AKU MENGASIHIMU DALAM DOAKU Lukas 10:25-37

 


Sadarkah kita, dalam setiap Gereja memiliki lagu-lagu dan liturgi yang memiliki fokusnya masing-masing. Beberapa diantaranya sangat mementingkan hubungan personal dengan Tuhan. Sehingga saat kita melantunkannya sekalipun secara bersama-sama, tetap saja kita mengalami penguatan secara personal. Sedangkan yang lainnya, mementingkan hubungan komunal dengan Tuhan. Sehingga setiap lantunan lagu dan liturgi yang kita ikuti akan menjadi penguatan secara bersama-bersama.

Bila demikian, apakah Gereja yang demikian tidak menganggap penting hubungan personal dengan Tuhan ? Tentu, tidak dapat langsung disimpulkan demikian pula. Sebab, dalam Gereja-gereja seperti ini juga dalam pengajarannya menuntut untuk melakukan hubungan personal dengan Tuhan yang dilakukan dalam metode peribadahan lainnya, selain di Ibadah Minggu dan hal itu disaksikan dalam kegiatan-kegiatan persekutuan kecil yang dimiliki Gereja bersangkutan.

Hanya saja, Gereja yang demikian ternyata tidak mendapatkan dukungan dan respon yang baik dari beberapa kalangan. Bahkan, tidak jarang orang-orang keluar dari Gereja tersebut karena hubungan personal dengan Tuhan terpenuhi justru ketika dia beribadah di Gereja lain yang lagu dan liturginya, mengutamakan hubungan personal dengan Tuhan. Tentu ini menjadi persoalan dan tidak dapat langsung kita simpulkan bahwa mereka yang berpindah adalah orang-orang yang memiliki EGO yang tinggi.

Hanya saja, salah satu hal yang sedang menguasai banyak orang saat ini adalah EGO. Sifat yang membawa diri untuk mementingkan dan mengutamakan diri sendiri, lalu mengabaikan orang lain. Sampai hal ini terwujud dalam doa-doa yang sering terucap dalam diri kita, yakni berdoa untuk diri sendiri dan kepentingan pribadi. Sedang doa bagi orang lain? Tentu dilakukan! Namun dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pula.

Koq bisa?

Kita berdoa bagi orang lain, dengan anggapan bahwa dirinya dapat mengubah sikap, kepribadian, dan hal-hal lain yang selama ini merugikan kita. Sehingga orang-orang yang kita sebut jahatlah yang mendapatkan kesempatan untuk didoakan atas nama kepentingan pribadi kita. Bagaimana dengan keluarga? Tentu kita mendoakan orang lain yang bukan diri kita melainkan keluarga kita. Tapi tujuannya, apa? Tujuannya sama; seorang ibu mendoakan anaknya karena kasih dan cintanya kepada anaknya. Tentu hal ini atas dasar kepentingan pribadi seorang ibu yang mencintai dan mengasihinya, bukan? Bagaimana bila hal serupa juga kita lakukan untuk tempat dimana kita tinggal dan orang lain? Apakah kita mau melakukannya dengan kasih dan cinta pula?

Dalam injil Lukas 10: 31-32. Yesus menemukan kesalahan- kesalahan yang ada pada waktu itu, di mana orang lebih menghindari diri terhadap tanggung jawab iman dan lebih memprioritaskan kepada image pribadi, seorang Imam, dan orang dari suku Lewi (seorang suku Lewi adalah pelayan peribadatan di Rumah Tuhan orang Yahudi yang dituntut selalu tahir) mereka menghindarinya karena orang Samaria bukan keturunan asli bangsa Israel jadi tidak perlu diutamakan. Mereka menghindarinya agar tidak dianggap najis.

Dalam perumpamaan ini Yesus juga menegaskan bahwa sesama kita adalah siapapun juga, tanpa pembedaan suku maupun agama. Dan kasih ini bukan terlihat dari bagaimana kita mengasihinya, seperti merasa kasihan, atau mempunyai perasaan simpati; tetapi kasih adalah sebuah tindakan, bertindak dalam kasih harus berani melakukan sesuatu yang nyata, dan penuh risiko serta konsekuensi.

Mari kita bertanya kepada diri kita. Apakah kita mempunyai kerendahan hati dan kejujuran yang cukup untuk mengakui kekurangan dan kesalahan kita? Ataukah, kita masih sibuk membela diri? Karena “terbiasa” membela diri maka sikap buruk ini menjadi sesuatu yang spontan dan refleks dilakukan seperti imam dan seorang Lewi dalam perumpamaan hari ini.

Kasih tidak bergantung kepada keadaan di luar kita, tapi kepada keputusan dalam diri kita. Pilihan ada di tangan kita, Roh Kudus pun tidak dapat memaksakan kita. Biarlah kita belajar bertindak dalam kasih kepada sesama kita. Memberi diri bagi orang lain melalui doa, tentu bukanlah sesuatu yang sulit dan bisa kita lakukan. Hanya kegiatan tersebut tidak menjadi satu tanggung jawab dalam kehidupan pribadi kita. Kita melepaskan diri akan tanggung jawab tersebut dan menyuruh orang lain untuk berdoa bagi dirinya? Terbukti, ketika kita berjumpa dengan orang-orang yang jarang bersekutu dan beribadah ke Gereja, dengan sengaja kita mengungkapkan kepadanya ;”Makanya, banyak berdoa dan ke Gerejalah!”. Tapi, sering kita melupakan untuk mengatakan kepadanya, “Izinkan aku berdoa bagimu dan semoga Tuhan mendengarkan doaku untukmu”.

Bila kita menyadari bahwa orang-orang yang kita sebut jahat, sangatlah kurang waktunya untuk berdoa dan bersekutu dengan Tuhan, mengapa kita tidak mengambil inisiatif untuk mendoakannya dan meminta agar Tuhan tetap menyertai kehidupannya? Apakah ini sulit bagi kita? Atau kita sudah mulai terbiasa untuk menyombongkan diri dengan kehidupan berdoa dan persekutuan kita kepada orang-orang seperti ini?

Terakhir, pertanyaan-pertanyaan yang sering kita ajukan menjadi kendala untuk kita berdoa bagi orang lain adalah; “Kira-kira apa hasil doaku bagi orang tersebut?”. Sering kita lupa bahwa berdoa bukan tentang hasilnya, tapi tentang memberikan diri bagi Tuhan dan memberikan diri untuk orang lain kepada Tuhan. Bila kita memaknainya, kita menyadari “apapun” dan “bagaimanapun” Tuhan menjawab doa kita bagi orang lain, bukanlah tanggung jawab kita. Alhasil, kita tidak takut apabila doa kita tidak seperti yang diharapkan orang lain terjadi dalam kehidupannya. Sebaliknya, kita tidak juga merasa bangga ketika yang kita doakan untuk orang lain terjadi seperti yang diharapkannya.

Jadi bagaimana? Maukah saudara mendoakan orang lain dengan cinta dan kasih? Maukah saudara mendoakan orang lain bukan karena kepentingan saudara, melainkan kesejahteraan bagi hidupnya?

Komentar