(Matius 2:11: “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan
melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun
membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu
emas, kemenyan, dan mur.”)
Ketika para majus
akhirnya tiba di Betlehem, mereka tidak hanya datang untuk melihat Sang Raja.
Mereka juga membawa persembahan: emas, kemenyan, dan mur. Persembahan ini
memiliki makna mendalam. Emas melambangkan kemuliaan Yesus sebagai Raja,
kemenyan mewakili keilahian-Nya sebagai Imam Besar, dan mur melambangkan
pengorbanan-Nya yang akan datang.
Namun, lebih dari nilai
materialnya, persembahan ini adalah simbol penghormatan, pengakuan, dan
penundukan diri kepada Kristus. Dalam tindakan mereka, para majus mengajarkan
bahwa memberi adalah bagian integral dari menyembah Tuhan.
Di era modern, di mana
konsumerisme sering mendominasi, semangat memberi sering kali digantikan oleh
keinginan untuk memiliki lebih banyak. Diskon akhir tahun dan promosi
besar-besaran menjadikan Desember bulan pemborosan, bukan bulan persembahan.
Namun, Betlehem mengingatkan kita bahwa memberi adalah tentang hati yang penuh
syukur, bukan jumlah materi yang kita berikan.
Filsuf Jean-Luc Marion
berbicara tentang konsep gift (pemberian) sebagai sesuatu yang melampaui
transaksi. Memberi yang sejati adalah tindakan yang tidak mengharapkan imbalan.
Ini sejalan dengan ajaran Kristus, yang mengajarkan bahwa persembahan sejati
adalah tindakan kasih dan penghormatan kepada Allah.
Hari ini, persembahan
kita mungkin tidak berupa emas, kemenyan, atau mur. Namun, kita tetap dipanggil
untuk memberi. Apa yang bisa kita persembahkan kepada Tuhan di tengah
masyarakat yang cenderung fokus pada konsumsi?
1.
Waktu:
Di dunia yang serba sibuk, waktu adalah hadiah yang berharga. Memberi waktu
untuk melayani sesama atau memperkuat hubungan dengan Tuhan adalah bentuk
persembahan yang berharga.
2.
Bakat:
Talenta yang kita miliki adalah anugerah Tuhan. Apakah kita menggunakannya
untuk memuliakan Dia atau hanya untuk keuntungan pribadi?
3.
Harta:
Memberi kepada mereka yang membutuhkan adalah bentuk nyata dari kasih kepada
Allah dan sesama. Ini mengingatkan kita untuk tidak terikat pada materi,
melainkan fokus pada kekekalan.
Psikolog sosial Erich
Fromm, dalam bukunya To Have or to Be?, menyatakan bahwa kehidupan yang
bermakna bukan tentang memiliki, tetapi tentang menjadi. Ketika kita memberi,
kita menjadi pribadi yang lebih berempati, berbelas kasih, dan bersyukur.
Salah satu kisah yang
menggambarkan semangat memberi adalah kisah George Müller, seorang pelayan
Tuhan di Inggris abad ke-19 yang mendirikan panti asuhan untuk anak-anak yatim
piatu. Tanpa mengandalkan sumbangan yang diminta, Müller hanya berdoa kepada Tuhan
untuk kebutuhan panti asuhannya. Ia melihat Tuhan mencukupi kebutuhan tersebut
melalui persembahan orang-orang yang tergerak oleh kasih.
Semangat Müller
menunjukkan bahwa memberi bukan hanya soal apa yang kita miliki, tetapi tentang
kepercayaan bahwa Tuhan dapat menggunakan persembahan kita, sekecil apa pun,
untuk pekerjaan besar.
Refleksi Pribadi: Apa
Persembahan Anda?
Apa yang dapat Anda
persembahkan kepada Tuhan hari ini? Mungkin itu adalah waktu untuk berdoa,
talenta Anda untuk melayani di gereja, atau harta Anda untuk membantu mereka
yang membutuhkan. Apa pun bentuknya, persembahkanlah dengan hati yang penuh
kasih dan syukur.
Seperti para majus yang
membawa persembahan mereka ke Betlehem, kita juga dipanggil untuk datang ke
hadapan Tuhan dengan membawa apa yang terbaik dalam hidup kita. Bukan untuk
menerima, tetapi untuk memberi—karena Dia telah lebih dulu memberi segalanya untuk
kita.
Referensi
1.
Alkitab (Matius 2:11, 2 Korintus 9:7)
2.
Jean-Luc Marion, The Gift: Presence
in Ordinary Life
3.
Erich Fromm, To Have or to Be?
4.
Kisah George Müller dan panti asuhannya,
yang menunjukkan kepercayaan pada Tuhan dan semangat memberi.
5.
Artikel Christianity Today
tentang pemberian dalam konteks modern.
6.
Jurnal Harvard Business Review tentang
manfaat psikologis dari memberi.
Komentar
Selamat hari natal
Posting Komentar