Memutuskan tuk MengikutiNya dan Menjadi Berkat (Belajar dari Kisah Penginjil di Buluh Awar)

 


Matius 5:44-46

Salah satu nasehat terbaik dari Ayah BJ Habibie yang selalu dirinya ingat adalah “Kamu harus menjadi mata air, kalau kamu baik pasti disekitarmu akan baik, tapi kalau kamu kotor pasti disekelilingmu akan mati”. Nasihat yang amat menarik bagi saya, ketika Yesus menyatakan bahwa identitas kita sebagai garam dan terang dunia. Tentu yang dimaksud, tidak jauh berbeda seperti apa yang Ayah BJ Habibie sampaikan. Persoalannya justru pada, bagaimana rasa garam tersebut? Jangan-jangan membuat orang lain hipertensi? Bagaimana dengan terang tersebut, jangan-jangan membuat orang lain silau. Hal inilah yang menjadi refleksi utama dari seluruh renungan kita, bahwasanya Tuhan adalah sumber kebaikan dan kita adalah Gereja yang dipanggil untuk mewartakan kebaikan tersebut secara tekstual dan faktual.

Mari kita lihat sejarah penginjilan bagi orang karo. Seperti diketahui, Tuan J.T. Cremer, kepala administrasi Deli Mij, mengumpulkan dana sebanyak f. 30.000,- pertahun, sebagai biaya penjinakan orang Karo dengan cara kristenisasi. Cremer berpendapat bahwa jalan satu-satunya untuk mengamankan perkebunan mereka adalah dengan melembutkan hati orang Karo dengan cara pemberitaan Injil. Kemudian Cremer mengadakan perjanjian dengan Nederlandsche Zending Genoothchac (NZG), sebuah zending yang ada di Negara Belanda untuk mengirim tenaga-tenaga Pekabaran Injil ke Deli.

Tanggal 18 April 1890, Pdt. H.C. Kruyt dan Nicolas Pontoh, dari Minahasa, tiba di Belawan untuk penginjilan orang Karo. Mereka memilih desa Buluh Awar menjadi pos pelayanan. Di Buluh Awar, mereka mulai mempelajari bahasa Karo dan adat istiadatnya. Mereka mengadakan pendekatan-pendekatan dengan perbuatan baik untuk menciptakan suasana yang akrab dengan masyarakat setempat dengan tidak jemu-jemu.

Salah satu kisah menarik yang didengar oleh Pdt Wilson Tarigan dalam kunjungannya ke Minahasa adalah pemanggilan guru Minahasa. Kisah itu menyebutkan bahwa sebenarnya ada hampir 50 orang Guru Penginjil yang mendaftar untuk bersama HC Kruyt dalam memberitakan Kabar Baik ke Buluh Awar. Namun berkurang ketika Ia menceritakan situasi dan kondisi dari Pos Pelayanan Buluh Awar. Tepatnya 7 orang yang mengangkat tangan, dua diantaranya hanya mengangkat tangan setengah-setengah. Ia tidak seperti lima lainnya yang mengangkat tangan dengan sungguh. Alhasil, hanya 5 penginjil yang dibawa oleh HC Kruyt untuk melaksanakan misi pelayanan di Buluh Awar. Kelima orang itu adalah Nicolas Pontoh, Johan Pinontoan, Benyamin Wenas, Hendrik Pesik, Richard Tampenawas.

Kisah yang menurut saya layak untuk direfleksikan, yakni kita harus benar-benar bersungguh-sungguh untuk memutuskan dalam mengikuti Yesus. Kesungguhan tersebut persis seperti lagu “I have Decided to Follow Jesus”, dalam lirik terakhir disetiap baitnya dituliskan “No Turning Back”, yang berarti tidak ada jalan kembali dan mundur. Semua karena Tuhan dan keputusan untuk mengikutiNya.

Hal yang jadi pertanyaan, sering pada “Bagaimana agar memiliki hati yang demikian?”. Pertanyaan ini sebenarnya sangatlah konyol, karena hal itu bukan lagi jadi pertanyaan. Yang justru menjadi pertanyaan adalah, “Mengapa hati kita tidak demikian pada Tuhan”. Salah satu faktor yang paling sering menjadi hambatan untuk hal ini adalah ketidakpercayaan pada cara dan kepemilikan Tuhan atas kehidupan kita.

Sering kali kita terbelenggu pada pemikiran, bahwa segala sesuatunya dapat kita lakukan dengan seluruh analisa dan pertimbangan kita. Jelasnya, saya tidak menyalahkan hal ini. Tapi yang justru saya pahami adalah sebaliknya bahwa analisa dan pertimbangan hanya rambu-rambu bukan penentu hasil. Karena penentunya terletak pada kendali Tuhan yang sering kali tidak kita pahami dan maknai.

Tentu, kelima Guru Injil tersebut sudah menganalisa dan mempertimbangkan konteks yang disampaikan oleh HC Kyurt. Tapi apakah mereka sudah memastikan bahwa, segala sesuatunya dapat terkendalikan? Tidak! Sarah Tampenawas dan Butet Tampenawas jadi bukti, bahwa perjalanan Guru Injil Richard Tampenawas tidak seperti yang dia harapkan. Namun adakah jalan untuk mereka mundur? Tidak! Mereka terus melangkah. Nah, disinilah pertanyaan itu muncul, “Apakah kita mau berserah pada caraNya Tuhan?”

Pengalaman para penginjil yang memberitakan Kabar Baik bagi orang Karo di Buluh Awar, tentu tidak lancar-lancar saja. Mereka juga mengalami duka seperti Richard Tampenawas, penolakan dan penderitaan lainnya. Tapi, apakah mereka berhenti untuk melakukannya? Tidak! Mereka terus melangkah. Mengapa? Sejatinya saya tidak pernah mempertanyakan hal ini pada mereka langsung. Tapi yang saya pahami, persis seperti yang menjadi bahan refleksi kita;

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

Mereka tidak menumbuhkan kebencian dari kesalahan yang orang lain lakukan pada mereka. Bahkan saya yakin bahwa para penginjil tidak melihat kesalahan itu dan beranggapan bahwa mereka melakukan kesalahan. Sebaliknya, mata mereka melihat dengan belas kasih. Seperti Yesus melihat orang-orang Yahudi yang menyalibkanNya, berkata “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.

Hal inilah yang layak untuk kita pegang, untuk menjadi Garam dan Terang bagi Dunia. Menyadari bahwa cara Tuhan selalu nyata dalam kehidupan kita, dan melihat dunia bukan dari kesalahan mereka tapi dari ketidaktahuannya. Sehingga yang muncul bukan lah penghukuman ataupun kebencian, melainkan belas kasih.

Jadi, maukah kamu mengikutinya?



Jangan lupa berkunjung ke Buluh Awar, untuk menyaksikan dan mendengar refleksi-refleksi sejarah penginjil lainnya. Tak lupa juga, Wisata Rohani telah memiliki berbagai paket Wisata yang dapat disajikan untuk ada. Info lebih lanjut, hubungi Whatsapp +62 813-9680-8570 (Freddy Kenzo Bukit)


Komentar