BELAJAR BERELASI DENGAN ALAM

AGM Photography


Berbicara tentang alam, tentu hal yang paling pertama adalah pembahasan mengenai pangan. Sesuatu yang paling mendesak dan layak untuk menjadi perhatian kita. Ironisnya, hal ini perlahan-lahan sudah diabaikan, bahkan hanya segelintir lagi orang yang memperhatikannya. Mengapa? Tentu semua berbicara tentang “uang” dan tuntutan tuntutan kehidupan lainnya.

PASCA PANDEMI covid-19 yang melanda dunia ditambah konflik antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan dampak yang luar biasa, khususnya di sektor pangan. Saat ini kenaikan harga komoditas dunia telah menyebabkan lonjakan harga pangan sehingga membutuhkan kolaborasi bersama untuk menanganinya.  

Untuk mengantisipasi masalah ketahanan pangan, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan diperlukan gerak bersama yang tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Pasalnya masalah ketahanan pangan meski terjadi di tingkat global, tetapi dampaknya juga dapat menyasar kondisi ketahanan pangan dalam negeri. Sesuatu yang menarik untuk kita refleksikan, mengingat masalah ketahanan pangan atau ketersediaan pangan yang banyak sekali. Misalnya saja lahan pertanian produktif yang angkanya terus menyusut, berkurangnya jumlah tanah persawahan, dan peralihan tanah persawahan. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebutkan petani di era 1960an masih menguasai lahan hingga 1,1 ha. Jumlah itu kemudian turun menjadi 0,8 ha pada periode 2000-an. Melansir data BPS per 2018, Yeka menghitung luas lahan rata-rata kepemilikan petani mengerucut jadi 0,5 ha. "Dan 60 persen dari petani Indonesia itu ternyata ada di penguasaan lahan seluas 1.000 m2 atau sekitar 0,1 ha," terang Yeka. "Jadi bisa dibayangkan, bahwa seiring dengan perjalanan bangsa Indonesia, seiring dengan digembor-gemborkannya pembangunan di Indonesia, akan tetapi penguasaan lahan kita semakin menurun," singgungnya.

Tentu, kesemua data ini bukan memprovokasi kita untuk mencari-cari kambing hitam untuk dipersalahkan. Tapi, ini tentang siapa yang mau bergerak, bertindak dan berkolaborasi untuk menciptakan kembali harmoniasi dalam kehidupan saat ini? Apakah orang-orang percaya (GEREJA) mau bergerak untuk hal ini, atau tetap hanya diam dan berfikir bahwa hal ini bukan menjadi bagian urusannya.

Pada 1 Korintus 15: 37, Paulus jelas mengingatkan dan mengajak Gereja untuk berefleksi akan kehadirannya yang sementara di dunia. Akan ada proses kematian yang cepat atau lambat akan menghampiri kita. Namun, akan menjadi konyol apabila Gereja membiarkan diri mati kelaparan dengan melakukan pembiaran terhadap situasi sekarang ini. Itulah mengapa refleksi pada bacaan 2 Korintus 9: 8-11 menarik untuk dikembalikan pada Gereja, “Maukah Gereja-Gereja saat ini memberi diri untuk situasi sekarang ini?”

Penghargaan yang diberikan Pemazmur kepada Tuhan, tentu tidak hanya sekedar kata. Lebih daripada itu, penghargaan itu harus menciptakan Daya Guna / Daya Manfaat bagi orang lain. Istilah yang mengajak manusia untuk hidup bermanfaat dan  sekaligus memberi manfaat bagi orang lain dan sekitar. Sehingga kemampuan yang kita miliki diperuntukkan untuk kepentingan bersama, bukan mengalahkan orang lain dan sekitar. Ketika kita memiliki kekayaan material berlimpah, kita gunakan untuk membantu sesama yang kekurangan. Kita bertanggung jawab memberdayakan masyarakat yang miskin secara ekonomi. Pendidikan yang kita dapatkan bisa turut mencerdaskan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lemah dan kurang berdaya. Jika kita membangun sektor perekonomian dan sektor pendidikan, maka dimaksudkan agar kita memiliki daya guna/manfaat untuk membangun kehidupan yang dihuni jutaan manusia ciptaan-Nya. Jika negara kita maju, kita pun ingin negara-negara lain juga maju. Jika kita tak ingin terpuruk, maka kita juga tak ingin melihat orang lain terpuruk.

Sehingga dengan keberagamaan dan keistimewaan yang dimiliki; setiap orang tidak tertuju pada persaingan. Sebaliknya kita menjujung tinggi kebersamaan untuk saling mengisi satu dengan yang lainnya atau dalam budaya Karo disebut “Aron”. Suatu system kolaborasi yang dahulu dan dijunjung orang karo dalam setiap lini kehdiupan. Lebih daripada itu setiap orang harusnya menyadari bahwa dalam dunia ini, kita harus sangat adaptif. Sebab tidak semua hal di dunia ini dapat terkonsep dengan sempurna seperti yang kita harapkan. Ada banyak ketidakmungkinan dalam kehidupan ini, akan terjadi. Siap ataupun tidak, semua orang harus menghadapinya. Maka dari itu, selain dari pada konsep hidup yang berdaya guna/ bermanfaat, setiap orang juga perlu menanamkan dalam dirinya tentang sikap yang selalu dan mampu berdaptasi. 

Kehidupan ini adalah anugerah atas belas kasih Tuhan, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu dengan yang lain atau dalam budaya Karo, istilah ini disebut “Ajari Bancina”. Istilah yang menyemangati dan mengajak setiap orang karo untuk terus belajar dan berdaptasi pada kehidupan yang serba mengejutkan. Sebab dengan akal dan budi yang diberikan, kita dapat berdaptasi pada situasi yang terkadang jauh dari ekspetasi. Sehingga ambisi dalam diri dapat terkendali dan tidak melakukan tindakan eksplosif. Dengan iman, kita dapat memelihara, membangun dan membangkitkan kembali dunia ini seturut kehendakNya. Sehingga dunia kompetitif yang terjadi saat ini, perlahan menghilang dimulai dari diri sendiri juga sekitar kita. Inilah tatanan tertinggi menjadi manusia, yakni hidup saling berbagi dan bermanfaat satu dengan lainnya. Bukan kembali dan membentuk tatanan terendah dari manusia yakni saling bersaing dan menciptakan peperangan antar sesama manusia

Komentar