BERUNTUNGNYA ISRAEL BERTEMU MIKHA, BUKAN YUNUS (Mikha 7:14-20)

 

 


 


Saudaraku, izinkan saya bertanya kepadamu. Sekiranya, hari ini aku berbicara tentang Firman Tuhan dan Berdoa untukmu. Apakah yang engkau pilih, makanan keras atau halus? Jika makanan keras yang saudara pilih maka izinkanlah aku berdoa untukmu;

 

Tuhan yang baik dan penuh belas kasih

Melalui tulisan ini, aku ingin berdoa bagi pembacaku

Sekiranya Tuhan memberikan pengarahan dan petunjuk kepadanya

Apabila dirinya masih tidak mau bertobat, maka pukulah dia dengan tongkatMu

Agar dia mengerti dan datang kepadaMu

Sekiranya dia tidak juga bertobat. Tunjukkanlah belas kasihanMu

Pukullah dirinya kembali, agar dia datang kepadaMu.

Amin..

 

Kira-kira, demikianlah doa seorang Nabi Mikha bagi Bangsa Israel yang tegar tengkuk. Pada ayat 14, ditulis tentang Gembala dan tongkatnya. Seorang Gembala dengan tongkatnya sering digunakan bukan hanya untuk mengarahkan, tetapi juga memukul dombanya sampai kakinya patah. Demikianlah kebiasaan para Gembala masa itu, setelah memukul dombanya dengan tongkatnya maka Gembala akan menggendong domba itu. Demikian juga lukisan-lukisan yang terkenal tentang Yesus dan dombanya yang digendong.

 

Hal yang menarik dan tampaknya sulit diterima oleh banyak orang, ketika dia harus belajar untuk berjalan kembali, agar dapat diarahkan oleh Tuhan. Mengapa? Karena penderitaan tidak pernah diinginkan oleh siapapun. Tapi dalam perikop tersebut, Nabi Mikha berdoa agar Tuhan memberikan pelajaran itu kepada bangsanya. Sesuatu yang bagi saya, sebenarnya tidak mungkin didoakan di atas mimbar untuk jemaat yang tegar tengkuk. Tetapi kenyataanya, justru hal ini sering terjadi dan kerap dilakukan untuk kepentingan pribadi bukan dasar Firman Tuhan.

 

Karena itu, hari demi hari perkembangan Gereja-Gereja yang kerap melakukan tindakan-tindakan semacam ini justru menghambat perkembangan dari Gereja tersebut. Nah, bagaimana keadaan Gereja saudara? Coba evaluasi kembali, jangan-jangan………….. ???

 

Berbicara tentang kehidupan Mikha juga menarik, mungkin bila dibandingkan dengan pengalaman Yunus di Niniwe. Hal ini tentu akan jadi berbeda, karena Yunus pasti akan membiarkan Bangsa Israel sampai pada kehancuran karena tegar tengkuknya. Seumpama orang-orang yang telah sakit hati dan meninggalkan Gerejanya, demikianlah Yunus akan menatap kehancuran dari Gereja tersebut. Sedang Mikha, dia tetap memohon belas kasih Tuhan. Walaupun seperti yang telah dibahas sebelumnya, permohonan Mikha itu unik.

 

Bagaimana dengan saudara saat ini? Apakah saudara memilih menjadi Yunus untuk membiarkan Tuhan menghancurkan Gereja yang telah berbuat salah kepada saudara? Atau sebaliknya, saudara justru mengambil pilihan untuk bertobat dan setia dalam pelayanan saudara yang sering justru membuat saudara sering sakit hati dan menangis?

 

Atau kita ambil kondisi yang tidak terlalu ekstrim. Misalnya, ketika saudara sebagai Gereja yang berada ditengah-tengah Masyarakat yang memiliki kesenjangan ekonomi dan Pendidikan. Sebagai, Gereja apa tindakan saudara untuk mereka?

 

Saya teringat tentang kisah Paulus dalam Kisah Para Rasul 22:17-29 dan Para Misionaris Belanda di masa Penjajahan. Kedua kisah ini menarik, karena mereka dianggap berbicara kepada orang lain yang mencurigai diri mereka dikarenakan masa lalu atau misionaris Belanda dengan anggapan sebagai penjajah. Namun, apakah mereka berhenti? Tidak, mereka terus memberikan dirinya sampai Injil diberitakan.

 

Bagaimana tantangan kita dalam pelayanan? Seberat apa yang kita alami saat ini? Saya tidak ingin membandingkan dengan tokoh alkitab lainnya, namun jika memang itu sangat berat bersyukurlah karena saudara telah benar-benar melayani Tuhan. Sebab hanya, mereka yang memikirkan, memberitakan dan mengajarkan Firman Tuhanlah yang merasakan beban tersebut. Namun, tetap perlu diingat bahwasanya beban itu bukan untuk dipikul dengan otak. Tapi pikulah dalam iman bersama Tuhan agar beban itu terasa ringan dan nyaman,

 

Tentu, saya juga tidak ingin berhenti pada nasihat-nasihat klise  seperti ini saja. Pertanyaan reflektif yang paling penting untuk saat ini kita refleksikan adalah, “Bagaimana kehadiran Gereja bagi jemaat juga masyarakat diambang krisis yang semakin nyata terlihat?”. Apakah Gereja melulu hanya berbicara tentang rohani saja, dan diam dalam retorika-retorika belaka? Atau Gereja kembali pada masa lampau Bait Allah mula-mula yang menjadi wadah untuk bicara tentang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama? Atau Gereja masih terlalu asing melihatnya?

 

The world looks at preachers out of church to know what they mean in it.

Richard Cecil

 

 

Komentar