KENAPA ISRAEL MASIH MENDAPAT PENOLAKAN? Refleksi dari Kacamata Berbeda

 


Indonesia yang seharusnya menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, secara resmi dibatalkan oleh FIFA. Beberapa orang menyebut hal ini diakibatkan oleh penolakan-penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terhadap kehadiran Israel. Tapi benarkah demikian. Seperti yang dituliskan dalam media Kompas, Berdasarkan pernyataan resmi FIFA, mereka tidak menjelaskan alasan spesifik Indonesia batal jadi tuan rumah. Federasi sepak bola internasional itu hanya menuliskan "situasi terkini" yang menjadi landasan utama keputusan pembatalan.

Nah yang menjad menarik bagi saya adalah, mengapa ya sampai sekarang Israel terus mengalami penolakan. Kalau anda sendiri? Bagaimana? Sedikit refleksi dari kacamata berbeda untuk kita semua;

 

Bagaimana saya memegang komitmen saya pada Yudaisme, sebuah komitmen di mana saya terikat dengan Alkitab, ketika di hati paling dalam saya merasakan bahwa sebuah ketidakadilan yang amat besar sedang berlangsung di Israel? Bagaimana bisa saya merayakan kelahiran negara Israel jika di saat bersamaan saya juga menangisi penderitaan orang Arab Kristen yang merupakan saudara seiman saya di dalam Kristus? Dan, bagaimana saya bisa mencintai Muslim Palestina yang benar-benar disalahpahami oleh semua pihak yang bertikai dalam konflik ini?

Gary M Burge[1] – Whose Land, Whose Promise? (2003)

Pernahkah anda mendengar tentang “Surat Doa Yerusalem”, yang disebarkan oleh sebuah organisasi Kristen Konservatif berdama Bridges for Peace?. Orang-orang Kristen ini dengan tulus hati mendukung Israel dan berupaya membina sikap saling pengertian antara Kristen/Yahudi. Dalam menggambarkan Perang Teluk, Jim Gerrish, edito surat doa itu, membandingkannya dengan permusuhan terhadap Israel selama perang dengan Nebukadnezar di Perjanjian Lama. Nebukadnezar, seperti Saddam, merencanakan penghancuran Yerusalem. Gerrish mengatakan:

Hari ini kita melihat para presiden dan bangsa-bangsa menentang umat pilihan (Israel). Kelihatannya semua melawan Israel. Sekalipun demikian, Israel memiliki pertolongan. Raja semesta alam ada di sampingnya dan tetap ada sampai selamanya. Israel-Lah yang akan menjadi pemenang pada akhirnya. Bangsa-Bangsa yang menentangnya akan dibinasakan (Mzm 129:6). Mereka yang berdiri bersamanya akan diberkati sekarang dan selamanya.

Jika kita melihat Israel melalui kacamata eskatologi ini atau kacamata nubuatan hari akhir, kita semua dibuat tenang, karena dengan demikian kita tidak berada di pihak yang salah. Benar bukan?

Tapi bolehkah saya mengajak kita berfikir tentang fakta dari informasi yang berbeda? Mengingat ada orang Kristen yang menderita dalam peperangan Israel Palestina. Bahkan kita sendiri juga menyadari, bahwa peperangan ini bukanlah hal yang begitu sederhana.

 

Apakah ada orang Kristen Palestina, atau orang Palestina Kristen? Saya lahir di Betlehem pada tanggal 26 Juni 1962, di sebuah keluarga yang telah menetap di kota ini dalam waktu yang sudah lama sekali.Keluarga Raheb telah tinggal di Betlehem dan sekitarnya selama berabad-abad.
Pdt Mitri Raheb – Betlehem

Berapa banyak orang Kristen Arab yang tetap tinggal di Israel/Palestina? Salim Munayer, dekan Betlehem Bible College, mencatat bahwa di wilayah Israel pra 1967, sekitar 107.000 orang Arab Palestina adalah Kristen; mereka terutama tinggal di Galilea. Di Tepi Barat, ada sekitar 7000 hingga 9000 orang Kristen, ditambah 7000 lainnya di Yerusalem. [2] Menurut perkiraan resmi Mandat Inggris, orang Kristen Palestina pada tahun 1922 meliputi 9,5 % dari total populasi dan 7,9 % pada tahun 1946.[3] Banyak orang Kristen mengungsi selama Perang Arab-Israel 1948, beberapa melarikan diri atau diusir negara. Sejumlah besar meninggalkan Tepi Barat selama pendudukan Yordania karena alasan ekonomi. Sejak tahun 1967, penduduk Kristen Palestina telah meningkat meskipun terus beremigrasi.[4] Pada tahun 2013, Kristen Palestina berjumlah kurang dari 4% seluruh orang-orang Arab yang hidup dalam batas-batas Mandat Lama Palestina. Kristen Palestina di Tepi Barat sekitar 2% dari total populasi penduduk dan kurang dari 1% di wilayah Jalur Gaza.[5]

Masalah utama yang kami hadapi sebagi orang Arab Kristen pastinya adalah: kami telah didefinisikan oleh orang lain, orang Barat. Suara kami tidak pernah diminta, tidak pernah didengar dan tidak pernah diucapkan. Nilai pengalaman, suara dan rasa harga diri diabaikan. Tantangan yang kami hadapi adalah bagaimana caranya agar suara kami terdengar, gambaran dan perbuatan kami dibicarakan. – Munir Fasheh, Bir Zelt

Ketika orang Kristen melihat masalah Israel/Palestina yang rumit, kita rupanya mengabaikan sebuah komunitas yan mencari dukungan kita dan penggalangan iman. Selama ini kita bernafsu mendukung kehidupan dan masa depan Israel, namun dengan melakukan hal itu, kita telah mengabaikan gereja purba Kristus di kota-kota tempat di mana Dia lagir, menghabiskan masa kecilNya, dan melakukan pelayananNya.

Lebih buruk lagi , orang Kristen di Israel/Palestina sedang menderita. Terutama di Tepi Barat dan Gaza (juga di berbagai tempat) mereka didiskrimansi, ditindas, dan ditawan di dalam negeri mereka sendiri.

Empat tahun setelah pelarian kami dari Lydda, saya mendedikasikan diri saya untuk melayani Yesus Kristus. Seperti saya dan teman-teman pengungsi saya, Yesus telah hidup dalam keadaan yang sengsara, kerap kali hanya dengan berbantal batu. Mereka menyiksa dan membunuh Dia di Yerusalem, hanya 15 km dari Ramallah, tempat tinggal saya yang baru. Dia adalah korban penghinaan yang mengerikan. Namun, Yesus berdoa untuk semua orang yang merencanakan kematianNya, “Bapa, ampunilah mereka....” Dapatkah saya melakukan hal itu? (Audeh Rantisi, Ramallah)

Jika ada sebuah pasal Alkitab yang menjadi sangat penting bagi pengalaman orang Kristen Palestina, itulah kisah Ahab dan kebun anggur Nabot yang tertulis dalam 1 Raja-Raja 21. Pasal ini sangat penting karena menunjukkan ketidakadilan yang terdalam: pencurian tanah. Alasan-alasan Israel tentang keamanan nasional, kelayakan dan tempat tinggal utama semuanya diperbandingkan dengan gambaran Ahab yang mencuri kebun anggur Nabot. Batu ujian alkitabiah ini melekat di hati orang Palestina.

Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihanilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir, Akulah Tuhan, Allahmu. – Im 19:33-34

Menarik dengan apa yang disampaikan J.B. Banawiratma dalam kata pengantarnya dalam buku yang berjudul Gereja dan Penegakan HAM. Bahwa, Yesus hadir di tengah-tengah orang-orang yang menjerit merindukan bela rasa dan keadilan Allah. Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, Allah Yesus, adalah Allah yang penuh bela rasa terhadap yang tertindas. Vox victimarum cox Dei, jeritan para korban menggemakan suara Allah yang memanggil.

Para korban menyuarakan Allah. Allah diwakili oleh para korban. Perbuatan bagi dan bersama para korban merupakan perbuatan bersama dan bagi Allah. Allah hadir dalam kesetiakawanan itu. Di luar kesetiakawan itu yang hadir adalah Anti-Allah. Selayaknya extra ecxlesiam nulla salus (diluar Gereja tidak ada keselamatan) diganti dengan extra siladirtatem victamarum nulla salus, diluar kesetiakawanan terhadap para korban tidak ada keselamatan. Perjuangan untuk hak asasi manusia seharusnya mengarah kepada mereka yang menjerit karena menjadi korban ketidakadilan, sebagaimana dilakukan oleh orang Samaria dalam Injil Lukas.

Apa yang kamu simpulkan, dan apa yang saya simpulkan tidaklah penting. Ini hanyalah refleksi untuk kita renungkan dan lihat kembali dari hati terdalam. Sebab mereka yang tertindas tidak hanya di Israel/Palestina. Tapi juga ada diantaramu.



[1] Gary M. Burger adalah Guru besar Perjanjian Baru di Wheaton College & Graduate School. Ia menulis banyak buku, seperti The Anointed Community: The Holy Spirit In The Johannine Tradition (!987), Who Are God’s People in the Meddle East? (1993), Interpretting the Gospel of John: Guide to New Testament Exegesis, No. 5 (1998), Whose Land, Whose Promise? (2003). Ia juga ketua Evangelical For Midde East Understing.

[2] S. Munayer, “Arab Palestinian Christians in The Holy Land”

[3] "Report to the League of Nations on Palestine and Transjordan, 1937". British Government. 1937. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-23.

[4] Jewish Council for Public Affairs. "JCPA Background Paper on Palestinian Christians" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-07-11.

[5] http://imeu.net/news/article0023369.shtml[pranala nonaktif permanen]

Komentar