Memperhatikan dan Memikirkan Kebaikan untuk Orang Lain (Roma 15:1-6) – Refrensi Tambahan PJJ GBKP 13-19 Oktober

 

Church and People by AGM

Pengantar

Di dalam perjalanan kehidupan beriman, ada satu panggilan yang terus menggema dari hati yang diubahkan oleh kasih Kristus: panggilan untuk memperhatikan dan memikirkan kebaikan bagi sesama. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menekankan bahwa orang Kristen, baik yang kuat maupun yang lemah dalam iman, memiliki tanggung jawab bersama untuk saling menopang. Teks Roma 15:1-6 berbicara bukan hanya kepada jemaat pada masa itu, tetapi kepada setiap kita yang hidup di zaman ini—zaman di mana perpecahan, perbedaan, dan keinginan pribadi sering kali lebih diutamakan daripada kasih yang mendalam terhadap sesama.

Di tengah pergumulan kita, sering kali muncul pertanyaan: bagaimana kita dapat memperhatikan dan memikirkan kebaikan orang lain di dalam dunia yang semakin mementingkan diri sendiri? Refleksi ini akan menggali lebih dalam apa yang dimaksud Paulus, bagaimana pandangan dari para teolog dan filsuf dapat memberi kita wawasan baru, serta memberikan kritik yang membangun bagi gereja masa kini, terutama di Indonesia.

Memahami Roma 15:1-6: Dukungan Saling Memberi di Tengah Perbedaan

Paulus menulis kepada jemaat di Roma dengan kesadaran penuh akan perbedaan yang ada di antara mereka. Ada yang merasa kuat dalam iman, mereka yang memahami kebebasan dari hukum Taurat, dan ada yang merasa lemah, masih terikat oleh aturan-aturan lama. Paulus mengingatkan bahwa mereka yang merasa kuat tidak seharusnya menghakimi atau menuntut yang lemah, tetapi justru menolong dan mendukung mereka. Ini adalah panggilan yang tidak mudah, sebab mendahulukan kepentingan orang lain sering kali berlawanan dengan naluri kita yang cenderung mementingkan diri sendiri.

Pandangan para Bapa Gereja, seperti Agustinus, memberikan perspektif yang dalam tentang pentingnya kesatuan dalam kasih. Bagi Agustinus, kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk mengasihi tanpa batas, termasuk memikul kelemahan orang lain. Ini juga yang ditegaskan oleh John Calvin, yang dalam tradisi Reformasi melihat bahwa saling memperhatikan adalah wujud nyata dari pekerjaan Roh Kudus dalam tubuh Kristus. Bukan tentang siapa yang lebih benar atau lebih saleh, tetapi bagaimana kita saling menguatkan dalam kasih yang tulus.

Di sisi lain, dalam pandangan teologi posmodern seperti yang dikemukakan oleh Stanley Hauerwas, komunitas Kristen harus menjadi ruang di mana orang merasa aman untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa takut dihakimi. Kekuatan yang kita miliki bukan untuk mendominasi, melainkan untuk merangkul dan mendukung yang lemah.

Pandangan Filsuf Posmodern dan Tantangan bagi Gereja di Indonesia

Dari perspektif filsafat posmodern, para pemikir seperti Emmanuel Levinas dan Jacques Derrida menekankan pentingnya tanggung jawab kepada "yang lain." Levinas, misalnya, melihat bahwa panggilan etis tertinggi kita adalah untuk memperhatikan kebutuhan orang lain tanpa memandang siapa mereka atau apa yang mereka yakini. Hal ini sangat selaras dengan ajaran Paulus dalam Roma 15:1-6, di mana kita dipanggil untuk mengedepankan kebaikan orang lain di atas kenyamanan kita sendiri.

Dalam konteks gereja masa kini di Indonesia, pandangan ini memiliki relevansi yang mendalam. Indonesia adalah negara yang beragam, di mana perbedaan etnis, agama, dan budaya dapat dengan mudah menciptakan jurang pemisah. Namun, di tengah keberagaman ini, gereja dipanggil untuk menjadi ruang yang merangkul dan melayani semua orang tanpa pandang bulu. Hal ini menantang kita untuk melampaui batas-batas eksklusivitas, membuka hati kita untuk memperhatikan mereka yang berbeda dari kita, dan memperlihatkan kasih Kristus yang inklusif dan tanpa syarat.

Sayangnya, banyak gereja di Indonesia terlalu sibuk dengan urusan internal yang lebih berfokus pada kegiatan seremonial daripada pelayanan kepada sesama. Liturgi yang megah dan bangunan gereja yang indah memang baik, tetapi ketika itu menjadi fokus utama, kita kehilangan esensi dari panggilan untuk memperhatikan dan memikirkan kebaikan orang lain. Gereja harus menjadi tempat yang nyata dalam mewujudkan kasih Kristus, bukan sekadar melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan yang berani dan penuh kasih terhadap orang lain, terutama mereka yang lemah dan terpinggirkan.

Kritik terhadap Gereja Masa Kini: Memulihkan Fokus pada Pelayanan Nyata

Kita perlu jujur bahwa dalam banyak hal, gereja masa kini sering terjebak dalam rutinitas kegiatan yang cenderung seremonial. Kegiatan-kegiatan ibadah dan acara gereja yang megah sering kali menghabiskan sebagian besar keuangan, sementara pelayanan kepada mereka yang membutuhkan sering kali kurang diperhatikan. Padahal, Roma 15:1-6 mengajarkan kita bahwa memperhatikan dan menolong orang lain bukanlah pilihan tambahan, tetapi inti dari kehidupan beriman.

Dietrich Bonhoeffer pernah berkata bahwa gereja yang tidak terlibat dalam penderitaan dunia adalah gereja yang gagal menjalankan panggilannya. Dalam konteks Indonesia, gereja harus lebih aktif hadir di tengah masyarakat, bukan hanya dalam bentuk acara-acara besar, tetapi juga melalui tindakan nyata yang mencerminkan kasih Kristus. Melalui pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat, gereja dapat menunjukkan bahwa iman Kristen adalah iman yang hidup, yang memperhatikan kebaikan orang lain dalam setiap aspek kehidupan.

Penutup

Roma 15:1-6 mengajarkan kita untuk hidup dalam kasih yang saling menopang, memperhatikan kebutuhan orang lain, dan mendahulukan kepentingan mereka di atas kepentingan kita sendiri. Baik dalam perbedaan iman, kekuatan, atau pengalaman, kita dipanggil untuk hidup dalam kesatuan dan harmoni sebagai tubuh Kristus.

Pandangan dari para teolog dan filsuf memperdalam pemahaman kita akan pentingnya tanggung jawab kepada sesama, dan mengingatkan bahwa kehidupan Kristen tidak dapat dipisahkan dari tindakan nyata yang memikirkan kebaikan orang lain. Di tengah dinamika gereja masa kini, terutama di Indonesia, kita perlu menyadari bahwa ibadah sejati bukanlah hanya sekadar seremonial, tetapi terwujud dalam pelayanan yang menghidupi kasih Kristus di dunia ini.

Marilah kita sebagai gereja kembali kepada panggilan dasar kita: memperhatikan dan memikirkan kebaikan orang lain, dengan tulus dan penuh kasih, sehingga melalui hidup kita, orang dapat melihat Kristus yang nyata bekerja di dunia ini.

"Kasih yang sejati bukan hanya terucap dalam doa dan liturgi, tetapi terwujud dalam tindakan nyata yang memikirkan kebaikan orang lain, mendukung yang lemah, dan merangkul perbedaan dengan cinta Kristus yang melampaui segalanya." - AGM

Komentar