BUKAN MENG-"HARGAI" TAPI HIDUP DALAM ANUGERAH-NYA (Ulangan 20:1-4)

 


Momen kemerdekaan yang ke 78 bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sangatlah menarik bagi saya. Tepatnya 16 Agustus 2023, saat Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya demikian, ""Saya tahu ada yang mengatakan Saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya ndak apa-apa, sebagai pribadi saya menerima saja," ujarnya dalam Pidato Kenegaraan menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-78, di Istana Negara

Hal yang membuat sedih Jokowi adalah hilangnya budaya santun bangsa Indonesia. Jokowi menyebut, alam demokrasi dijadikan oleh banyak orang untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah.

Ketertarikan saya, bukan seperti media yang mencari rating dan menggiring kepada opini bahwa Presiden melalui pidatonya menanggapi kritikus yang beberapa waktu ini viral. Sebab, terlalu rendah untuk memaknai pidato dalam rangka menuju kemerdekaan kepada sosok kritikus tersebut. Sebaliknya, saya melihat Pidato Presiden dengan penuh kagum. Sebab situasi yang dialaminya dan dinyatakannya mempertunjukkan kondisi demokrasi kita telah “kebablasan”. Dengan kemudahan dan membludaknya informasi yang kita terima, justru menunjukkan kepada kita sebagai masyarakat yang tidak mampu memfilter juga kritis. Malah terlihat reaktif tanpa kendali, sehingga melupakan budaya luhur dan bahkan seperti kata Presiden kita, "Polusi di wilayah budaya ini, sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia," ujarnya.

Tak ubahnya dengan kebebasan dan seluruh janji dari Tuhan kepada kita akan kemenangan juga belas kasihNya. Semua ini menjadi “remeh” di banyak kalangan orang yang mengaku diri Kristen atau mungkin juga kita (?). Kita sering berbuat dosa dan menikmati perbuatan dosa itu. Kita tidak mau menyadari bahwa Allah membayar setiap perbuatan kita dengan nyawa putra-Nya. Oleh karena itu, penulis Ibrani memperingatkan bahwa ketika kita berbuat dosa secara sengaja, maka tidak ada kurban untuk menghapus dosa itu. Bagi orang yang sengaja berbuat dosa berlaku penghakiman dan penghukuman Allah. Dosa yang dimaksudkan Ibrani 10:26 adalah menolak penebusan Kristus di atas kayu salib dan menghina Roh kasih karunia. Orang yang menolak anugerah Allah, tidak ada lagi keselamatan bagi dirinya. Tentu, saya tidak ingin menakut-nakuti kita dengan ayat Alkitab ini. Sebab hal demikian itu juga tidak baik.

Berdasarkan Ulangan 20:1-4, kita menyadari Bangsa Israel memang memiliki hak istimewa untuk menjadi umat pilihan Tuhan. Mereka memiliki hukum Taurat, dan lewat garis keturunan mereka, Yesus Kristus, Sang Juru Selamat lahir. Namun, semua itu bukan berarti mereka lebih unggul daripada bangsa-bangsa lain. Sebaliknya, mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk hidup seturut dengan kehendak Tuhan. Ketika hal itu tidak dilakukan, kita juga melihat reaksi Tuhan bagi bangsa Israel dalam banyak kisah di Perjanjian Lama.

Di sisi lain, Paulus menasihatkan agar orang Yahudi menyadari tanggung jawab mereka sebagai umat pilihan Tuhan. Sebab, saat itu banyak orang Yahudi yang berpikir: karena mereka adalah umat Tuhan dan keturunan Abraham, mereka menjadi spesial dalam penghakiman. Mereka berpikir bahwa Allah itu pengampun, penuh kasih, dan hanya akan menghukum orang-orang bukan Yahudi. Maka, banyak di antara mereka yang berpikir bahwa tidak apa-apa berbuat dosa sebab Tuhan pasti akan mengampuni mereka (Bdk Roma 3:7-8).

Pemikiran ini sangatlah sesat. Melalui bagian ini Paulus mengingatkan bahwa Tuhan itu adil bagi semua. Justru mereka yang adalah umat Tuhan dituntut lebih karena mereka telah mengenal kebenaran. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi mereka untuk membenarkan dosa yang mereka lakukan.

Jadi bagaimana?

Kemerdekaan yang Tuhan anugerahkan, juga menuntut tanggung jawab besar. Kita tidak dapat meng”hargai”nya dengan nominal uang. Tapi, kita bisa hidup dalam anugerahnya dan membawa anugerah itu bagi sekeliling kita. - AGM

Komentar