TELAH RILIS BUKU “GOD, I LOVE YOU LATE” DARI AGM (ARON GINTING MANIK)

 



MENGAPA menjadi kata tanya yang sering kali diharamkan oleh Pemuka Agama. Seolah-olah mempertanyakan yang diyakini dan imani adalah kesalahan yang besar. Tapi, adakah di antara kita dapat menjalani sesuatu tanpa memahami atau terpaksa untuk memahaminya? Saya kira, demikianlah awal mula dari Pelecehan Spiritual yang dilakukan oleh orang-orang yang menyebut diri mereka “suci”, kepada mereka yang bertanya dan mempertanyakan pengalaman spiritualitasnya.

Mereka tidak memberikan izin untuk memuaskan perasaan haus akan sesuatu yang mereka sebut sebagai Tuhan. Padahal , Rudolf Otto ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman yang menulis buku penting The Idea of the Holy pada 1917, percaya bahwa rasa tentang Tuhan ini (numinous) adalah dasar dari agama. Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika.

Alhasil, keterbatasan ini membawa kita pada fenomena masa sekarang; agama tampak tidak relevan karena kita tidak lagi memiliki rasa akan Tuhan dan keberadaannya. Padahal, Douter et croire (Ragu-ragu dan Percaya) kerap menjadi seperti dua sisi dari koin yang sama, yaitu relasi kita dengan Tuhan. Relasi yang membawa kita dalam sebuah perjalanan yang mendalam. Tentu, ada bagian-bagian kosong, gelap dan pekat. Namun setidaknya, perjalanan itu tidak terhenti karena rasa percaya yang kita miliki. Itulah mengapa, ragu-ragu bukan status jiwa yang “meragukan keilahian” dari Tuhan, melainkan gejolak kehidupan yang memacu relasi kedalaman hubungan kita bersamanya. Justru sulit membayangkan orang-orang yang memiliki kepercayaan yang besar tanpa pernah berada dalam keragu-raguan. Karena relasi dengan Tuhan tidak mungkin sekedar sebuah formalitas, tentang keterpaksaan untuk mempercayai Tuhan atau memaksa diri untuk mempercayai-Nya. Relasi dengan Tuhan adalah momen di mana kita berhadap-hadapan sendirian dengan Tuhan kita. Dan saat itu, “Ragu-Ragu” justru menjadi pengantar cinta itu sendiri yang segera akan lebur dalam pelukan-Nya, pelukan Sang Cinta.

Pengalaman Agustinus dari Hippo yang merupakan Bapa Gereja terdahulu menjadi contoh untuk kita saat ini. Semasa mudanya, ia bagaikan pengembara yang mencari-cari KEBENARAN. Ia berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, hanya untuk mempertanyakan kebenaran yang diterima selama ini. Sampai akhirnya ia menemukan kebenaran itu dari seorang Uskup Ambrosius, Uskup dari kota Milan yang membawa Agustinus berjumpa dan dipeluk oleh Tuhan. Sebuah kebenaran yang tidak hanya ditemukan dalam pengetahuan namun juga berbicara tentang soal “merasakan”.

Apakah perjumpaan itu, disebut pertobatan? Tidak!

Justru dalam konteks hidup Agustinus, Tuhan seperti memunculkan kegelisahan untuk dia mengejar dan mencari KEBENARAN itu. Sampai akhirnya Keraguan yang dimiliki oleh Agustinus menjadi pengantar baginya terlebur dalam pelukan-Nya, pelukan Tuhan.

Ini juga menjadi alasan, mengapa Agustinus dalam segala bentuk pemikirannya mengungkapkan “Terlambat saya datang kepada-Mu, hai Sang Cinta” sebagai bahasa lain dari apa yang kerap dia tulis mengenai Tuhannya; “God, I Love you late”. Bahkan menjadi inspirasi pula dalam penulisan judul dari buku ini.

Sebagai ungkapan tentang konteks dari manusia yang hidup dalam Keraguan dan Kepercayaan pada Tuhan. Juga gambaran akan situasi terkini yang semakin banyak orang meninggalkan semua kepastian tentang masa lampau, kepastian-kepastian ilmiah; kepastian-kepastian kultural; kepastian-kepastian politik, kepastian-kepastian historis dan termasuk pula kepastian-kepastian religius. Segalanya dipertanyakan. Kini, ada begitu banyak orang merasa bahwa mereka tidak dapat lagi mempercayai apa pun yang sedang dikatakan dan yang sudah dikatakan selama berabad-abad oleh berbagai macam otoritas. Zaman kita adalah zaman skeptisme yang tidak ada sebelumnya. Opini adalah sama bagusnya dengan yang lain.

Dengan kata lain Ragu-ragu menjadi sesuatu yang dimiliki banyak orang masa kini. Ragu-ragu seketika mendera banyak orang. Ragu-ragu bagaikan koridor gelap dalam hidup masa kini. TAPI, ragu-ragu tidak menghentikan perjalanan dan perziarahan kita. Malahan, kita akan berhasil menemukan garis akhir perjalanan ini dalam pelukan Tuhan

Aneka tema dalam buku ini dipilih dan diurai dari peristiwa hidup sehari-hari yang bertanya dan mempertanyakan tentang kepercayaan dan apa yang dipercayai. Jika di dalam banyak kesempatan uraiannya tanpa catatan kaki, saya berpikir, footnotes-nya adalah hidup sehari-hari itu sendiri. Skemanya tidak mengandalkan pembacaan secara berurutan. Bahasanya memiliki klaritas (pesona kejelasan) seiring temanya.

Dengan kata lain, buku ini dipersembahkan untuk keprihatinan dari situasi terkini. Yang mana, para pemuka Agama yang berbicara masalah-masalah etis dan dogmatis telah diterbitkan dengan sifat ilmiah-formal, sehingga lebih banyak dibaca oleh kalangan elite intelektual saja. Sementara situasi terkini, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan segala sesuatu dapat dipertanyakan termasuk masalah-masalah akan kepercayaan dan yang dipercayai seperti Gereja dalam peribadahannya dan KeTuhanan dalam dogma dan doktrin yang selama ini diberikan dalam kegiatan katekisasi “seperti” menjadi monopoli para pemuka agama. Untuk itu, kumpulan tulisan dalam beberapa bab ini dapat menjadi refleksi yang juga merupakan usaha penulis mengkomunikasikan pergumulan-pergumulan tersebut dalam bentuk dan usaha yang dapat diterima semua kalangan.



Komentar

Anonim mengatakan…
Mantap Pdt semangat
Anonim mengatakan…
Kekasih Yesus aku mau salah satunya