Bagi
beberapa orang, memiliki jiwa kompetitif sangat baik untuk menjadikan dirinya
lebih sukses. Bahkan hal ini telah mereka tanamkan sejak dini kepada anak-anaknya.
Sehingga orangtua ataupun anak yang memiliki jiwa kompetitif akan menganggap
hidup ini sebagai lahan persaingan. Jiwa
yang sebenarnya sangat berbahaya bagi mental diri dan sekitar. Sebab jiwa
kompetitif akan selalu memproduksi “Pemenang” dan “Pecundang”.
Dimulai
dengan lahirnya rasa ambisi, sesuatu yang tanpa disadari menimbulkan ekspetasi
terlalu tinggi, bahkan kepada diri sendiri. Sekalipun, memiliki ambisi untuk
maju dan berkembang tentu dapat membantu meningkatkan motivasi diri. Tapi sering
kali justru menjadi beban berat, yang pada akhirnya membuat kita melabeli diri
sebagai “Pecundang” saat tidak mencapainya.
Saat
diri telah terbentuk menjadi bagian dari produk “Pecundang”, kebanyakan dari
kita akan terlalu fokus melihat pada kekurangan yang kita miliki. Kita menjadi
pribadi yang tidak mencintai diri sendiri. Semakin kita sedikit mencintai diri sendiri, menghargai diri
sendiri, mendengarkan diri sendiri, memahami diri sendiri, maka semakin
bingung, kesal, marah, dan frustasi pula kita dalam menjalani hidup. Inilah
awal mula perperangan dalam diri yang nantinya juga akan berdampak kepada
reaksi kita pada diri sendiri dan sekitar.
Inilah
mengapa, jiwa kompetitif banyak mengandung unsur eksplosif, mudah pecah dan
meledak dalam bentuk: tindak kekerasan, koruptif, mengacau, kriminal,
memberontak dan lainya. Kemudian melahirkan kebudayaan baru yakni kebudayaan
eksplosif atau kebudayaan tegangan tinggi (high tenson culture). Bentuk
kebudayaan yang menonjolkan kepentingan diri sendiri dan rasa individualis,
sehingga mata hati jadi keras membeku terhadap kondisi sekitar.
Namun,
dalam sudut pandang lain Jiwa Kompetitif yang menghasilkan produk “Pemenang”
dan Pecundang” dibenarkan karena para pemenang dapat bermanfaat bagi
orang-orang kalah. Para pemenang akan peduli kepada yang kalah dan menyebut
perlakuan itu sebagai tindakan memanusiakan manusia. Bahkan kepeduliannya akan
mereka sebut dengan tindakan baik yakni “bersedekah pada si kalah”. Sungguh
tragis, namun demikianlah kenyataan itu terus berlangsung sampai kini.
Sesuatu
yang membawa penulis teringat akan 2 karya dari Yuval Noah Harari, seorang
sejarawan dari Universitas Ibrani Yerusalem yakni Sapiens (2011) dan Homo Deus
(2015). Berdasarkan kedua karyanya, kita menyadari bahwa hal keliru bila
kehidupan abad 21 dianggap sebagai masa paling membahagiakan. Sebab bagi Harari, perkembangan-perkembangan
masa kini membawa berbagai bencana. Baginya, kehidupan kita saat ini bisa jadi
adalah ‘utopia’ sekaligus ‘distopia’ bagi nenek moyang kita.
Misalnya,
kemampuan Manusia untuk bercocok tanam dan beternak (revolusi pertanian) pada
awalnya diharapkan mampu membawa kehidupan Manusia ke arah yang lebih baik.
Namun ternyata kemampuan tersebut malah menimbulkan banyak masalah baru. Surplus
makanan yang dihasilkan oleh para jiwa kompetitif menimbulkan ledakan populasi.
Semakin banyak makanan yang tersedia membuka kemungkinan bagi manusia untuk
memiliki lebih banyak keturunan. Pada satu titik, ketersediaan makanan menjadi
lebih sedikit daripada populasi sehingga seringkali terjadi kekurangan makanan.
Untuk menyiasati kekurangan makanan karena ledakan populasi dan faktor alam
(curah hujan, masa panen tanaman, masa subur binatang ternak, dll), Manusia
diharuskan untuk bekerja lebih keras. Pada akhirnya, para petani dan peternak
lebih banyak menggunakan waktunya untuk bekerja sebagai bagian perebutan
makanan dengan manusia lainnya.
Revolusi
sains yang berjalan beriringan dengan kapitalisme, juga tidak kalah berperan
dalam menghadirkan berbagai bencana di muka bumi. Kapitalisme berperan penting
bukan hanya dalam kebangkitan sains modern, melainkan juga kemunculan
imperialisme Eropa. Penjajahan ekonomi, politik, serta budaya dilakukan atas
nama akumulasi kapital dan ‘modernisasi’. Kultus pasar bebas dan pertumbuhan
ekonomi juga melahirkan berbagai perang, eksploitasi sumberdaya alam, bahkan
perbudakan.
Indonesia
kini mengalami perkembangan pembangunan, modernisasi dan industrialisasi yang
pesat. Ternyata melahirkan masalah-masalah sosial dan gangguan / disorder
mental. Sebab banyak masyrakat yang tidak mampu melakukan adjustmen atau
penyesuaian diri dengan cepat terhadap macam-macam perubahan sosial.
Tidak
heran angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan graifk kenaikan. Sebab situasi
yang kompetitif memaksa masyarakat harus bisa survive. Mereka yang tidak mampu
berusaha survival dan melakukan penyimpangan perilaku ditambah memiliki
penguasaan eksternal yang rendah maka pilihan bunuh diri adalah yang paling
mudah untuk dilakukan. Karena dengan bunuh diri dianggapan persoalan hidup yang
kurang menguntungkan bagi dirinya terselesaikan.
Individu-individu
yang tidak mampu melakukan adjustment itu selalu tidak conform tindakannya
dengan norma-norma dan kebiasaan sosial. Mereka selalu mengalami banyak ketegangan
dan tekanan batin, disebabkan sanksi-sanksi yang lahir dari dunia kompetitif.
Hal
ini akan menjadi berbeda ketika manusia merubah “jiwa kompetitif” menjadi
“Berdaya Guna/Bermanfaat” bagi orang lain. Istilah yang mengajak manusia untuk
hidup bermanfaat dan menjadi sekaligus memberi manfaat bagi orang lain dan
sekitar. Sehingga kemampuan yang kita miliki diperuntukkan untuk kepentingan
bersama, bukan mengalahkan orang lain dan sekitar. Ketika kita memiliki
kekayaan material berlimpah, kita gunakan untuk membantu sesama yang
kekurangan. Kita bertanggung jawab memberdayakan masyarakat yang miskin secara
ekonomi. Pendidikan yang kita dapatkan bisa turut mencerdaskan dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat yang lemah dan kurang berdaya. Jika kita membangun
sektor perekonomian dan sektor pendidikan, maka dimaksudkan agar kita memiliki
daya guna/manfaat untuk membangun kehidupan yang dihuni jutaan manusia
ciptaan-Nya. Jika negara kita maju, kita pun ingin negara-negara lain juga
maju. Jika kita tak ingin terpuruk, maka kita juga tak ingin melihat orang lain
terpuruk.
Sehingga
dengan keberagamaan dan keistimewaan yang dimiliki; setiap orang tidak tertuju
pada persaingan. Sebaliknya kita menjujung tinggi kebersamaan untuk saling
mengisi satu dengan yang lainnya atau dalam budaya Karo disebut “Aron”. Suatu
system kolaborasi yang dahulu dan dijunjung orang karo dalam setiap lini
kehdiupan.
Lebih
daripada itu setiap orang harusnya menyadari bahwa dalam dunia ini, kita harus
sangat adaptif. Sebab tidak semua hal di dunia ini dapat terkonsep dengan
sempurna seperti yang kita harapkan. Ada banyak ketidakmungkinan dalam
kehidupan ini, akan terjadi. Siap ataupun tidak, semua orang harus
menghadapinya. Maka dari itu, selain dari pada konsep hidup yang berdaya guna/
bermanfaat, setiap orang juga perlu menanamkan dalam dirinya tentang sikap yang
selalu dan mampu berdaptasi. Sebab kehidupan ini adalah anugerah atas belas
kasih Tuhan, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu dengan yang lain atau
dalam budaya Karo, istilah ini disebut “Ajari Bancina”. Istilah yang
menyemangati dan mengajak setiap orang karo untuk terus belajar dan berdaptasi
pada kehidupan yang serba mengejutkan. Sebab dengan akal dan budi yang
diberikan, kita dapat berdaptasi pada situasi yang terkadang jauh dari
ekspetasi. Sehingga ambisi dalam diri dapat terkendali dan tidak melakukan
tindakan eksplosif Dengan iman, kita dapat memelihara, membangun dan
membangkitkan kembali dunia ini seturut kehendaknya. Sehingga dunia kompetitif
yang terjadi saat ini, perlahan menghilang dimulai dari diri sendiri juga
sekitar kita. Inilahan tatanan tertinggi menjadi manusia, yakni hidup saling
berbagi dan bermanfaat satu dengan lainnya. Bukan kembali dan membentuk tatanan
terendah dari manusia yakni saling bersaing dan menciptakan peperangan antar
sesame manusia.
Daftar
Pustaka
Harari, Yuval Noah. (2014). Sapiens: A Brief History of Humankind.
Amazon e-book Kindle Edition.
Harari, Yuval Noah. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.
Amazon e-book Kindle Edition.
Komentar
Posting Komentar