“KAYA MAKIN KAYA, MISKIN MAKIN MISKIN....” Pengkhotbah 11:1-8

 


Sebelum berburuk sangka, tulisan ini bertujuan untuk melihat sudut pandang lain dari fenomena kesenjangan sosial ini. Apakah Anda pernah mendengar istilah “Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin’?

Ungkapan ini terdengar menyakitkan ya, terutama untuk orang – orang yang harus berjuang lebih keras untuk kehidupannya.  Kenyataannya apakah benar begitu?

Tentu tidak. Orang miskin sangat bisa menjadi kaya dengan belajar, tekun, dan bekerja keras. Begitu sebaliknya, orang kaya sangat mungkin menjadi miskin bahkan dalam waktu yang singkat. Karena pada dasarnya tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Namun, mengapa ungkapan itu ada bahkan masih berlaku hingga saat ini?

Menurut perencana keuangan Finansialku, Juan Mahir Muhammad, CFP®, meskipun ungkapan tersebut seperti menunjukan bahwa ada ketidakadilan dan juga ketidakmampuan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah, ada pandangan lain yang dapat dibilang ‘membenarkannya’. Pasalnya, jika kita lihat dari sudut pandang yang berbeda, kita justru bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari orang kaya dalam hal melakukan investasi atau melipatgandakan kekayaan.

Seperti contohnya dalam hal membeli barang, orang kaya cenderung membelanjakan uangnya untuk membeli barang atau hal – hal yang sifatnya investasi untuk masa depan, bukan hanya sekedar memenuhi hasrat konsumtif seseorang.

Bayangkan saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat warga DKI Jakarta masih utang Rp10,35 triliun kepada pinjaman online (pinjol) pada April 2023. Angkanya turun 3,9 persen dari Maret 2023, Rp10,79 triliun.

Menurutmu, kenapa hal ini dapat terjadi? Bolehkah aku menyebut kalau salah satu faktor yang membuat ini terjadi adalah kemudahan kredit online , rendahnya minat baca dan rendahnya kemampuan dalam me-manage uang?

Tak ketinggalan, para petani yang berada di Kabupaten Karo sebagai wilayah pelayanan saya juga banyak yang terjerat hutang karena gagal panen dan harga pupuk yang melambung sementara harga jual justru rendah.

Persoalan ini tentu sangat kompleks, tapi menarik untuk kita belajar dari Pengkhotbah 11:1-8;

Pertama, mungkin Anda terheran-heran dengan apa yang dituliskan pada ayat satu; “Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu”. Bagaimana mungkin roti yang dilempar ke air justru akan kembali lagi, sebab ketika roti yang masuk ke dalam air tentu akan lenyap, bukan?

Nah, ternyata salah satu arti dari kata ibrani untuk “roti” adalah “butir-butir gandum” yang dapat dipakai untuk membuat roti. Sehingga dalam pemahaman tersebut, dimaksudkan (mungkin) adalah orang Mesir yang menaburkan butir-butir gandum atas air yang menggenangi lading-ladang mereka ketika sungai Nil banjir setiap tahun. Kelihatannya butir-butir itu tenggelam dan dilupakan, tetapi pada saatnya akan panen.

Dengan kata lain, pengkhotbah memberikan pengajaran kepada kita bahwa setiap orang harus bekerja dan berusaha. Mengenai hasil dari apa yang telah dikerjakan dan diusahakan, itu tidak dapat kita pastikan. Hanya satu kepastian, bahwa semuanya akan selalu menghasilkan. Tentang, apakah yang dihasilkan itu memuaskan hati atau bukan. Itu sudah kembali pada sikap diri kita masing-masing dalam menerima semua hal yang terjadi dalam kehidupan kita.

Menariknya, mengenai hal ini “si kaya” konsisten melakukannya sedang “si miskin” terjebak pada satu kegagalan dan menyerah. Alhasil, tiba waktunya “si kaya” mendapatkan hasil yang berlimpah karena perjuangan dan kekonsistenannya. Sedang “si miskin”, sibuk meratapi kegagalannya dan terjebak pada hal itu.

Kedua, stigma yang sering kita berikan kepada “si kaya” adalah orang-orang pelit. Sedang “Si miskin” terlalu dermawan, sampai ia terjebak pada kemiskinan. Namun, benarkah demikian yang terjadi? Bila kita melihat dari sudut pandang berbeda, ternyata “si kaya” sebagai sosok seorang pelit juga memberikan dukungan kepada rekan-rekan bisnisnya dalam bentuk saham yang telah dia percayakan pada rekannya untuk dikembangkan. Adapula, di antara mereka yang melakukan kegiatan promosi dalam usaha mereka berbentuk kegiatan-kegiatan sosial. Sehingga “si kaya” memiliki produk yang banyak dikenal dan bertebaran. Sedang si miskin, pelit untuk melakukan hal tersebut. Sebaliknya, mereka justru senang untuk bersosial dengan embel-embel “peduli”. Alhasil, mereka tidak melakukan seperti apa yang disaksikan oleh Pengkhotbah pada ayat kedua mengenai investasi dan kerja sama tim dalam pengembangan ekonomi. “Si Miskin” sering kali berpatokan pada satu hal, lupa bahwa hari-hari yang berdatangan tidak dapat dikendali. Sementara “Si Kaya” dengan hikmat menyiapkan dirinya untuk berinvestasi dalam bentuk saham yang dipercayakan kepada rekan-rekan kerjanya. Sehingga ketika satu hal terjadi pada pekerjaan dan usahanya, “si kaya” masih memiliki peluang untuk mendapatkan pemasukan dari investasinya.

Ketiga, Tuhan selalu bekerja dengan semestinya. Faktanya, manusia sering meminta dengan semaunya. Bahkan ia meminta akan sesuatu yang dia sadar dirinya tidak pantas untuk mendapatkannya. Tentu, Tuhan selalu berbelas kasih. Tapi, mereka yang selalu terjebak pada kegagalan dan keputusasaan tidak akan pernah meraih belas kasih Tuhan. Sebab mereka yang demikian, terlalu sibuk tidur dan hanya mengharapkan Tuhan untuk mengubah kehidupannya secara instan. Inilah yang harus selalu menjadi pedoman kita akan sebuah pengharapan. Bahwa, pengharapan itu bukan berarti tuntutan semata. Sebaliknya, ada usaha dalam penyerahan pada setiap hal yang kita lakukan dan jalankan, Karena sebagaimanapun, kita mampu mempelajari hari-hari. Kita tidak pernah mengetahui apapun, kalau kita tidak mencoba dan melakukan setiap hal yang kita harapkan dan serahkan kepadaNya.

Terakhir, “Si Kaya” selalu memiliki waktu dan memberikan waktu untuk recharge  dalam berbagai bentuk. Sedang “Si Miskin” beranggapan hal itu justru sebagai tuntutan yang harus dilakukan tanpa mempertimbangkan dan memperkirakan kondisi juga situasinya. Tidak heran, banyak sekarang orang-orang terlilit hutang bukan karena memulai usaha yang baru. Sebaliknya, justru karena membeli tiket liburan, mengikuti fashion dan pemenuhan gengsi semata.

Jelas, di akhir dari bahan refleksi kita tidak mengajarkan demikian. Selayaknya seorang yang sedang memotong kayu, “si kaya” memberikan waktunya untuk mengasah gergajinya. Sedang “si miskin” hanya memaksakan gergaji tumpul dalam menyelesaikan tugasnya.

Komentar