juga, dalam rangka penyediaan makanan dan keamanan. Sedang langit, tampaknya tidak menjadi bagian dari kekuasaan manusia.[10] Hal ini juga dilihat Barth, sebagai bentuk kuasa atas binatang saja dan kuasa itu juga mengandung tanggung jawab mereka. Ditambahkan Barth juga, bahwa hubungan manusia dengan tanah berbeda secara radikal. Yahweh menempatkan manusia untuk melayani (Ibr:abad; Indonesia/Arab:mengabdi kepada; LAI; mengusahakan,Kej 2:15) dan memeliharanya (sebagaimana orangtua memelihara anak, peternak memelihara ternaknya, dan orang yang taat kepada Yahweh memelihara hukum-hukumNya).

Seperti yang ditafsirkan Singgih pula, dalam Mazmur 104, bahwa manusia berada dalam urutan yang sama dengan makhuk lain dan dengan habitatnya. Dia tidak berada di atas yang lain, melainkan setara dengan yang lain. Jika didialogkan maka mansuaia adalah khalifah yang menata alam, tetapi dia adalah rapuh (vulnerable) dan bergantung (dependent) kepada Yahweh, dan karena itu dia adalah juga hasil tataan Ilahi. Manusia yang ingin menata alam dalam rangka menyelamatkan alam, terlebih dahulu harus sadar bahwa sebelum kita menata alam, sudah ada yang menatanya terlebih dahulu yaitu Yahweh. Ia menatanya dengan adil, sehingga penataan tersebut memperlihatkan irama yang teratur. Kita manusia termasuk yang ditata oleh Yahweh sehingga kita bisa melihat tempat kita di dalam alam ini. Ternyata kita adalah bagian dari alam ini. Memang alam adalah habitat kita, namun di mazmur 104 habitat itu menentukan. Jadi bukan hanya kita yang menentukan alam, tetapi alam juga menentukan kita. Kalau habitat itu rusak, kita juga kehilangan tempat kita.[15] Kemudian jika kita beralih lagi pada kata “kuasa”, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Yahweh juga mengaruniakan hikmatnya dibalik kuasa yang diberikanNya kepada manusia. Sehingga dari hikmat tersebut manusia diajak bukan hanya untuk berkarya dan memelihara tetapi juga  menjaga.  Jika kita kembali pada tinjauan kita sebelumnya bahwa Yahweh menjadikan manusia menurut gambar-Nya untuk memungkinkan hubungan timbal balik antara Ia dan mereka. Maka kita harus menjaga hubungan ini, sebab Yahweh juga dapat menderita karena ciptaan-Nya rusak.[16] Karena realitasnya manusia juga dapat berkuasa atas keinginan mengikuti hati (Kej. 4:7), bahkan ia seharusnya juga dapat hidup benar dan adil seperti Nuh yang tidak bercela di antara segala orang sezamannya (Kej. 6:9).

Sederhananya saya ingin mengatakan bahwa kerapuhan manusia jangan mengubah Tuhan dan tidak bisa mengubah Tuhan. Sekalipun manusia memiliki pengetahuan, “keinginan” dan “kepentingan” jauh lebih sering mengkuasai manusia itu sendiri. Atau dengan kata lain, manusia memiliki pilihan untuk menyelamatan dan menghancurkan. Tapi, percayalah Alam tidak mungkin dapat dilawan manusia. Sebagaimanapun cara manusia melakukannya. Karena itu setiap manusia juga memerlukan pencarian moral dalam dirinya. Selain itu, manusia juga memerlukan sebuah kedekatan dengan kosmologi dan etika yang berpusatkan pada manusia (“antroposentrisme” dan “homesentrisme”), sebab dengan demikian juga kepekaan terhadap seluruh kajian konteks yang telah dikaji sebelumnya akan hadir dalam diri manusia.

Komentar

Ketharen enjel mengatakan…
Bujur dek
Sangat mberkati 🙏