SEMBUH KARENA SALIB-NYA 1 Petrus 2:24-25

 


Sepanjang pelayanan saya, pernah sekali terjadi peristiwa yang menyedihkan. Bagaimana seorang Ibu yang telah mengharapkan seorang anak laki-laki dalam keluarganya. Tapi, justru diambil kembali atas kehendak Tuhan. Tentu, hal yang wajar bagi saya ketika Ibu tersebut mengalami kesedihan yang berlarut-larut atas peristiwa kematian anaknya. Namun proses pemulihan panjang itu, tetap Tuhan nyatakan dan tunjukan dalam diri seorang ibu tersebut. Lalu bagaimana dengan seorang Maria?

Seperti kita ketahui, di peristiwa penyaliban Yesus terdapat ‘perempuan-perempuan yang melihat dari jauh’ menurut Injil Matius dan Markus adalah perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus, di antaranya disebutkan namanya, yaitu Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yusuf (atau disebut juga Yoses) dan ibu anak-anak Zebedeus. Sedangkan Injil Lukas tidak menyebutkan nama, hanya mengatakan informasi secara umum bahwa semua orang yang mengenal Yesus berdiri jauh-jauh namun melihat semuanya itu. Maka, jika diperhatikan, tidak disebutkan secara khusus di ayat-ayat tersebut (di Injil Matius Markus dan Lukas), nama Maria ibu Yesus dan Yohanes Rasul. Injil Yohanes-lah yang menulis secara lebih jelas, tentang di manakah mereka berdiri, yaitu di dekat salib Yesus

Bisa membayangkan, bagaimana kuatnya seorang Maria melihat Yesus dibunuh di depan matanya sendiri? Apakah Maria benar-benar sekuat itu? Tentu, beberapa penafsir berpendapat demikian tenangnya Maria pada peristiwa tersebut. Namun saya memiliki keyakinan, bahwa Maria juga manusia. Ia tentu mengalami trauma atas peristiwa penyaliban tersebut.

Justru yang menjadi menarik pengakuan atas kemanusian seorang Maria, ketika kita bertanya tentang “Apa yang membuat Maria pulih dari pengalam traumatis tersebut?”

Orientasi iman yang seringkali kita hidupi sebagai tindakan iman, terarah pada “trauma kisah Jumat Agung,” sehingga kita membiarkan kuasa kuasa kematian mencabik-cabik realitas kehidupan kita. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau beberapa diantara kita dikuasai oleh pengalaman-pengalaman traumatis sepanjang hidup kita. Sering kali kita menjumpai orang-orang yang kehilangan makna hidupnya secara tragis karena kehilangan seseorang yang mereka kasihi sehingga memilih mengakhiri hidupnya atau menghancurkan kehidupan orang lain. Berulangkali kita menjumpai berita orang-orang yang bunuh diri di tengah-tengah kesulitan dan persoalan kehidupan. Mereka telah kehilangan arti dan tujuan hidup serta harapan. Iman paskah bukan hanya mampu menyikap realitas ketiadaan dengan penuh makna, namun juga mengubah ketiadaan ke dalam hidup abadi bersama Kristus yang bangkit. Dengan iman paskah, seharusnya kita bisa memperbaharui diri dari situasi ketiadaan menjadi ciptaan baru di dalam Kristus.

Nah, pertanyaannya? Apakah kita mau mengimani hal tersebut?

Menarik dengan pernyataan dalam kitab Yesaya 53:5, disebutkan “tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”

Menarik ketika kita melihat, bagaima penulis Surat 1 Petrus 2:24-25 mengenai ayat ini; demikian :

Ia sendiri telah memikul dosa kita  di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Sebab dahulu kamu sesat  seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala  dan pemelihara jiwamu.

Bayangkan saja, betapa banyak diantara kita yang mempertontonkan kekerasan, mendramatisirkan penyaliban, dan membicarakan kematian Yesus. Tapi, adakah kita yang sembuh? Atau maukah kita sembuh?

Sembuh yang bukan hanya sekedar dari menghilangnya penyakit. Tapi kesembuhan jiwa karena Tuhan telah mengampuni dan memelihara. Kesembuhan dari trauma yang saudara alami dari setiap kejadian yang begitu mengerikan dalam hidup saudara? Atau, kesembuhan dari perasaan bersalah dalam diri saudara? Maukah kita datang kepadaNya dan menyerahkan kesemuanya kepada Yesus?


Komentar