HUTANG KASIH! - ROMA 13:8-14

 

If you want to have a life that is worth living, a life that expresses your deepest feelings and emotions and cares and dreams, you have to fight for it.
Alice Walker
(Penulis dan pengkritik dari Amerika Serikat)

Pertanyaan paling konyol dalam banyak diskusi yang saya pernah lontarkan adalah “Siapa yang menginginkan dunia dengan penuh keharmonisan?”; Jawaban yang paling konyol dalam banyak diskusi yang saya bawakan atas pertanyaan ini adalah “Sulit, karena semua sudah sangat egois”.

Tentu kita memahami realitas dari kekonyolan ini. Tapi, tanpa sadar kita juga sering hidup dalam kekonyolan tersebut. Sebab tidak ada yang memulai dan kita berharap orang lain lebih dahulu memulainya. Tanpa kita sadar, bahwa ternyata yang lain juga berlaku hal serupa. Alhasil, kita hidup bagaikan manusia yang mati kehausan dan tertidur di pinggir sungai.

Berbeda dengan Paulus, ia mengejawantahkan apa yang disampaikan Yesus mengenai hukum terutama yakni Kasih. Terlihat bagaimana, ia menunjukkan kasih dan menasihati banyak jemaat termasuk di Roma. Bahkan berkeinginan untuk datang berkunjung dengan tujuan baik bagi jemaat di Yerusalem. Dengan kata lain, ia berjuang untuk menciptakan dan mewujud nyatakan keharmonisan itu dalam diri dan sekitarnya. Bagaimana dengan kita?

Bila kita melihat kembali pada bahan yang menjadi refleksi kita, didapati tema yang dibicarakan paling utama di sini mengenai hutang. Menariknya, Paulus mengatakan bahwa dia berhutang Injil kepada jemaat di Roma. Mengapa demikian? Apakah jemaat di Roma memberi sesuatu kepada Paulus lalu Paulus menjadi berhutang kepada mereka? Tidak. Konsep hutang Paulus di sini bukanlah karena seseorang memberi maka saya harus melunasi. Yang dia tekankan di sini adalah hutang yang dia miliki karena Tuhan sudah memberi kepada dia. Tuhan sudah menyelamatkan dia melalui darah Kristus, maka dia berhutang untuk menyampaikannya kepada jemaat di Roma. Di sini kita mengerti bahwa Paulus berhutang karena Tuhan yang memberi dan dia harus menyalurkannya kepada orang lain.

Hal yang lebih menarik lagi adalah Konteks perikop ini adalah kembalinya orang Yahudi ke kota Roma. Sebelumnya, mereka diusir oleh Kaisar Klaudius karena kericuhan yang terjadi antara orang Yahudi yang Kristen dan non Kristen merusak ketenteraman kekaisarannya. Ketika orang Yahudi kembali lagi ke Roma, setelah kematian Klaudius, terjadi lagi ketegangan, tetapi kali ini ketegangan dalam Gereja sendiri, yakni ketegangan antara orang-orang Kristen Yahudi dan Kristen non-Yahudi. Ketegangan antar etnis ini menimbulkan ketakutan jangan-jangan pejabat Romawi mengusir mereka lagi.

Dengan kata lain, mereka memiliki hutang untuk mengasihi antar; sesama mereka yakni orang-orang Kristen Yahudi dan Kristen non-Yahudi; jemaat di Roma dengan masyarakat sekitar; dan jemaat di Roma dengan Pemerintahan. Demikianlah nasihat itu dituliskan dari Paulus bagi mereka untuk direnungkan.

Nah, sekarang bagaimana dengan kita?

Tidak ada yang lebih membantu memperluas sudut pandang kita selain memperbesar rasa kasih kita kepada orang lain. Kasih berarti berempati kepada orang lain. Dengan “kasih” kita berusaha menempatkan diri kita pada posisi orang lain, tidak memikirkan diri sendiri dan membayangkan bagaimana rasanya bila kita yang mengalami kesulitan yang dialami orang lain itu, dan sekaligus berbelas kasih pada orang tersebut. Harus diakui bahwa persoalan orang lain, rasa sakitnya dan frustrasinya, persis seperti yang kita rasakan – malahan kadang-kadang lebih parah. Mengakui kenyataan ini dan berusaha menawarkan bantuan akan membuka hati kita dan memperbesar rasa syukur kita.

Rasa kasih dapat dikembangkan dengan melatih diri sendiri. untuk melakukannya, kita membutuhkan dua hal: niat dan tindakan. Dengan berniat berarti kita ingat untuk membuka hati kita kepada orang lain; menyampaikan apa dan siapa yang jadi persoalan, dari diri kita ke diri orang lain. Dengan bertindak berarti kita “melakukan apa yang harus kita lakukan untuknya.” Saudara bisa menyumbangkan sedikit uang atau waktu (atau kedua-duanya) secara berkala pada hal-hal yang menyentuh hati. Atau mungkin saudara akan tersenyum manis dan menyapa dengan tulus orang yang saudara temui di jalanan. Tidak penting apa yang saudara perbuat, pokoknya lakukan sesuatu. Seperti yang dikatakan ibu Teresa, “Kita tidak dapat melakukan hal-hal besar di dunia ini. Kita hanya dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta kasih yang besar.”

Maukah kita melakukannya? Bukan hanya kepada kelompok dan komunitas kita? Tapi kepada banyak orang tanpa melihat unsur suku, agama, ras dan antara golongan (SARA).

Bagaimana dengan program-program keluarga dan gereja kita. Apakah hal ini nyata kita tunjukkan? Atau justru lebih sering kita fokus pada pengembangan-pengembangan diri sendiri? Atau lebih parah lagi, fokus pada mencari bantuan bukan memberikan bantuan?

Komentar