Memberi dan Menjadi Persembahan Maleakhi 3:8-12

Photo by Dane Deaner on Unsplash

 

“Uang bukanlah segalanya” menjadi prinsip bagi beberapa orang untuk hidup yang lebih sederhana dan berbahagia. Namun jika benar demikian, mengapa pembicaraan mengenai uang dari mimbar Gereja menjadi sesuatu yang sensitif. Bahkan tidak jarang orang-orang seperti saya, merasa takut untuk membicarakan uang. Karena takut dianggap sebagai Teolog yang mata duitan. Padahal bila dipikirkan lagi, bila memang “uang bukan segalanya” tentu uang tidak lagi jadi masalah dalam pembendaharan Gereja. Apalagi sampai kesulitan dalam melaksanakan program pelayanannya atas dasar uang. Sebab, bagaimanapun bentuk pelayanannya “uang” menjadi salah satu bagian untuk menggerakan pelayanan Gereja.

Sekalipun demikian, uang seharusnya tidak lagi menjadi masalah dalam menggerakan pelayanan Gereja. Sebab, naik turunya keuangan Gereja “seharusnya” tidak mempengaruhi para pelayan untuk melayani Gereja. Seperti halnya kesaksian hidup seorang Paulus dalam pelayanannya, dikatakan “Saudara-saudari, kamu pasti ingat betapa giatnya kami bekerja. Kami bekerja baik siang maupun malam supaya kami tidak menjadi beban bagi siapa pun selagi kami memberitakan Kabar Baik dari Allah kepadamu.” (Bdk 1 Tesalonika 2;9)

Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa peristiwa seperti dalam Maleakhi 3:8-12 ini dapat terjadi bagi kita saat ini?

Seperti kita ketahui bangsa itu merengek kepada Allah. Hal ini tampak saat mereka mengalami situasi pasca pembuangan di Babel. Daripada memperbaiki kondisi kerohanian dan nilai-nilai kehidupan yang berkenan di mata Tuhan, mereka justru lebih memilih untuk melakukan playing victim, dimana seolah-olah mereka menjadi korban yang tidak bersalah dalam kehidupan yang mereka jalani. Dalam kenyataannya bangsa Israel bersalah, tapi mereka malah mempertanyakan kesetiaan Tuhan (bdk. Mal. 1:2; 3;9). Lebih lanjut lagi mereka mempertanyakan mengapa Tuhan tidak berkenan atas persembahan mereka dan menangis dengan air mata palsu, padahal mereka sendiri jelas tahu persembahan yang mereka berikan adalah persembahan yang cemar di mata Tuhan (bdk. Mal.1:8; 3:8)

Nah, bagaimana dengan kehidupan kita?

Jangan-jangan apa yang terjadi dalam kehidupan Bangsa Israel pasca Pembuangan di Babel juga terjadi kehidupan kita. Berfikir dengan berbagai macam filosofi kehidupan, namun tidak pernah menghidupinya. Bahkan mengalaskan “transparansi keuangan” untuk tidak berbagi pada siapapun termasuk pada Gereja. Padahal bila dilihat kembali dalam diri, sering kali justru kitalah yang sering kali tidak “transparan” dalam hal keuangan kepada Tuhan.

"Jika Anda menilai orang, Anda tidak punya waktu untuk mencintai mereka." Mother Teres

Jadi, bagaimana?

Kehidupan itu nyatanya tentang menaruh dan membagikan cinta bagi banyak orang. Saat kita menaruh dan membagikan cinta pada pasangan, tentu kita tidak pernah memikirkan tentang seberapa besar yang kita miliki. Sebaliknya kita justru berfikir tentang “Apa yang bisa kita beri” untuk mengekspresikan cinta itu, dimanapun dan kapanpun. Tanpa menunggu dan mencari momen tertentu. Sebab akan sangatlah sulit untuk mengekspresikan cinta, bila kita hanya menunggu “momen” (mis; saat kampanye, saat kaya, saat perayaan dsb). Karena seperti yang Mother Teresa pernah katakan "Not all of us can do great things. But we can do small things with great love". (Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Tetapi kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan penuh cinta).

Inilah yang harus menjadi pedoman dalam kehidupan kita, sebab uang selalu membawa pengaruh yang besar bagi setiap hal yang disentuhnya. Ia berfungsi sebagai pemberi motivasi (insentif), atau justru mengkorupsi nilai-nilai luhur yang ada, sehingga menjadi rendah. Ia memicu kinerja, sekaligus menghancurkan cinta, persahabatan serta solidaritas sosial yang mengikat kehidupan bersama manusia.  

Untuk itulah kita perlu untuk menempatkan uang ke tempat asalnya, yakni sebagai alat dari tujuan hidup manusia yang lebih tinggi, yakni kebahagiaan dan kepenuhan hidup. Untuk itu, kita perlu menggunakan pikiran kita tidak hanya untuk mencari dan mengumpulkan uang, tetapi untuk bertanya ulang, apa yang membuat hidup kita sebagai manusia itu penuh, dan apa tujuan sebenarnya dari semua yang kita lakukan.

Komentar