GBKP MENUJU 2023 “JEMAAT MENJADI PELAKU AKTIF PELAYANAN”

 


Sejatinya tulisan ini hanyalah bagian dari refleksi atas sasaran pelayanan yang telah dicetuskan oleh GBKP untuk tahun 2023. Suatu refleksi kritis untuk diri sendiri sebagai seorang Detaser GBKP di Rg Daulu Kuta.

Seperti kita sadari, bahwa Firman Tuhan tidak lagi diberitakan top-down, dari atas ke bawah, dari klerus ke awam¸namun dialogis. Sehingga ada keterlibatan anggota jemaat melalui pengalaman-pengalaman konkretnya yang diwujudnyatakan bukan hanya dalam bentuk persekutuan, tapi juga pelayanan diakonia dan berbagai macam bentuk kesaksian dalam Gereja atau kepada masyarakat secara luas.

Namun, bagaimana kenyataanya?

Kegiatan ini dianggap hanya tugas dari para Gembala (Pdt,Vikaris,Detaser) , Majelis Gereja atau “jabatan” lainnya. Alhasil hanya orang-orang tersebutlah yang berkewajiban untuk melaksanakan tritugas Gereja (Koinonia,Diakonia,Marturia). Sangat berbeda dengan tanggapan Peter Wagner, seorang teolog yang bicara tentang perkembangan Gereja. Baginya, Gereja dapat berkembang dengan pesat jikalau para gembala dan jemaatnya saling memegang juga mengambil peranan mereka. Peranan Gembala dan Majelis lainnya adalah sebagai pelengkap, sesuai dengan Surat Efesus 4;12. Maksudnya, mereka memperlengkapi anggota jemaat yang lainnya supaya jemaat dapat melayani dengan benar dan baik. Peranan setiap anggota jemaat adalah melayani. Maksudnya, merekalah yang seharusnya memegang pelbagai pelayanan yang ada di dalam Gereja demi pembangunan tubuh Kristus, sesuai dengan bagian terakhir dari Efesus 4:12. Jikalau pembagian peranan ini dilakukan dengan baik, maka Gereja Tuhan dapat berkembang dengan sangat pesat.

Tetapi itu hanyalah pandangan, saya tidak begitu menyetujuinya. Mengingat pandangan Peter Wagner inilah yang akhirnya justru disalahartikan dengan membentuk para Gembala dan Majelis lainnya sangat intruksional. Suatu bentuk kepemimpinan yang sering kali digunakan oleh para pendidik dengan perancangan kurikulum.

Alhasil, jemaat memiliki pemahaman tentang “adanya” perbedaan antara orang berjabatan gerejawi. Suatu bentuk Hierarki yang memunculkan ketakutan dan perasaan tidak memiliki pengetahuan “Awam” tentang Alkitab. Sehingga berbagai bentuk pelayanan dan hubungannya dengan Alkitab, justru semakin mengaggap dirinya “Awam” dengan kecenderungan pasif dan menerima begitu saja. Atau, jika tidak setuju, diam-diam mundur lalu menghilang.

Dave Dean Capucao dalam tulisannya “Religion and Etnocentrism: An Empirical-Theological Study” bercerita tentang 3 bentuk Gereja yakni ;

1. Gereja Hirarkis

Model gereja ini dapat digambarkan seperti sebuah struktur piramida yang, di dalam Gereja Katolik, terdiri dari beberapa strata: Allah, Kristus, Paus, Uskup, Imam, Diakon; yang di bawah adalah orang religius yang tidak ditahbiskan,  dan para awam; pertama laki-laki, dan terakhir adalah perempuan dan anak-anak.

2. Gereja Tersentralisasi

Dalam Gereja Katolik bentuk sentralisasi tergantung dari level mana yang dilihat , baik ranah makro, meso maupun mikro. Setiap level tersebut dapat membedakan antara struktur sentralisasi dari struktur yang desentraliasi. Pada ranah makro, struktur sentralisasi memandang paus memiliki sebuah kekuatan yang penuh, besar dan universal. Paus memiliki otoritasnya yang berpengaruh bagi seluruh gereja, bahkan sebagai satusatunya otoritas.  Sedangkan struktur desentralisasi ditandai dengan kolegalitas dan persekutuan keuskupan. Dasar seperti kolegalitas, subsidiaritas, otonomi gereja lokal, ekelsiologi persekutuan adalah bentuk dari desentralisasi. Dengan demikian, kekuatan dan otoritas ada dalam persekutuan dari gereja yang berkolega. Pada level meso, sentralisasi mengambil bentuk episkopalsentrisme yang berarti kekuasaan dari gereja lokal berada di uskup. Sedangkan desentralisasi mengambil bentuk dewan presbiter, majelis pastoral keuskupan, yang mana secara perencanaan dan keputusan mengikutsertakan administrasi gereja pada level lokal. Pada level mikro, sentralisasi berbentuk klerikal.

3. Gereja Demokratis

Karakter dari gereja demokratis adalah tanggung jawab bersama dan kolegal dari semua anggota komunitas yang kontras dari apa yang disebut sebagai ‘gereja klien’ (mentalitas klien berhubungan dekat dengan struktur gereja yang patriakal dan feodal yang mana partisipasi anggota sangat minim). Dalam struktur yang demokrasi, seluruh anggota, dalam hal ini warga jemaat, berpartisipasi dalam perencanaan, pembuatan kebijakan, dan eksekusi tugas. Dalam struktur ini, pendapat dan persepsi mengenai iman akan didengarkan. Selain itu, ia juga mengikutsertakan peran kaum awam dalam fungsi dan pelayanan gereja. Bentuk kebijakan tidak lagi hirarkis melainkan setara dan semua memiliki andil.

Jika melihat pada sasaran Pelayanan GBKP tahun 2023, maka seharusnya warga jemaat memiliki pandangan mengenai gereja yang demokratis, karena warga jemaat diajak untuk berpartisipasi pada perencanaan, pembuatan kebijakan dan pengeksekusian tugas. Sangat terlihat bahwa partisipasi warga jemaat menjadi fokusnya, persis seperti sasaran pelayanan GBKP tahun 2023.

Sejalan dengan yang dituliskan, Pdt Tabita Kartika Christiani, Ph.D dalam tulisannya mengenai Peluang Untuk Mewujudkan Konsep “Jemaat Menjadi Pelaku Aktif Pelayanan”, yakni:

Anggota jemaat masuk dalam berbagai komunitas yang ada di jemaat, yang fleksibel dan berkembang sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman serta kreativitas anggota jemaat. Majelis Jemaat membuka ruang-ruang dialog dan memberi kebebasa kepada komunitas-komunitas untuk mengembangkan diri. Majelis jemaat mendampingi bukan mengawasi. Komunitas-komunitas itu tidak terbatas hanya melayani diri sendiri atau melayani ke dalam gereja, melainkan melakukan pelayanan ke luar kepada masyarakat pula.

Maukah kita, mewujudnyatakannya? Atau kita kembali ke zaman kolonial yangmana Misionaris menjadi penentu tentang iman orang Indonesia, dan mengintruksi dengan beralaskan kekhawatiran juga sinkretisme, juga anggapan serta penyebutan jemaat sebagai “Awam”



Komentar