“Mereka Juga Orangtua Kami..” Refleksi dari Pegawai di Pusat Pelayanan Orangtua Sejahtera


 

Ada ungkapan yang mungkin kita juga pernah dengar, menyatakan bahwa “Kita ini adalah seorang pelayan, bukan penikmat”. Kata-kata ini selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan dengan tujuan, para pendengar akan semakin militan untuk melayani dan menciptakan teamwork yang bagus. Namun, rasa-rasanya aku ingin melengkapi ungkapan ini lagi, bahwa ; “Kita ini perlu berefleksi dalam setiap pelayanan dan kita harus menikmati setiap halnya, bukan sekedar bertahan”.

Ungkapan itu tercipta, ketika aku berefleksi dari percakapanku dengan beberapa pegawai yang bekerja dan melayani di Unit Pusat Pelayanan Orangtua Sejahtera (PPOS) GBKP. Refleksi ini bermula ketika, aku mengetahui bahwa ada beberapa pegawai yang ternyata sudah 18 tahun melayani di PPOS. Bahkan ada pula yang masih muda dan lajang, sudah melayani selama 8 tahun. Mereka yang masih belum berkeluarga, diberikan tempat tinggal di PPOS dan melayani orangtua yang dititipkan di unit ini. Hal ini seketika, mematahkan pikiran negatif tentang orang-orang muda yang hanya menjadi penikmat dan tidak mau melayani. Walaupun mungkin jumlah pemuda yang hanya mengejar kebaktian-kebaktian ala konser, tanpa aksi dan refleksi; menunjukkan eksistensi pada lawan jenis ada banyak dan sangat diwadahi.

Ya, abaikan sajalah soal ini. Mari kita kembali kepada poin utama

Karna ini tentang mereka yang melayani di PPOS. Mereka yang ternyata sering mendapat stigma sebagai tukang bersih kotoran orangtua yang dititipkan di PPOS. Bahkan lebih kasar dalam istilah orang Sumatera Utara itu, disebut dengan “Tukang Cebok”. Tidak berhenti pada hal itu saja, di antara mereka juga sampai mengalami pelecehan seksual dari orangtua yang dititipkan di PPOS. Ini menjadi tantangan dan pengalaman yang sangat memungkinkan untuk mereka mengambil pilihan, meninggalkan tugas mereka sebagai pegawai di PPOS.

Termasuk, bila mereka hanya sekedar untuk bertahan dan melihat upah yang diberikan. Tentu, mereka sejak dulu meninggalkan tempat ini. Karena segala pekerjaan, bila dilakukan dengan tujuan “bertahan”, tentu akan membuat aktivitas kita semakin membosankan di tempat bekerja kita. Karena itu menjadi seorang pekerja yang melayani, berefleksi dan menikmati setiap hal yang kita kerjakan itu penting. Sebab, hanya dengan demikianlah kita mampu melawan stigma negatif yang datang kepada kita. Secara khusus dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Bahkan, pemikiran seperti ini membebaskan diri kita sebagai seorang “Buruh” atau “Budak”. Termasuk soal mental yang kita miliki pula.

Mereka yang sering disebut sebagai “Buruh” atau “Budak”, tidak dilihat dari apa yang mereka kerjakan. Mereka disebut demikian, karena upah dan pekerjaan yang dilakukan jumlahnya sama dan setara. Bahkan, mereka melakukannya dengan terpaksa, tidak bahagia dan terkesan hanya berusaha untuk bertahan.

Namun, ketika melihat para pegawai di PPOS; mereka tidak berlaku demikian. Oleh sebab itu, mereka dapat melayani sampai bertahun tahun dan belasan tahun lamanya. Termasuk stigma negatif yang datang kepada mereka, dapat dikesampingkan pula.

Hal ini dapat saya simpulkan ketika obrolan kami di siang hari. Saat itu, saya menyampaikan beberapa pertanyaan kepada mereka tentang perasaannya melihat berbagai orangtua yang telah meninggal. Termasuk, alasan serta motivasi untuk mereka bisa melayani selama itu.

Dari beberapa jawaban, saya menemukan istilah yang sangat membuat diri haru, katanya; “Seluruh Nenek dan Kakek yang ada di tempat ini, sudah menjadi orangtua bagi kami sendiri. Kami melakukannya, seperti kami melakukan untuk orangtua kami sendiri”. Kata-kata ini seperti memberikan jawaban bagi saya, tentang perlawanan mereka kepada stigma-stigma yang datang menyerbu para pegawai. Bahkan diantara mereka juga mengatakan bahwa, “Kelak, orangtua juga akan menjadi lansia. Mungkin aku tidak bisa membalas kasihnya dengan materi yang kupunya. Tapi disini, aku telah belajar untuk kemudian dapat melayani orangtuaku sendiri di masa lansia”

Efesus 5:2

"Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah."

Ketika seorang Kristen disebut sebagai pengikut Kristus, maka aku tidak perlu jauh-jauh melihat dan mencarinya. Cukup melihat apa yang para pegawai lakukan, tentang hidup di dalam kasih dan mengasihi para orangtua di tempat ini.

Tentu, saya juga tidak ingin menutup-nutupi bahwa ada pula perlakuan tampaknya “keras” yang dilakukan kepada orangtua di tempat ini. Tapi, itu muncul bukan karena kebencian atau ketidaknikmatan mereka dalam melayani dan bekerja di tempat ini. Kesemuanya, hanya tentang kerapuhan seorang manusia yang memiliki perasaan “Jenuh” dan “kebingungan” dalam menghadapi orangtua di PPOS. Sebab, mereka sungguh mengasihi orangtua di PPOS, seperti mereka mengasihi orangtuanya sendiri.

Bagaimana dengan kita? Apa yang dilihat orang lain atas setiap aktivitas dan perilaku kita setiap hari? Apakah kita menggambarkan diri sebagai pengikut Kristus yang menunjukkan kasih kepada sesama?

 

1 Yohanes 4:20 TB

Jikalau seorang berkata: ”Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.

Dalam kitab 1 Yohanes 4:20, jelas memberikan penjelasan yang konkrit bagi kita sebagai pengikut Kristus. Lalu apa yang sudah kita lakukan? Mari kita refleksikan!

Terakhir, pegawai yang berada di PPOS juga membutuhkan dukungan jemaat maupun keluarga orangtua. Mungkin, mereka tidak bisa menggantikan posisi seorang anak-anak dari orangtua yang dititipkan di PPOS. Tapi para pegawai dapat dijadikan sebagai mitra untuk menunjukkan dan merayakan kasih bagi orangtua di PPOS lebih merasakan damai sejahetra. Bahkan, sangat besar kemungkinan; Apabila salah satu di antara kita sebagai pembaca yang memiliki skill dalam mengasuh orangtua, memberikan diri dan dukungan kepada para pegawai di PPOS. Untuk mereka dapat menjadi role model dalam merawat orangtua yang memerlukan pendampingan dalam hal kesehatan fisik, kesehatan psikis dan kesehatan spiritualnya. 

Walaupun sampai detik ini, saya justru masih banyak belajar dari mereka tentang pendampingan para lansia dalam hal kesehatan fisik, psikis dan spiritual. Yang tentu juga, dapat jadi pembelajaran pula dari siapapun di antara kita yang berkunjung dan live in di tempat ini.

Bagaimana?



Komentar