PEMBERITA DAN PENDENGAR AMANAT AGUNG MATIUS 28:16-20

 


Tahukah kamu, sebelum Yesus menyampaikan tentang Amanat Agung. Ada kisah yang menarik dan terjadi, yakni ada semacam kesimpangsiuran informasi di tengah-tengah masyarakat tentang kebangkitan Kristus, termasuk di tengah-tengah para murid. Pada satu sisi ada berita tentang kebangkitan-Nya yang dibuktikan dengan kubur yang kosong (Mat. 28:1-10), namun pada sisi lain mahkamah agama Yahudi menyebarkan suatu berita yang menyatakan Kristus tidak bangkit, Dia telah dicuri oleh murid-murid-Nya pada malam hari (Mat. 28:11-15).

Menarik bukan? Lebih menarik lagi, bila kita merefleksikan dari dua sisi; yakni pemberita dan penerima dari Amanat Agung.

Tahukah kamu? Dalam Encyclopedia Britannica, Socrates menyebut dalam demokrasi banyak orang tidak senang jika pendapat mereka disanggah sehingga mereka membalas dengan kekerasan. "Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan terbunuh," katanya.

Bisa membayangkan, bila hal serupa terjadi pada Pemberita Amanat Agung? Ya, benar. Demikianlah yang terjadi semasa itu, yakni orang-orang Kristen dibunuh dan dikejar kejar karena yang disampaikannya tidak seperti yang banyak orang percayai dan imani.

Nah bagaimana bila hal serupa terjadi kembali lagi seperti saat ini, bahwa ternyata ada perubahan akan diri Yesus yang diberitakan dengan Yesus yang sebenarnya adalah kasih?

Loh, koq bisa? Mengapa tidak? Bila pada akhirnya oknum oknum pemuka agama sedang berkutat pada kepentingan pribadinya. Tentu, Yesus bisa berubah dari yang sebenarnya menjadi Yesus versi pemberita,dong?

Tahukah, kamu? Hal yang sering kali menjadi sumber konflik adalah; kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat, berbicara yang ingin kita bicarakan dan mendengar apa yang hanya ingin kita dengar. Orang lain pun demikian. Sampai kita lupa, bahwa kenyataan bagi kita berbeda, persepsi bagi kita itu berbeda dan proses penyamaan / penseragamaan menjadi bibit konflik

Untuk bisa mengatasi konflik, kita harus memahami bahwa apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan bukanlah faktanya. Aku tidak lantas benar, hanya karena aku sudah melihatnya, aku tahu hal ini sebab aku ingat, bukan berarti bahwa itu memang benar demikian. Ini juga tidak berarti bahwa orang lain pun salah.

Loh, bila demikian. Maka akan berbahaya terhadap kebenaran, dong? Sebab pada akhirnya tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Alhasil semua orang jatuh pada kebingungan. Jelasnya, itu tidak akan terjadi dan itu bukan yang saya maksudkan.

Saya justru sedang ingin menyampaikan bahwa siapapun diantara kita yang mengatakan kebenaran dengan menyalahkan orang lain, hanya mengundang konflik dan tidak menyatakan kebenaran itu sendiri.

Demikian juga yang terjadi dalam pemberitaan akan Yesus yang sebenarnya. Sejatinya, berita yang kita sampaikan sebagai kebenaran bagi kita, belum tentu menjadi hal baik orang lain. Tapi segala hal yang baik, akan menjadi kebenaran bagi orang lain pula. Dengan kata lain, kebaikan adalah kebenaran sejati. Injil adalah “Kabar Baik”, bahwa Allah sungguh memperlihatkan keprihatinannya pad dunia. Dia peduli dengan dunia ini. Dia serius dengan kita. Dia memasuki peti-kedagingan kita, bahkan tinggal di antara kita. Itulah makna terdalam dari inkarnasi. Inilah pula pengungkapan solidaritas Allah dengan manusia yang paling penuh. Dia menjadi senasib dengan manusia. Dia menjadi satu sejarah dengan manusia. Kita sebagai gereja, juga diminta dan diutus untuk mengaplikasikan solidaritas Allah itu dalam seluruh eksistensi dan relasi kita dengan dunia ini.

Demikian juga, tidaklah layak jika kita menetapkan target terntu seperti Partai Politik disituasi seperti sekarang ini, misalnya dengan mengatakan pada tahun sekian wilayah A sudah harus menjadi Kristen. Ini mendaulat kedaulatan Allah yang berkuasa mengubah dan memperbarui. Injil juga bersifat memperdamaikan, artinya suasana damai sejahteralah yang harus diciptakan di antara manusia. Suasana damai sejahtera dengan Allah harus tercermin di dalam damai sejahtera juga dengan sesama manusia.

Apakah itu berarti kita tidak menghendaki orang beralih dari sesuatu yang “lama kepada yang “baru”? Atau tidak perlu adanya “pertobatan”?. Tentu saja tidak demikian. Andreas A. Yewangoe mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Tidak ada Ghetto” bahwa; tuntutan pertobatan tetap dibutuhkan, tetapi janganlah ia dipersempit hanya sekedar menjadikan seseorang itu anggota gereja tertentu. Pertobatan (metanoia) adalah komitmen seseorang untuk menghubungkan dirinya dengan Allah serta hidup harmonis dengan sesama manusia dan dengan seluruh alam semesta ini.

Komentar