BAHAN SERMON PJJ GBKP 9-15 OKTOBER 2022 "MEMBERITAKAN KEBEBASAN" Jesaya 61:1-2 Diakonia Transformatif

 


Sekitar tahun 365 Basilius Agung, Uskup Kaisarea, mengatakan berikut ini: "Bila seseorang mencuri pakaian orang lain, ia dituduh pencuri. Tidakkah sebutan yang sama semestinya dikenakan juga kepada orang yang dapat memberi pakaian kepada yang telanjang tetapi tidak berbuat demikian? Makanan yang ada (ditimbun) dalam lemari penyimpanan adalah milik orang yang kelaparan; mantel yang tak dipakai lagi dan tergantung di kamar mandi adalah milik orang yang membutuhkannya. Sepatu yang semakin kumal di kamarmu termasuk milik orang yang membutuhkan sepatu. Uang yang kautimbun adalah milik orang miskin."

Dalam zaman modern ini arti perkataan Basilius Agung ini adalah bahwa orang-orang dalam negara maju menghabiskan sumber-sumber alam lebih dari bagiannya yang fair, maka mereka "merampas" makanan, pakaian dan hal-hal esensial lainnya dari mereka yang benar-benar membutuhkannya.

Nah, bila demikian bagaimana dengan Gereja? Apakah Gereja saat ini juga disebut sebagai pencuri dalam pengertian Basilius Agung, Uskup Kaisarea? Bila kita menelisik kembali tentang kehadiran Gereja dalam situasi sekarang ini, bagaimana dampak dari kehadiran Gereja kepada masyarakat secara luas?

Tentu ketika kita berbicara mengenai kehadiran Gereja akan kehidupan berjemaat suda diberlakukan beberapa kegiatan-kegiatan diakonia karitatif (kunjungan orang sakit, memberikan penghiburan yang berduka, memberikan bantuan pada yang terkena bencana dsb). Namun bagaimana tindakan tindakan yang bersifat Diakonia Transformatif? Apakah Gereja hadir untuk pengembangan-pengembangan perekonomian jemaat? Apakah Gereja ambil bagian untuk berdiakonia secara transformatif kepada masyarakat?

Kemiskinan dan akses pendidikan yang rendah adalah permasalahan utama di negara berkembang. Para peneliti meyakini bahwa kemiskinan dan pendidikan yang rendah menyumbangkan peran penting dalam degradasi lingkungan hidup secara significant. Korelasi antara kemiskinan dengan laju kerusakan lingkungan telah diidentifikasi di berbagai kawasan di negara berkembang. Sementara itu, buruknya tingkat pendidikan juga diketahui mempunyai korelasi dengan kemiskinan dan rendahnya kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengelolaa lingkungan. Terkait dengan permasalahan tersebut, masyarakat global dan pemerintah setempat telah memberikan perhatian serius terhadap masalah tersebut (Collier dan Dollar, 2002; Grindle, 2004; Scherr et al., 2004). Peran pemerintah di negara berkembang seringkali dibatasi oleh berbagai isu krusial seperti aspek kebijakan, ketersediaan dana operasional, keterbatasan kapasitas lembaga dan sumberdaya pemerintahan, akses social, teknis pelaksanaan program dan jaringan pendukung keberlanjutan program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas pendidikan. Sebagai sebuah permasalahan yang komplek, penanganan permasalahan tersebut membutuhkan peran multi pihak. Berbagai pendekatan dalam pembangunan masyarakat terbaru meyakini bahwa pelibatan komponenkomponen non pemerintahan menjadi sangat penting. Saat ini, banyak negara berkembang mendorong peran aktif kelompok masyarakat lewat berbagai organisasi kemasyarakatan dan LSM untuk berpartisipasi dalam program pemberdayaan masyarakat (Bäckstrand, 2006). Pemberdayaan merupakan salah satu strategi atau paradigma pembangunan yang diimplementasikan dan dikembangkan dalam kegiatan pembangunan. Paradigma pemberdayaan berupaya untuk mengubah kondisi yang serba sentralistis ke situasi yang lebih otonom. Pemberdayaan saat ini berupaya untuk memberi kesempatan pada sekelompok kelompok orang miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah dipilih dan ditetapkan oleh masyarakat. Meskipun pemerintah pusat seringkali gencar dalam melaksanakan program pemberdayaan, berbagai projek pemberdayaan gagal karena pandangan yang salah dalam memahami kegiatan tersebut (Simpson et al., 2003). Pelaksana program seringkali kurang menunjukkan tanggung jawab dan totalitas dalam melaksanakan program. Selain itu skil komunikasi yang kurang efektif juga menyebabkan banyak kegagalan program pemberdayaan (Fritzen, 2005). Masyarakat seringkali tidak memahami maksud dari pemberdayaan danmempunyai apresiasi yang rendah sehingga menghambat program pemberdayaan. Dengan keterbatasan yang dimiliki pemerintah, peran dari NGO dan organisasi-organisasi berbasis keagamaan menjadi sangat strategis (Duthy dan Bolo-Duthy, 2003) . Peran oraganisasi keagamaan dalam menjalankan program pemberdyaan masyarakat telah didentifikasi memberikan kontribusi yang sangat signifikan. Agama adalah salah satu modal social penting dalam pembangunan masyarakat (Candland, 2001; Ssewamala & Ismayilova, 2008). Hal ini terutama efektif berjalan pada masyarakat dengan basis religi yang kuat. Salah satu pola pemberdayaan di Sulawesi Utara, Indonesia, adalah lewat peran gereja. Dengan mayoritas penduduk beragama Kristen, Gereja di Sulawesi Utara memainkan peran penting dalam pembinaan masyarakat. Walaupun dalam beberapa artikel menyebutkan, kegiatan-kegiatan tersebut belum dirasa optimal.

Tapi, bila ditanya kembali? Bagaimana denga Gereja kita?

“Jarak terdekat antara dua titik adalah perhatian.” Ini berlaku berkenan dengan hidup yang penuh dengan kasih sayang. Titik atau landasan awal suatu kehidupan yang penuh dengan kasih sayang adalah keinginan dan komitmen untuk menjadi sumber kasih sayang. Sikap, pilihan, tidakan kebaikan, dan kerelaan kita untuk menjadi orang yang lebih dahulu menghampiri akan membawa kita menuju tujuan ini. Maukah Gereja melakukannya?

“Tidak cukup Cuma berbicara tentang Kasih, kita harus percaya akan hal itu…Dan tidaklah cukup hanya percaya akan hal itu, orang harus melakukannya.”

Komentar