(Lukas
2:14: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di
bumi di antara orang yang berkenan kepada-Nya.”)
Para gembala di padang
adalah kelompok yang sering dianggap rendah dalam masyarakat Yahudi pada waktu
itu. Mereka hidup di pinggiran, jauh dari pusat kehidupan sosial. Namun, mereka
menjadi saksi pertama dari kabar damai yang dibawa oleh kelahiran Kristus.
Ketika malaikat berkata, "Jangan takut," para gembala menerima
undangan untuk bertemu dengan Sang Raja Damai di Betlehem.
Perjalanan mereka bukan
hanya secara fisik menuju ke Betlehem, tetapi juga perjalanan rohani yang
membawa damai ke hati mereka. Mereka kembali dengan sukacita, membawa kabar
baik yang mereka alami kepada semua orang.
Betlehem tidak hanya
menjadi tempat lahirnya Yesus, tetapi juga simbol di mana damai sejati
ditemukan. Damai yang ditawarkan Kristus bukanlah ketiadaan konflik, melainkan
pemulihan hubungan antara manusia dengan Allah, sesama, dan diri sendiri.
Psikolog Carl Rogers
menekankan pentingnya congruence (keselarasan) dalam hubungan manusia,
di mana kejujuran dan penerimaan menjadi dasar. Damai sejati yang Kristus
tawarkan melebihi sekadar harmoni sosial; itu membawa keselarasan di dalam
hati, memampukan manusia untuk hidup dalam kebenaran dan kasih.
Di dunia saat ini,
konflik sosial sering dipicu oleh perbedaan pandangan, budaya, dan kepentingan.
Bagaimana kita bisa menjadi pembawa damai seperti para gembala yang membawa
kabar sukacita?
1.
Mendengar Sebelum Menanggapi:
Dalam konflik, mendengarkan adalah langkah awal untuk menciptakan perdamaian.
Psikolog Marshall Rosenberg, pencetus Nonviolent Communication
(Komunikasi Tanpa Kekerasan), mengajarkan pentingnya mendengarkan dengan empati
untuk memahami kebutuhan orang lain.
2.
Membawa Perspektif Kristus:
Damai tidak dapat dicapai jika kita hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Dengan
memiliki perspektif Kristus—yaitu kasih tanpa syarat dan kerendahan hati—kita
bisa merangkul mereka yang berbeda pandangan dengan penuh pengertian.
3.
Menjadi Pemersatu, Bukan Pemecah:
Rasul Paulus menulis dalam Roma 12:18, "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu
bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang." Ini
berarti berinisiatif untuk menyelesaikan konflik, bukan memperkeruhnya.
Pada tahun 1914, selama
Perang Dunia I, terjadi Christmas Truce (Gencatan Senjata Natal) di
beberapa front peperangan. Tentara dari kedua belah pihak menghentikan
pertempuran, menyanyikan lagu-lagu Natal, dan bahkan berbagi makanan di antara
mereka. Meski damai ini hanya berlangsung singkat, itu menunjukkan bagaimana
semangat Natal dapat mengatasi kebencian dan perselisihan, bahkan di tengah
konflik besar.
Kisah ini mencerminkan
damai sejati yang ditawarkan oleh Kristus—damai yang melampaui keadaan
eksternal dan menyentuh hati setiap orang.
Dalam konflik atau
tekanan hidup yang Anda alami, apakah Anda mencari damai sejati di Betlehem?
Damai itu bukan hasil dari usaha manusia, tetapi anugerah dari Kristus. Para
gembala menunjukkan kepada kita bahwa mendengar undangan Tuhan dan berjalan
menuju Dia adalah langkah pertama untuk menemukan damai itu.
Sebagai orang percaya,
kita dipanggil untuk membawa damai ke dalam dunia yang terpecah-belah. Kita
mungkin tidak bisa menghentikan semua konflik, tetapi kita bisa menjadi pembawa
kasih dan pemulih relasi di lingkungan kita.
Komentar
Posting Komentar