DAPATKAH ENGKAU TUMBUH DAN BERJALAN SENDIRI? 1 Petrus 2:1-5

 


Segala sesuatu yang murni itu pasti nikmat, sekalipun kopi pahit. Namun karena murni disajikan, akan menambah kenikmatan bagi yang meminumnya. Hanya yang menjadi masalah siapa yang mau menikmati hal-hal dari kemurnianNya? Kalau pada akhirnya segala bentuk oplosan (campuran) lebih murah dan mudah didapatkan?

Tak ubahnya dalam kehidupan dari orang-orang yang baru mengalami pertobatan. Tidak sedikit orang percaya bahwa pertobatan dari kehidupan baru itu sangatlah menyusahkan dan banyak menghadapi penderitaan. Seperti seorang pengguna narkoba yang sudah ingin bertobat dan telah 8 bulan meninggalkan kehidupan lamanya. Dokter menyarankan diawal untuk dirinya tidak langsung mengubah kebiasaannya yang menggunakan narkoba. Mengingat yang bersangkutan telah overdosis dalam penggunaan barang haram itu. Sampai akhirnya dia mengikuti saran dari dokter selama 3 bulan dan telah berlangsung 5 bulan tanpa menggunakan narkoba sama sekali.

Apakah perjalanan orang tersebut itu mudah? Tidak!

Sering kali pukul 01.00 pagi dan 03.00 pagi ketika ia sangat menginginkan barang haram tersebut, ia berlari ke sungai untuk menenangkan pikirannya. Karena melawan kehendak lama yang telah hidup selama bertahun tahun itu sangatlah sulit baginya. Sehingga ia melakukan hal tersebut untuk mengalihkan pikirannya. Tak jarang pula, karena tuntutan dan perubahan ekonomi yang telah dia rasakan setelah meninggalkan kehidupan lamanya menghantui dan mengganggu pikirannya tersebut.

Tapi benarkah ini suatu penderitaan? Atau demikianlah suatu proses meninggalkan kehidupan lama menuju kehidupan baru? Tuntutan yang banyak dan besar menjadi bagian proses yang melelahkan. Tak ubahnya dengan awal-awal pernikahan yang banyak orang sebut sebagai kebahagian. Benarkah demikian? Tidak selalu!

Ada beberapa proses pengenalan dan perubahan kehidupan yang terjadi di awal pernikahan. Tapi apakah itu penderitaan? Tidak! Itu adalah proses dalam kehidupan kita!

Lalu, mengapa orang akhirnya meninggalkan setiap proses tersebut?

Inilah yang menjadi problem besar dan telah saya ungkapkan diawal! Bahwa kemurniaan itu mahal harganya dan yang KW itu selalu besar peminatnya!

Kembali pada teks, seperti yang diketahui bahwa pembaca dari surat Petrus  merupakan petobat baru di dalam Kristus. Mereka telah ditebus dari kehidupan yang lama (1:18-21). Mereka telah menyucikan diri dalam kebenaran sebagai dampak dari kelahiran kembali melalui firman kebenaran (1:22-25). Kehidupan yang lama sudah mereka tanggalkan. Namun, perjalanan belum berakhir artinya tidak boleh berhenti di titik tersebut saja. Mereka perlu terus bertumbuh dalam kebenaran. Menjadi Kristen yang terus-menerus berproses.

 

Sebab itu, penulis surat Petrus menggunakan Istilah “bayi rohani” untuk menjelaskan proses pertumbuhan tersebut. Sekalipun dapat dipahami secara negatif dan positif. Secara negatif dipandang bahwa “bayi rohani” adalah orang yang tidak dewasa dalam iman atau orang yang tidak mengalami pertumbuhan. Jika dalam Ibrani 5 :11-14 dikatakan bahwa “anak kecil” masih membutuhkan susu bukan makanan keras yang tidak memahami ajaran tentang kebenaran, yang belum memiliki panca indera yang terlatih dan lamban dalam hal mendengarkan. Tipologi orang yang dikatakan dalam kitab Ibrani ini adalah tipologi orang yang penting percaya saja, maka pasti selamat, dan baginya tidak perlu bertumbuh (stagnan, pasif, lamban dalam merespon firman Allah). Juga di dalam Galatia 4:3 “Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia,” dipahami bahwa masih tunduk kepada roh-roh duniawi yang kontra dengan Efesus 4:13 “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,”.

Salah satu yang sering menjadi problem dalam proses pertumbuhan bersama Kristus kita memerlukan sikap untuk tidak menyalahkan siapapun dan apapun. Jenis pikiran menyalahkan ini sudah menjadi sedemikian bias adi kebudayaan kita. Pada tingkat perorangan, pikiran seperti ini menyebabkan kita tak pernah benar-benar bertanggung jawab akan tindakan kita sendiri, problem kita atau kebahagiaan kita. Bila kita bersikap suka menyalahkan orang lain, kita akan menyalahkan orang lain justru karena rasa amarah, frustasi, stres dan tidak bahagia kita.

Menyalahkan orang lain membuat kita tak punya kekuatan atas hidup kita sendiri karena kebahagiaan kita bergantung pada tindakan dan tingkah laku orang lain, yang tidak bisa kita kontrol. Bila berhenti menyalahkan orang lain, kita akan mendapat kembali rasa kekuatan pribadi kita. Kita akan merasa bahwa kitalah yang membuat pilihan. Kita akan menyadari bahwa bila marah, kita sedang memainkan peran kunci dalam menciptakan perasaan diri kita. Ini berarti kita dapat juga memainkan peran kunci dalam menciptakan perasaan baru yang lebih positif.

Terakhir, alam proses ini dituliskan penulis untuk kita, “Datanglah kepada-Nya sebagai batu yang hidup (ay. 4). Bagian ini menjelaskan metafora baru, jika sebelumnya disebut sebagai bayi yang baru lahir tetapi kali ini disebut sebagai batu hidup. Kita tidak dapat memahami dengan jelas mengapa digunakan kata batu hidup ini, tetapi beberapa penafsir menafsirkan sebagai batu karang yang masih dalam proses pembentukan. Namun jika kita perhatikan bagian selanjutnya 6-8, Petrus mengacu kepada Yes. 28:16 yang ditafsirkan Yesus sebagai diri-Nya sendiri (Mat. 21:42). Ayat ini mengacu kepada Yesus sebagai batu hidup-kiasan dari kebangkitan-Nya bahwa Dia hidup. Kita mengetahui bahwa penerima surat ini mayoritas non-Yahudi, sebelumnya menyembah berhala yang terbuat dari batu mati yang tidak bernyawa, tidak memiliki kekuatan untuk membantu mereka. Mereka pasti akan memahami kontras antara berhala yang mati itu dan Kristus sebagai batu yang hidup. (Wayne A. Grudem, 1988). Datanglah kepada-Nya

Mengapa? Karena kenyataan dari setiap situasi yang terjadi tidak saja melibatkan kekuputusasaan karena kesulitan yang Anda hadapi, tetapi juga melibatkan realita kuasa Allah yang bekerja dalam situasi mustahil yang Anda hadapi.

Inilah iman yang tumbuh itu, menghadapi kenyataan dan kemudian menentukan pilihan untuk mempercayai Allah. Kalau kita melakukan hal itu, berarti kita mempraktikkan “Ketergantungan radikal” kepada Allah.

Komentar

Anonim mengatakan…
Bujur Pendeta