Melakukan Yang Berkenan Bagi Tuhan (2 Tawarikh 34:1-7) - Refleksi Tambahan Khotbah Minggu GBKP 27 Oktober 2024
Created by AGM |
Pengantar
Reformasi gereja pada
abad ke-16 bukanlah gerakan yang terjadi secara tiba-tiba atau tanpa
pertentangan. Reformator seperti Martin Luther dan John Calvin melihat
kesalahan dan penyimpangan dalam praktik gereja saat itu dan merasa terdorong
untuk memulai perubahan besar yang kembali pada Firman Tuhan. Namun, proses ini
menuntut keberanian, keteguhan, dan kesabaran karena tantangan yang mereka
hadapi tidaklah kecil. Dari sini kita belajar bahwa perubahan yang sesuai
dengan kehendak Tuhan memerlukan lebih dari sekadar niat awal yang baik; itu
memerlukan komitmen yang terus-menerus.
Pertanyaan yang perlu
kita refleksikan adalah: Apakah kita siap untuk mengikuti panggilan Tuhan
tidak hanya saat kita merasa bersemangat di awal, tetapi juga ketika proses
tersebut menghadapi rintangan dan tantangan? Seperti para reformator, kita
sering kali harus menghadapi konflik batin dan pertentangan dari lingkungan
sekitar kita saat berupaya melakukan apa yang berkenan bagi Tuhan.
Mazmur 100:3
mengingatkan kita, “Ketahuilah, bahwa TUHANlah Allah; Dialah yang menjadikan
kita dan kita adalah milik-Nya, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya.”
Pemahaman bahwa kita adalah milik Tuhan dan Dia adalah Gembala kita memberikan
landasan yang kuat bagi kita untuk tetap setia melakukan kehendak-Nya, meskipun
perjalanannya sulit. Kita dipanggil untuk mengikuti suara Gembala kita, bukan
suara dunia.
Integritas Kristen:
Proses Yang Berkelanjutan
Ketika kita berbicara
tentang integritas, khususnya dalam Wahyu 2:18-29, Tuhan memuji jemaat Tiatira
atas pekerjaan baik dan iman mereka, tetapi juga menegur mereka karena
membiarkan ajaran yang masuk ke tengah-tengah mereka. Dari sini kita belajar
bahwa melakukan yang berkenan bagi Tuhan tidak hanya berarti memulai dengan
niat yang baik, tetapi juga menjaga kesetiaan di sepanjang prosesnya.
John Calvin menyatakan
bahwa hidup yang berkenan bagi Tuhan adalah hidup yang dipenuhi dengan
integritas dan ketekunan. Kita tidak hanya diminta untuk memulai dengan
semangat, tetapi juga untuk mempertahankan kebenaran dan kesetiaan, meski dunia
di sekitar kita sering kali menarik kita ke arah yang salah. Ini berarti proses
melakukan kehendak Tuhan akan terus berlanjut sepanjang hidup kita, menuntut
kita untuk selalu memeriksa hati dan tindakan kita, serta mengoreksi jalan kita
jika kita menyimpang.
Proses perubahan ini
memerlukan waktu, disiplin, dan ketekunan . Kita tidak
bisa hanya mengandalkan dorongan semangat awal, tetapi harus siap menghadapi
tantangan yang mungkin membuat kita ingin menyerah. Ini adalah bagian dari
integritas: tidak mudah menyerah dan terus berjuang demi kebenaran yang sejati.
Meneladani Yosia:
Pembaruan yang Mendatangkan Kedamaian
Yosia, seperti yang
dikisahkan dalam 2 Tawarikh 34:1-7, menjadi contoh luar biasa dalam hal ini.
Sebagai raja yang masih sangat muda, Yosia melakukan reformasi besar di Yehuda
dengan menghancurkan berhala-berhala dan menyingkirkan segala bentuk penyembahan
palsu. Tetapi pembaruan yang dia lakukan bukanlah proses yang mudah atau tanpa
pertentangan. Ada banyak yang pasti menentang keputusannya karena sudah
terbiasa dengan praktik penyembahan yang salah. Namun, Yosia tetap bertahan.
Dia memimpin dengan keberanian, menghadapi konflik yang muncul dengan tekad
untuk mengembalikan umat kepada kehendak Tuhan.
Yang menarik dari
kepemimpinan Yosia adalah bahwa pembaruan yang dia lakukan pada akhirnya
membawa kedamaian. Meski ada konflik di awal, reformasi yang Yosia pimpin tidak
berakhir pada konflik yang berkepanjangan, tetapi membawa bangsa Israel kembali
kepada Tuhan. Proses ini mengajarkan bahwa kedamaian sejati sering kali datang
melalui proses pembaruan yang sulit dan berkonflik di awal, namun ketika
dilakukan dengan hati yang murni dan fokus pada kehendak Tuhan, itu akan
membawa kesatuan dan pemulihan.
Pembaruan yang benar
tidak menghindari konflik , tetapi juga tidak menyebabkan
perpecahan yang menghancurkan. Pembaruan yang mengarahkan kita sejati pada
rekonsiliasi dengan Tuhan dan dengan sesama, meskipun mungkin ada tantangan
besar sepanjang perjalanan.
Created by AGM |
Relevansi Kehidupan
Saat Ini
Dalam kehidupan
sehari-hari, baik di dunia kerja, kehidupan sosial, maupun di gereja, kita
dipanggil untuk melakukan yang berkenan bagi Tuhan. Di dunia kerja, mungkin
kita dihadapkan pada godaan untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara yang
tidak jujur atau mengorbankan prinsip-prinsip moral
kita demi kesuksesan. Namun, kita harus ingat bahwa hidup yang berkenan bagi
Tuhan adalah hidup yang dituntun oleh kebenaran dan kebenaran, meskipun
hasilnya mungkin tidak instan. Seperti Yosia, kita harus sabar dalam proses
pembaruan dan tetap teguh dalam melakukan kebenaran.
Dalam gereja dan
kehidupan sosial, kita dipanggil untuk menjadi agen pembaruan dan kedamaian.
Tindakan kita harus mencerminkan kasih Tuhan, dan kita harus berusaha
menghindari perpecahan dan pertikaian yang merugikan. Dalam gereja, mungkin
kita sering menghadapi perbedaan pendapat atau konflik internal, namun kita
harus selalu meneladani Yosia yang dengan bijak memimpin pembaruan tanpa
menciptakan perpecahan yang lebih besar.
Kisah Nyata Pengikut
Kristus yang Berintegritas
Dietrich Bonhoeffer,
seorang teolog Jerman yang hidup di masa Nazi, memberikan contoh nyata tentang
bagaimana melakukan yang berkenan bagi Tuhan meskipun menghadapi tekanan yang
luar biasa. Bonhoeffer tidak takut melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran,
meskipun hal itu membuatnya ditentang oleh banyak orang, bahkan akhirnya
dieksekusi. Tetapi hidupnya menunjukkan bahwa kedamaian sejati datang bukan
dari menghindari konflik, melainkan dari berdiri teguh di atas kebenaran Tuhan
dan memilih untuk mengutamakan rekonsiliasi.
Bonhoeffer menunjukkan
kepada kita bahwa hidup yang berkenan bagi Tuhan tidak selalu berarti hidup
yang bebas dari konflik. Namun, itu adalah hidup yang berkomitmen untuk
mempertahankan kebenaran dan memancarkan kasih Tuhan, bahkan di tengah
kesulitan.
“Hidup yang berkenan bagi Tuhan adalah proses pembaruan yang
berani, sabar dalam menghadapi tantangan, dan fokus pada kedamaian yang datang
dari rekonsiliasi dengan Tuhan dan sesama.” – Aron Ginting Manik
Penutup : Yesus
Mengetuk Pintu Hati Kita
Jika hari ini Yesus
mengetuk dan melihat hati kita, pertanyaannya adalah: apakah Dia akan menemukan
hati yang sepenuhnya tunduk pada kehendak-Nya? Ataukah, seperti zaman Yosia,
masih ada berhala-berhala tersembunyi yang perlu dihancurkan dan kehidupan yang
membutuhkan pembaruan? Dalam Wahyu 3:20, Yesus berkata, “Lihat, Aku berdiri
di muka pintu dan mengetuk; jika ada orang yang mendengar suara-Ku dan membuka
pintu, Aku akan masuk ke dalamnya.” Ketika Yesus mengetuk, Dia tidak hanya
menginginkan kehadiran di pinggiran hidup kita, tetapi menginginkan reformasi
di hati kita — pembaruan total yang melibatkan penghapusan segala sesuatu yang
tidak berkenan bagi-Nya.
Seperti Yosia yang
berani melakukan reformasi besar-besaran, kita pun perlu berani melakukan
evaluasi diri. Mungkin ada kebiasaan, sikap, atau prioritas yang perlu
diperbarui agar selaras dengan kehendak Tuhan. Yesus membuka pintu hati kita
bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membawa perdamaian yang sejati melalui
perubahan dan pembaruan. Apakah kita bersedia membuka pintu dan membiarkan Dia
masuk untuk memperbaiki apa yang rusak dalam kehidupan kita?
Hari ini, saat kita
memikirkan hidup kita, biarlah kita bertanya: Jika Yesus
melihat hati kita, apakah Dia akan menemukan kesetiaan yang sejati, ataukah ada
area dalam hidup kita yang membutuhkan reformasi? Sama seperti Yosia, kita
dipanggil untuk menghancurkan berhala modern yang tersembunyi di dalam
hati—entah itu ambisi, ego, atau dosa-dosa tersembunyi—dan membiarkan Tuhan
memimpin kita menuju hidup yang lebih berkenan di hadapan-Nya.
Komentar
Posting Komentar