BELAJAR MENGIMANI PART 2 - HABAKUK 3:17-19



Seorang anak muda Kristen meminta seorang Kristen lain yang lebih dewasa secara rohani untuk mendoakannya agar menjadi lebih sabar. Maka orang itu pun berlutut dan berdoa, "Tuhan, kirimkanlah kesengsaraan kepada anak muda ini di pagi hari; kirimkanlah kesengsaraan kepadanya di sore hari; kirimkanlah...." Sampai di situ anak muda tadi segera memotong, "Tidak, tidak, saya tidak meminta Anda untuk mendoakan saya agar diberi kesengsaraan. Saya minta didoakan agar saya diberi kesabaran." "Ah," orang Kristen yang bijak itu menanggapinya, "justru melalui kesengsaraanlah kita belajar bersabar."

Menarik ya? Setiap penderitaan mengajarkan kesabaran dan kehidupan jadi pelatih untuk setiap orang mendapatkan kesabaran.

Namun siapa yang dapat bertahan?

Saudaraku, mungkin diantara kita pernah mendengar mengenai ilustrasi iman seperti bambu cina. Bambu yang tidak akan menunjukkan pertumbuhan berarti selama 6-7 tahun pertamanya, mungkin hanya tumbuh beberapa puluh cm saja. Namun setelah waktu tersebut, pertumbuhan bambu cina tidak dapat dibendung, bambu itu akan tumbuh begitu cepatnya dan ukurannya bahkan bukan hitungan cm lagi melainkan bermeter meter.

Hal tersebut dimungkinkan terjadi, dikarenkan selama 6-7 tahun, pertumbuhan terjadi dan terfokus pada akar. Atau dengan kata lain tumbuhan ini sedang menyiapkan pondasi yang kuat agar ia bisa menopang ketinggiannya yang berpuluh-puluh meter. Sehingga ketika pertumbuhan bambu telah sangat tinggi, akarnya akan sangat kuat untuk membuat bambu tersebut tidak patah sekalipun diterpa oleh angina yang sangat kencang.

Kira-kira demikianlah ilustrasi tersebut menjelaskan pembangunan dan pertumbuhan iman seorang Kristen, tentu dengan dasar yang kuat yakni Firman Tuhan. Dasar yang menempah dan membentuk pribadi setiap orang Kristen untuk memiliki pondasi yang benar-benar kokoh. Sehingga, dikala kesengsaraan datang, orang-orang beriman tidak akan jatuh dan imannya tidak akan patah.

Demikianlah Renungan ini memperlihatkan bahwa Habakuk dapat memuji dan mengucap syukur dalam kesengsaraanya dikarena iman. Dengan kata lain, ketika seorang Kristen mengalami penderitaan maka ia akan menyadari bahwa hal tersebut tidak menggoyahkan dirinya dan justru membentuk dirinya.

Namun, apakah demikian yang terjadi? Tidak

Seringkali anggapan “iman” menjadi seperti kartu ekslusif untuk kita manusia tidak lagi mendapati penderitaan. Kita berfikir bahwa iman mengeluarkan diri kita dari kesusahan. Padahal tidak demikian, bahkan hal tersebut sangatlah tidak mungkin.

Siapa yang tidak menginginkan kesenangan, tapi siapa yang menginginkan penderitaan? Manusia sering lupa, bahwa kesenangan adalah upah dari hikmat. Sedang penderitaan adalah bagian dari proses pencarian hikmat. Alhasil, banyak yang mati dalam penderitaan. Bukan karena beban yang begitu berat, sebaliknya ketidaksanggupan untuk berproses dalam pencarian hikmat.

Jika hidup hanya dipenuhi oleh kesenangan, maka sejatinya manusia itu tidak pernah menikmati kesenangan. Sebab, penderitaanlah yang mendatangkan kesenangan. Takkan pernah ada kesenangan yang muncul selain dari penderitaan. Seumpama pahit dan manis, kedua rasa ini muncul dikarenakan adanya pembanding. Bila rasa pahit tidak pernah ditemukan, maka manusia tidak pernah merasakan nikmatnya rasa manis.

Dengan kata lain, tidak ada penderitaan yang abadi dan demikian pula dengan kesenangan abadi. Karena itu pilihan hanya terbagi menjadi dua yakni “Give Up” or “Get Up”.  Ibarat roti tadi, kita hanya mencicipi sepotong dan merasakan tidak enak, lalu mencampakkannya. Padahal bisa saja, bagian yang saudara cicipi itu adalah bagian pinggiran yang hambar. Ada bagian lain dari kue yang bisa saudara nikmati. Jika saudara berusaha lebih keras lagi, mungkin hasil yang manis akan kamu rasakan tak lama lagi.

Tentu, banyak kita memahaminya, namun bagaimana kenyataanya? Seringkali manusia menjadi sangat tidak sopan, khususnya ketika dirinya mendapati penderitaan. Bahkan hal yang paling tidak sopan yakni mempertanyakan keberadaan Tuhan saat penderitaan datang menghampiri kita.

Layakkah kita mempertanyakanya? Coba renungkan ini, seorang Bapak mendapatkan penderitaan dalam kehidupannya. Lalu anak-anaknya melihat bagaimana Bapak tersebut menangisi kehidupan dan mencoba melarikan diri dari penderitaan tersebut dengan narkoba dan minuman keras lainnya. Alhasil, anak itu berkembang dan menjadi seorang yang sering mengeluhkan kehidupannya. Berbeda halnya dengan seorang Bapa lain, dalam penderitaan yang dialami keluarganya IA menghadapi hal tersebut dan berusaha mengajarkan kepada anak-anak tentang realita kehidupan ini. Alhasil anak-anak itu tidak pernah lari dari masalah dan memiliki mental kuat dalam kehidupannya. (bdk. Mat 11:28-30)

Demikianlah, Bapa kita mengajarkan kita anak-anakNya. Tapi benarkah kita mau mempelajarinya?


Komentar