Memberi Dengan Hati Yang Tulus : 2 Korintus 8:10-15


 

Ilustration By AGM

Salah satu khotbah yang sering saya hindari adalah khotbah dengan tema persembahan. Mengapa? Karena khotbah tentang persembahan selalu menyakitkan bagi hati para pengkhotbah. Apa yang disampaikan melalui alkitab sekalipun sering kali dianggap sebagai pembenaran saja, dan dicurigai hanya untuk menguntungkan para pengkhotbah saja. Beruntungnya aku bergereja di GBKP, setiap persembahan ternyata tidak diperuntukkan kepada para pelayan. Melainkan untuk perjalanan pelayanan tritugas Gereja yakni Koinonia, Diakonia dan Marturia. Tentu saja, setiap pelayanan tidak harus menggunakan uang. Saya memahaminya dengan begitu dalam. Tapi siapa yang diutus untuk melakukan pelayanan secara Cuma-Cuma tanpa menggunakan uang? Apakah kita bisa melakukannya? Tentu bisa, namun sulitkah memberikan uang yang ada padamu untuk menguatkan proses perjalanan tritugas Gereja?

Bila kita kembali melihat bahan yang menjadi renungan kita kali ini, maka pertama-tama kita disadarkan tentang Anugerah Tuhan yang ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan kita. Jelas Paulus menyampaikan, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun IA kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya.”

 

Salah satu anugerah terbesar yang tidak bisa kita bayar kan? Bayangkan kita memiliki hutang yang sangat besar karena semua perbuatan dosa kita di dunia. Lalu dibayar dengan lunas tanpa sisa dengan daging dan darah yang tercurah di kayu Salib.

 

Bisakah kita membayar semuanya dengan uang yang kita miliki? Tentu tidak bisa! Tapi bagaimana kita merespon pengorbanan itu pada Dia yang telah membayar lunas di kayu salib itu?

 

Itulah mengapa memberikan persembahan untuk Gereja, dilakukan adalah bentuk respon kita terhadap Anugerah itu. Anugerah yang telah Tuhan berikan, harus kita beritakan dalam tritugas Gereja ke semua orang. Karena kita tidak sanggup menggantikannya sebagai korban keselamatan atas dosa kita.

 

Lebih daripada itu, respon ini juga bentuk nyata yang kita lakukan atas pemeliharaan yang Tuhan telah lakukan dalam kehidupan dan keluarga kita. Sebab, nyatanya tidak satupun usaha kita menyelesaikan setiap persoalan yang ada pada kita. Bahkan sering kali kita tidak sanggup memikirkannya. Tapi oleh karena belas kasih Tuhan, kita disanggupkan untuk mendapatkan hikmat, kekuatan dalam melewati persoalan kita.

 

Bayangkan, bila kita membantu orang lain dan mereka tidak merespon yang baik dengan apa yang telah kita lakukan. Apa yang kita rasakan? Sekalipun demikian, Tuhan tidak memiliki respon yang sama. Sekalipun kita tidak memiliki respon yang baik atas anugerahnya. Tapi, kembali lagi “Pantaskah kita meresponnya dengan tidak baik?”

 

Ibu saya sering berantam dengan kakak saya, tentu berantam untuk hal-hal sepele dengan candaan mereka. Ketika kakak saya hitung-hitungan dengan Ibu saya, maka respon ibu akan berkata “Aku sudah melahirkanmu, masakan kamu hitung-hitungan dengan ibumu sendiri?” Lalu, kakak menjawab dengan sederhana “Oh, tak terbayarku semua yang kam kasih, tapi cucumu perlu susu”. Demikian respon yang selalu kakak samapaikan kepada ibu saya.

 

Tentu, hal serupa juga dapat terlintas dalam hati kita. Mampukah kita membayar semua kasih Tuhan? Tentu jawabannya tidak! Tapi apakah kita sanggup memberikan sesuatu yang kita miliki dengan ikhlas kepada Tuhan?

 

Jelasnya, bukan karena uang yang kita berikan jadi alasan utama Gereja kita terus berjalan dan hidup sampai saat ini. Ini harusnya jelas pada kita. Semua oleh karena penyertaan Yesus sebagai kepala  Gereja.

 

Karena itu, memberikan dengan ikhlas dan tulus sangat penting dalam memberikan persembahan kita bagi Gereja. Saya teringat akan kisah seorang pendeta meminta anak-anak sekolah minggu maju ke depan dan bertanya, "Siapa yang pernah berbagi makanannya dengan teman?"

 

Seorang anak kecil bernama Budi dengan bangga mengangkat tangannya. "Saya, Pak Pendeta!"

 

Pendeta bertanya lagi, "Oh, hebat sekali! Kamu berbagi apa, Budi?"

Budi dengan polos menjawab, "Roti saya, Pak."

Pendeta tersenyum dan bertanya lebih lanjut, "Wah, bagus! Tapi, apakah kamu memberi roti itu dengan senang hati?"

Budi menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Saya kasih karena roti itu sudah mulai basi!"

Semua jemaat pun tertawa mendengar jawaban Budi yang jujur. Tapi, pendeta lalu berkata, "Nah, kadang kita juga seperti Budi, ya? Kita memberi, tapi bukan yang terbaik. Kita beri yang sudah 'basi,' atau yang sudah tidak kita butuhkan. Padahal Tuhan tidak melihat besar kecilnya pemberian, tapi apakah kita memberi dengan hati yang tulus. Jadi, jangan beri 'roti basi' untuk Tuhan, ya!"

 

Ilustrasi ini mengajarkan bahwa pemberian yang tulus tidak diukur dari seberapa 'besar' atau 'banyak', melainkan dari keikhlasan hati kita. Ketika kita memberi, pastikan kita memberi yang terbaik dan dengan sukacita, bukan hanya karena terpaksa atau karena barang itu sudah 'tidak kita butuhkan'. Seperti yang dituliskan dalam Keluaran. 34:22 dan Bilangan 28:26-31, kisah itu mempertunjukkan bagaimana bangsa Israel dengan sukacita memberikan persembahannya di Bait Allah.

 

Percayalah, aku pernah makan makanan yang dihidangkan secara gratis selama dua bulan penuh. Namun aku tidak pernah menikmati makanan tersebut, bahkan makanan itu tidak pernah membuat pencernaanku menjadi bagus. Demikian halnya, ketika memberikan sesuatu tanpa keikhlasan. Itu tidak akan pernah menjadi berkat bagi yang menerimanya. Termasuk persembahan Gereja yang diterima dari orang-orang yang tidak sukacita dan tulus memberinya itu hanya akan menjadi hambatan perjalanan pelayanan Gereja itu.

 

Terakhir, persembahan yang disampaikan Paulus dalam renungan kita menjadi menarik ketika disampaikan bahwa “Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan”, Perkataan ini mengingatkanku pada kisah, Di sebuah kota, ada seorang pria kaya raya yang selalu dikelilingi oleh kekayaannya. Suatu hari, saat ia sedang berjalan menuju kantornya, seorang pengemis tua datang menghampirinya dan memohon belas kasihan. Si kaya berhenti, merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah uang koin kecil. Ia tersenyum dan memberikannya pada si pengemis sambil berkata, "Nah, ini untukmu. Jangan boros ya!"

 

Pengemis itu mengambil koin tersebut, tapi alih-alih berterima kasih, ia malah tertawa keras. Pria kaya itu bingung dan bertanya, "Kenapa kamu tertawa? Aku sudah memberimu uang."

 

Pengemis itu menjawab, "Tuan, koin ini tidak akan cukup untuk membeli sepotong roti pun. Anda punya emas dan berlian di saku Anda, tetapi yang Anda berikan hanya remah-remah! Tapi saya tidak marah, Tuan, karena saya tahu, itu bukan masalah koinnya—itu masalah hatinya."

 

Pria kaya itu terkejut mendengar jawaban si pengemis. Sadar akan ucapannya, ia merogoh saku dalam jasnya, mengambil uang kertas yang lebih besar, dan berkata, "Kamu benar. Ini, sekarang aku memberi dengan hati yang benar!"

 

Bila kita melihat hal ini, harusnya kita mengerti bahwa pemberiaan kita kepada Gereja tidak meringankan apapun. Karena yang membuat perjalanan Gereja itu menjadi terasa ringan hanya oleh karena pekerjaan Tuhan dalam Gereja, bukan karena usaha dan kemampuan kita. Tapi, persembahan kita mampu menguatkan Gereja yang lemah karena keuangannya, sebab demikianlah perjalanan persembahan yang dilakukan dalam Gereja kita. Dioperasionalkan untuk semua perjalanan trigtugas Gereja se GBKP. Jadi melalui persembahan kita, dan mencukupkan kekurangan yang dimiliki operasional Gereja lainnya.

 

Jadi bagaimana, apakah kita mau memberikan persembahan kita dengan tulus?

Komentar