give up or GET UP ( Yohanes 21:1-7)

 

Coffee Morning With Ornetta Coffee

Kehidupan tak semenarik cerita-cerita Sinetron, yang berjuang terus menerus lalu sukses kemudian. Seringkali hidup bak cerita rumit yang tidak akan pernah lurus layaknya sebuah garis yang ditarik rapi disisi penggaris. Merencankan kehidupan adalah kewajiban dalam hidup, memulai kehidupan membutuhkan keberanian, karena konsep hidup adalah ketika kamu akan bergerak maka kamu akan menuai risiko untung dan rugi.Demikianlah manusia harus mencintai setiap hal yang dia kerjakan dalam ketulusan dan keseriusan. Sebab mereka yang melakukannya tidak akan pernah terhenti pada risiko, untung dan rugi.

Seperti halnya apa yang dialami oleh Petrus bersama rombongannya. Pengalaman tidak menentukan segala sesuatunya berjalan seperti yang diharapkan. Sebagai nelayan berpengalaman dan jumlah ikan yang sangat banyak tidak menentukan bahwa semua berjalan sesuai dengan harapan dan perencanaan. Didapati mereka tidak berhasil mengumpulkan ikan seperti biasanya.

Bagaimana dengan kita? Tentu, kita juga pernah dan mungkin saat ini mengalami hal serupa. Segala sesuatu yang telah direncanakan dengan matang bersamaan dengan besaran peluang, tidak tercapai seperti yang dibayangkan. Apa yang kita lakukan setelahnya?

Menarik dalam kisah pertemuan Petrus bersama rombongannya dan Yesus di Danau Tiberias. Kegagalan mereka menutup cara pandangnya, sampai tidak lagi melihat Tuhan. Tidak ada yang menyadari kehadiran Tuhan disana, tapi ketika mereka berhasil Tuhan seketika terlihat dihadapannya dan membuat Petrus terkejut.

Namun sebelum lebih jauh membahas hal yang terjadi pada Petrus dan rombongannya. Sadarkah kita, karena manusia memiliki harapan maka ia juga dapat kehilangan harapan (putus asa). Seorang dapat kehilangan harapan karena ekspetasi yang berlebihan atau sikap ambisius akan sesuatu tidak terpenuhi oleh realita.

Seperti halnya Petrus yang kembali menjadi seorang Nelayan, bukan penjala manusia seperti harapan Kristus kala pertama kali memanggilnya. Harapan Petrus akan sosok Yesus sebagai pahlawan nasional tidak terpenuhi dan dia memilih kembali menjadi seorang Nelayan. Namun, perasaan kegagalan itu ternyata juga mempengaruhi kinerjanya sebagai nelayan. Hal ini terlihat ketika matanya dibutakan, sampai tidak menyadari kehadiran Kristus.

Bagaimana dengan kita? Kegagalan apa yang sering menghantui kehidupan dan kinerja kita? Jangan-jangan banyak pekerjaan dan usaha yang kita lakukan tidak mendapat hasil, bukan karena “guna-guna” dari orang lain. Tapi karena kinerja kita yang tidak maksimal, oleh karena dihantui oleh pengalaman-pengalaman kegagalan di masa lalu.

Atau, adakah diantara kita yang merasa sulit melakukan sesuatu saat ini? Bukan karena tidak dapat melakukan apapun, tapi terjebak oleh pengalaman-pengalaman kegagalan di masa lalu dan meras diri tidak berguna untuk melakukan apapun?

Saya pernah mendengar cerita ini, seorang kaya yang bangkrut lalu berhenti untuk melakukan kegiatan apapun. Ia tidak sakit, ia terlihat baik-baik saja secara fisik. Bahkan hal tersebut yang membuat dirinya dikatakan oleh orang lain sebagai pemalas.

Padahal nyatanya, dia tidak pemalas. Sebaliknya pengalaman-pengalaman kegagalan di masa lalu membuat dirinya berhenti untuk bangkit dari keterpurukannya. Ya, demikianlah renungan ini sampai kepada orang-orang demikian atau mungkin kita yang sedang membaca ini.

Faktanya, tidak ada yang pernah menginginkan kegagalan dan berencana untuk gagal. Fakta kedua, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, tentu dan akan selalu diluar kendali kita. Sehingga merespon dengan baik segala pengalaman itulah yang paling dibutuhkan.

Bagaimana cara terbaik untuk meresponnya?

Sadarilah; tidak peduli seberapa keras kita berusaha, kita tidak akan pernah sempurna, tetapi kita bisa berjuang untuk menjadi yang terbaik. Ketika kita melakukan kesalahan, penting untuk berhenti memukul diri sendiri dan mengambil kesempatan untuk belajar dan melakukan yang lebih baik lain kali. Sebab. Pengalaman (baik atau buruk) akan selalu menjadi guru yang terbaik, dan kita dapat menggunakannya untuk hal yang lebih baik kedepannya. Tanpa kegagalan, kita tidak akan pernah tahu diri bahwa kita hanya manusia yang rapuh dan tidak sempurna. Sehingga tidak jujur pada kegagalan justru akan mengembankan ego dalam diri yang sangat merusak pertumbuhan diri kita sebagai manusia. Inilah mengapa mengakui kegagalan itu menjadi penting sebagai langkah awal untuk belajar kembali.

Seperti halnya sikap Petrus yang langsung menyebur diri dan mengakui kesalahannya, kemudian kembali menjadi seorang penjala manusia sampai akhir hidupnya.

 

Komentar