"Berdoa Bagi Orang Lain - Masmur 122:1-9"

 


Salah satu hal yang sedang menguasai banyak orang saat ini adalah EGO. Sifat yang membawa diri untuk mementingkan dan mengutamankan diri sendiri, lalu mengabaikan orang lain. Sampai hal ini terwujud dalam doa-doa yang sering terucap dalam diri kita, yakni berdoa untuk diri sendiri dan kepentingan pribadi. Sedang doa bagi orang lain? Tentu dilakukan! Namun dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pula. Koq bisa?

Kita berdoa bagi orang lain, dengan anggapan bahwa dirinya dapat mengubah sikap, kepribadian, dan hal hal lain yang selama ini merugikan kita. Sehingga orang-orang yang kita sebut jahatlah yang mendapatkan kesempatan untuk didoakan atas nama kepentingan pribadi kita. Bagaimana dengan keluarga? Tentu kita mendoakan orang lain yang bukan diri kita melainkan keluarga kita. Tapi tujuannya, apa? Tujuannya sama; seorang ibu mendoakan anaknya karena kasih dan cintanya kepada anaknya. Tentu hal ini atas dasar kepentingan pribadi seorang ibu yang mencintai dan mengasihinya, bukan? Bagaimana bila hal serupa juga kita lakukan untuk tempat dimana kita tinggal dan orang lain? Apakah kita mau melakukannya dengan kasih dan cinta pula?

Pemazmur menganjurkan untuk kita mendoakan orang lain, dengan harapan mereka mendapatkan kesejahteraan atas doa yang kita utarakan dan ungkapkan. Hal ini terwujud dan menjadi sejarah di Perang Dunia kedua, yangmana Bruder Roger memberikan dirinya untuk membentuk komunitas dimasa itu dengan tujuan dan harapan akan perdamaian. Lalu berkembang sampai saat ini, untuk kesejahteraan banyak orang. Lalu bagaimana dengan komunitas dan persekutuan dari Gereja-Gereja kita saat ini, apa yang sedang kita doakan bagi tempat kita tinggal dan orang-orang yang berada di sekeliling kita?

Memberi diri bagi orang lain melalui, tentu bukanlah sesuatu yang sulit dan bisa kita lakukan. Hanya kegiatan tersebut tidak menjadi satu tanggung jawab dalam kehidupan pribadi kita. Kita melepaskan diri akan tanggung jawab tersebut dan menyuruh orang lain untuk berdoa bagi dirinya? Terbukti, ketika kita berjumpa dengan orang-orang yang jarang bersekutu dan beribadah ke Gereja, dengan sengaja kita mengungkapkan kepadanya ;”Makanya, banyak berdoa dan ke Gerejalah!”. Tapi, sering kita melupakan untuk mengatakan kepadanya, “Izinkan aku berdoa bagimu dan semoga Tuhan mendengarkan doaku untukmu”.

Bila kita menyadari bahwa orang-orang yang kita sebut jahat, sangatlah kurang waktunya untuk berdoa dan bersekutu dengan Tuhan, mengapa kita tidak mengambil inisiatif untuk mendoakannya dan meminta agar Tuhan tetap menyertai kehidupannya? Apakah ini sulit bagi kita? Atau kita sudah mulai terbiasa untuk menyombongkan diri dengan kehidupan berdoa dan persekutuan kita kepada orang-orang seperti ini?

Terakhir, pertanyaan-pertanyaan yang sering kita ajukan menjadi kendala untuk kita berdoa bagi orang lain adalah; “Kira-kira apa hasil doaku bagi orang tersebut?”. Sering kita lupa bahwa berdoa bukan tentang hasilnya, tapi tentang memberikan diri bagi Tuhan dan memberikan diri untuk orang lain kepada Tuhan. Bila kita memaknainya, kita menyadari “apapun” dan “bagaimanapun” Tuhan menjawab doa kita bagi orang lain, bukanlah tanggung jawab kita. Alhasil, kita tidak takut apabila doa kita tidak seperti yang diharapkan orang lain terjadi dalam kehidupannya. Sebaliknya, kita tidak juga merasa bangga ketika yang kita doakan untuk orang lain terjadi seperti yang diharapkannya.

Jadi bagaimana? Maukah saudara mendoakan orang lain dengan cinta dan kasih? Maukah saudara mendoakan orang lain bukan karena kepentingan saudara, melainkan kesejahteraan bagi hidupnya? Maukah saudara berdoa bagi tempat dimana saudara berada saat ini?

Aron Ginting Manik, S.Si Teol C.CM

GBKP Rg Buluh Awar (085372363155)

Komentar