AKU SELAMAT DAN MEMBAWA BERKAT RUT 2:17-19

 


Semakin kemari, semakin mengerikan. Kira kira demikianlah yang saya rasakan ketika mendengar dua cerita dari dua posisi yang berbeda. Bayangkan saja, ketika kamu mendengar cerita dari seorang karyawan, maka yang mempekerjakannya adalah orang-orang yang tidak memiliki hati dan pengertian pada karyawannya. Sedang, dalam tempat lainnya dan versi berbeda, seorang pengusaha mengeluhkan karyawannya yang telah membuat kerugian besar kepada perusahaan yang telah ia bangun bertahun tahun.

Sungguh... semakin kemari, semakin mengerikan.

Bila mendengar kata ' Bekerja ' teringat akan pepatah yang dilantunkan oleh seorang sastrawan juga seorang ulama besar Indonesia yang mengatakan " Kalau hidup sekedar hidup, babi dihutan pun hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja ".

Ironis memang, aktivitas yang dilakukan seorang manusia yang mana derajatnya paling tinggi diantara makhluk hidup lainnya disamakan dengan seekor hewan. Namun, bukankah ini merupakan sindiran level tertinggi ? coba kita renungi kembali kata-kata bijak dari putra Minangkabau Buya Hamka itu, sebagai manusia kita memang diberi kenikmatan untuk hidup di dunia, memanfaatkan segala yang tersedia yang telah Tuhan persembahkan. 

Namun apakah selama ini kita mencari arti untuk apa kita hidup ? bila kita tak mencari hakikat hidup ini, maka tak ada bedanya kita dengan babi-babi liar di hutan belantara sana. Lalu tentang bekerja, selama ini apa tujuan kita bekerja selain untuk mendapatkan imbalan untuk memenuhi kebutuhan perut? bukankah kera juga bekerja untuk mendapatkan pisang atau sekedar kacang untuk kebutuhan perutnya? ia bekerja menjadi pemanjat pohon kelapa yang menjulang tinggi itu atau menjadi penghibur dibalik topeng monyet dengan segala macam atraksinya yang mampu memukau anak-anak ?

“AKU SELAMAT DAN MEMBAWA BERKAT”, judul ini seketika terlintas dalam benakku ketika melihat kisah Rut, tepatnya pada Kitab RUT 2. Dalam kisah itu, kita melihat bagaimana Rut dinarasikan mengambil inisiatif untuk memungut jelai di ladang untuk menyambung kehidupan dia dan Naomi. Sesuatu yang membuat saya kagum atas apa yang dilakukannya. Mengingat Rut adalah seorang Janda yang tetap mengikuti Mertuanya. Bahkan ketika suaminya tidak ada sekalipun, Rut tetap terus memberikan penghormatan dan tanggung jawab dengan bekerja.

Bahkan tidak berhenti pada hal itu saja, Boas yang menjadi tuan atas ladang tempat Rut bekerja juga memberikan kepercayaan dan tanggung jawab besar kepadanya. Sampai-sampai memberikan jaminan bahwa Rut tidak akan mengalami gangguan dari para pekerja laki-laki selama Rut bekerja di ladangnya.

Sungguh, RUT tidak hanya survive! Ia juga menjadi berkat bagi Mertuanya dan Pemilik ladang tempatnya bekerja. Ini sangatah MANUSIA dan tidak terbandingkan bahkan tidak layak dibandingkan dengan binatang!

Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki Loyalitas dalam Bekerja? Apakah kita dapat menjadi berkat dalam pekerjaan dan lingkungan pekerjaan kita?

Sadarkah kita? Kebanyakan keluh kesah kita bukanlah mengenai sesuatu yang tidak kita miliki, melainkan mengenai sesuatu yang telah kita miliki tetapi kita anggap tidak menarik. Kebosanan atas pekerjaan, gereja, rumah, atau pasangan membuat kita mengeluh bahwa semua itu bukanlah yang kita inginkan atau butuhkan. Seandainya benar demikian, lalu apa yang sebenarnya kita inginkan dan kita anggap menarik?

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2023 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,99 juta orang. Data pengangguran ini mencakup empat kelompok penduduk, yakni:

  1. Penduduk yang tak punya pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan;
  2. Penduduk yang tak punya pekerjaan dan sedang mempersiapkan usaha;
  3. Penduduk yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan; dan
  4. Penduduk yang sudah punya pekerjaan, tapi belum mulai bekerja.

Dalam pengalaman sehari hari, diantara 4 kelompok ini yang manakah paling banyak kita temui? Saya sendiri sering bertemu dengan kelompok ketiga. Tanpa bermaksud apapun, dalam perjumpaan dengan orang-orang di kelompok ini (walau tidak semua), kehidupan mereka sangat menarik dalam analisa saya. Tentu, ada pula orang-orang yang masuk dalam kelompok ini dikarenakan Musibah ataupun situasi yang merenggut harapan mereka untuk melangkah dan bangkit kembali. Memberikan kesempatan, kehadiran dan kepedulian bagi orang-orang seperti ini sangatlah baik untuk kita lakukan. Tetapi, mereka yang lain daripada ini kehidupannya sangatlah menarik,  bayangkan saja;

Beberapa diantara mereka sebenarnya memiliki peluang yang baik. Tetapi mereka memilih tertidur pada keputusasaan dan hancur didalamnya. Bahkan hal ini berdampak bagi sekitar mereka yang menemukan secercah harapan dalam hidupnya. Diantara mereka dengan cara tidak langsung menghancurkan secercah harapan itu. Tentu, mereka bukan iblis ataupun setan. Mereka manusia yang kehilangan harapan dan melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang yang negatif.

Ada juga diantara kelompok ini, pintar memberikan banyak narasi untuk kita dengarkan. Tapi faktanya narasi itu berisikan kekosongan, sebab mereka lebih memilih untuk memperdebatkan sesuatu yang dapat menghabiskan waktu juga kebosanan mereka. Tak jarang, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini lebih sering mengganggu daripada jadi manfaat bagi orang lain.

Sungguh mengerikan.... Sudah tak selamat, tak membawa berkat pula!!

Tentu, refleksi ini sedang tidak ingin menghakimi siapapun dan kelompok manapun. Bahkan tidak bermaksud untuk mendiskreditkan mereka yang masih menganggur. Sebaliknya, saya ingin menyampaikan bahwa Tuhan telah bekerja dengan semestinya dalam kehidupan kita. Seringkali yang terjadi adalah kita yang selalu meminta dan memaksa Tuhan untuk melakukan sesuka hati kita. Ini menjadi hal utama untuk kita renungkan.

Tidak ada yang selalu berhasil, tidak ada yang selalu gagal. Bila hidup tanpa kegagalan, keberhasilan tidak mungkin dapat kita nikmati. Semua pengalaman adalah Guru dan pengalaman yang kita miliki, belum tentu dapat dirasakan orang lain. Tapi orang lain juga pernah mengalami kegagalan sebelum dia akhirnya bangkit dan kembali melangkah bersama Tuhan. Daripada mengukutuki diri ataupun mengukutuki orang lain? Apalagi mempersalahkan orang lain sebagai penyebab kegagalan hidup? Mengapa kita tidak memilih untuk memaafkan diri, lalu bangkit dan melangkah kembali?

Komentar

Anonim mengatakan…
Selamat MENCINTAI PEKERJAAN BAIK KITA. GBU🙏