PERDAMAIAN BUKAN DAMAI-DAMAI Filemon 1:8-18



Sadarkah kita, bahwa setiap orang memiliki masa lalu dan masa depan. Tidak ada yang pernah benar benar sama, selain mereka yang kita pandang dengan kebencian. Mengapa? Karena mereka akan tetap menjadi seorang bersalah dimata kita yang membenci, Padahal didalam ikan yang gemuk masih terdapat duri dan didalam kurusnya ikan masih tersimpan daging. Kira-kira demikianlah kata-kata ini tercipta dari perikop yang menceritakan bagaimana permintaan Paulus untuk Onesimus dapat diterima sebagai saudara dalam Kristus.

Seperti kita ketahui, Onesimus dikenal dalam pelayanannya bersama-sama dengan Tikhikus yang mengantar surat ke jemaat Efesus dan Jemaat Kolose. Namun, Onesimus juga seorang budak yang melarikan diri dari tuannya. Bahkan ada kemungkinan besar sebelumnya Onesimus telah mencuri milik Filemon. Alasan mengapa Onesimus melarikan diri tidaklah diberitahukan. Sebuah alasan untuk melarikan diri yang sering diutarakan pada zaman itu adalah keinginan untuk bebas dan mendapatkan perlakuan yang manusiawi.

Sampai pada pertemuannya dengan Paulus di penjara Roma. Paulus bersaksi dan menyatakan bahwa Onesimus telah berbuat salah. Tapi, Paulus tidak berhenti pada masa lalu semata, karena masa lalu tersebut telah diampuni Tuhan. Paulus mengarahkan perhatian Filemon pada pembaharuan yang telah terjadi pada diri Onesimus pada masa kini melalui Yesus Kristus. Paulus bukan berarti menyepelekan kesalahan yang telah diperbuat Onesimus, melainkan menunjuk pada suatu kemungkinan campur tangan Allah dalam hal Onesimus. Paulus telah melihat pertobatan Onesimus. Paulus menunjuk pada hubungan yang baru antara Filemon dan Onesimus, yaitu suatu hubungan dalam Kristus yang memiliki dimensi kekekalan.

Pertanyaannya adalah bagaimana bila dalam kesempatan tersebut, kita adalah Filemon yang telah dicurangi oleh Onesimus. Apakah kita benar-benar bisa menerimanya?

Sadarkah kita bahwa, tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa kita genggam walau kita sudah sangat mengenalnya. Bila kita menyadarinya maka seharusnya kita tidak akan terkejut pada perubahan-perubahan yang mungkin dapat merusak hubungan kita dengannya. Tapi, hubungan tersebut bisa diperbaiki, bukan karena perubahan orang lain seperti permintaan Paulus mengenai Onesimus. Tapi karya Allah pada kita dan orang lain. Sebab, kebencian sering menguasai pandangan kita akan orang lain. Sementara pengakuan akan karya Allah pada kita dan orang lain menyadarkan bahwa kita hanyalah bagia dari rancangannya. Sehingga kehidupan orang lain, apakah itu kesalahan; kebaikan dsb. Akan menjadi bagian karya Allah untuk mendewasakan diri kita.

Namun ini tidak berhenti pada hal itu saja, sebab ada kesalahpahaman pula bila ini kita generalisasi dalam setiap kasus. Sebab Allah juga tidak ingin kita bodoh dalam bersikap. Seperti halnya Onesimus yang mendapatkan hukuman dari Allah, dengan masuknya dia dalam penjara. Ini juga harus memberikan kita kesadaran, bahwa penilaian dan hukuman itu bagian dari Tuhan. Sehingga bukan keinginan kita untuk menghukum orang lain, seperti Tindakan-tindakan hakim sendiri. Tetapi kesadaran bahwa aparat hukum adalah orang yang berhak untuk menentukan kesalahan kesalahan orang lain. Untuk itulah, dalam khotbah di Bukit Yesus bercerita tentang bagaimana menghentikan kekerasan bukan pembiaran pada kekerasan. Jadi, bukan pembiaran pada orang-orang bersalah. Sebab sering kali “damai-damai” yang kita sebut justru menjadi pembiaran bagi orang-orang bersalah untuk terus menerus melakukan kesalahan. Sehingga secara tidak langsung, kita melakukan pembiaran kepada mereka yang telah bersalah. Contohnya, seperti para pelaku KDRT, pemerkosaan, pencurian, pengguna dan bandar narkoba. Jangan sampai, “Damai-Damai” yang kita sebutkan justru membuat mereka semakin terjerumus dalam kesalahan atau bahkan sampai memakan korban lain. 

Sehingga melalui kesadaran inilah kita dapat berdamai dengan diri sendiri, kesalahan orang lain dan memberhentikan kesalahan itu dilakukan terus berulang-ulang.

Komentar