BAHAN SERMON PJJ GBKP 17-23 JULI 2022 DIBATA KECION DINGEN GEGEHTA Mazmur 46:1-6

 


Mazmur 46 menjadi pengingat bagi kita yang sering kali berfikir dan merasa mampu mengontrol segala sesuatunya. Pengingat kepada orang-orang yang berlindung pada akal dan sehat mereka. Namun bukan, menjadi penghakiman bagi orang-orang yang terkena bencana dan musibah. Dua hal ini yang layak untuk kita renungkan dan refleksikan bersama dalam kondisi dan situasi sekarang ini.

Mengapa?

Pertama, Kekhawatiran ternyata telah merasuki diri banyak orang masa kini, telah merubah manusia bermusuh dengan manusia dan alam sekitarnya. Seolah-olah manusia lain dan alam menjadi alat untuk mencukupi dan mengimbangi kekhawatirannya akan kehidupan. Sedang Tuhan diabaikan menjadi label bahwa diri masih seorang beragama.

Bahkan hal yang paling ekstrim lagi, anggapan bahwa dunia ini hanya tempat penderitaan telah jadi sajian menarik bagi orang-orang Kristen. Seolah-olah karya dan penyertaan Tuhan, hanya terletak di Surga, dan dunia Tuhan tidak berkuasa sama sekali untuk memberikan kedamaian dan kenyamanan bagi orang-percaya. Ironis, tapi ingatlah bahwa hal ini nyata dan sering menjadi sajian Gereja masa kini untuk meninabobokan orang-orang dalam proses kehidupannya di dunia.

Kedua, Kesaksian-kesaksian manusia masa kini akan perlindungan Allah sering kali justru menjadi penghakiman bagi orang lain. Kita contohkan pada apa yang terjadi di Mentawai dan Aceh. Dalam salah satu dokumentasi diperlihatkan bagaimana Gereja tetap teguh berdiri sekalipun gelombang besar menghantam daerah Mentawai. Sebaliknya, di Aceh terdapat bangunan yang masih tetap berdiri teguh sekalipun gelombang besar menghantam daerah tersebut. Apakah peristiwa ini menunjukkan tentang keberpihakan Allah pada manusia? Tentu, analogi semacam inilah yang sering merusak dan membatasi perlindungan Allah pada manusia.

 

Pernahkah diantara kita berfikir bahwa terkadang, kesenangan tidak selalu berarti menjadi perlindungan Allah dan penderitaan bisa menjadi cara Allah untuk melindungi kita manusia.

JIKA DOSA MENDATANGKAN PENDERITAAN, MAKA SEMUA MANUSIA ADALAH BERDOSA DAN TIDAK PERNAH MENDAPATKAN PENEBUSAN. SEBAB DALAM KEHIDUPAN, SELALU ADA PENDERITAAN.

JIKA PENDERITAAN ADALAH BAGIAN DARI PROSES KEHIDUPAN. MAKA MANUSIA TELAH BERPROSES DARI SEORANG BERDOSA MENJADI ORANG YANG DITEBUS OLEH KARENA DARAH ALLAH. – AGM

Siapa yang tidak menginginkan kesenangan, tapi siapa yang menginginkan penderitaan? Manusia sering lupa, bahwa kesenangan adalah upah dari hikmat. Sedang penderitaan adalah bagian dari proses pencarian hikmat. Alhasil, banyak yang mati dalam penderitaan. Bukan karena beban yang begitu berat, sebaliknya ketidaksanggupan untuk berproses dalam pencarian hikmat.

Jika hidup hanya dipenuhi oleh kesenangan, maka sejatinya manusia itu tidak pernah menikmati kesenangan. Sebab, penderitaanlah yang mendatangkan kesenangan. Takkan pernah ada kesenangan yang muncul selain dari penderitaan. Seumpama pahit dan manis, kedua rasa ini muncul dikarenakan adanya pembanding. Bila rasa pahit tidak pernah ditemukan, maka manusia tidak pernah merasakan nikmatnya rasa manis.

Dengan kata lain, tidak ada penderitaan yang abadi dan demikian pula dengan kesenangan abadi. Karena itu pilihan hanya terbagi menjadi dua yakni “Give Up” or “Get Up”.  Ibarat roti tadi, kita hanya mencicipi sepotong dan merasakan tidak enak, lalu mencampakkannya. Padahal bisa saja, bagian yang saudara cicipi itu adalah bagian pinggiran yang hambar. Ada bagian lain dari kue yang bisa saudara nikmati. Jika saudara berusaha lebih keras lagi, mungkin hasil yang manis akan kamu rasakan tak lama lagi.

Namun, sanggupkah seseorang melakukannya? Sanggupkah seseorang keluar dari perasaan putus asa ? Untuk “saat itu” juga mungkin bukanlah hal yang mudah. Karena itu setiap orang perlu mengambil waktu untuk jeda.

Tahukah saudara, para peneliti di Universitas Virginia mendapati bahwa kebanyakan orang melihat kemiringan suatu bukit lebih terjal dari kenyataannya, khususnya ketika mereka sedang lelah atau membawa barang berat. Tatkala mereka mengira kemiringan bukit 30 derajat, ternyata kenyataannya hanya 10 derajat; dan yang diduga memiliki kemiringan 20 derajat, ternyata hanya 5 derajat. Taksiran mereka kerapkali salah. Mereka bahkan tak percaya dugaan mereka dapat meleset sejauh itu. Saat kita berbeban berat dan mengalami keletihan, masalah yang kecil sekalipun bisa tampak begitu besar sehingga sulit dipecahkan. Ketika menghadapi ujian kehidupan, kita tergoda untuk duduk di kaki bukit yang terjal dan berdiam diri di sana, karena lereng bukit itu tampak terlalu terjal untuk dilalui.

Ingatlah ini selalu kenyataan yang datang tidak sesuai dengan harapan akan diikuti dengan Rancangan dariNya yang lebih baik untuk kita. Sesuatu yang jarang sekali disadari, hanya karna fokus kita pada kekecewaan atas pencapaian tidak sesuai dengan harapan. Karena itu, berhentilah memikirkan apa-apa yang belum terjadi. Apa yang sudah terjadi saat ini juga membutuhkan solusi.

Komentar