BAHAN SERMON GBKP PEKAN PENATALAYANAN GBKP 2025 KETIGA "Hadir Menyelesaikan Persoalan - Kisah Para Rasul 15:6-11"



 ===================================================================Invocatio : 1 Korintus 3:9

Bacaan I        : Bilangan 12:1-13

Kotbah           : Kisah Para Rasul 15:6-11

Tema              : Hadir Menyelesaikan Persoalan

===================================================================

Pengantar

Pernahkah Anda terjebak dalam sebuah diskusi yang berlarut-larut, di mana semua orang berbicara tetapi tidak ada yang mendengar? Kita sering menyaksikan bagaimana perdebatan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi lebih penting daripada mencari solusi. Dalam hidup, kita seperti berjalan di atas tali antara mempertahankan apa yang kita yakini benar dan membuka diri untuk memahami apa yang mungkin lebih baik. Tetapi bukankah hidup lebih dari sekadar memenangkan argumen? Bukankah panggilan kita adalah menghadirkan damai dan menyelesaikan persoalan dengan cara yang mencerminkan kasih Kristus?

 

Kisah Para Rasul mengajarkan kita bagaimana menghadapi persoalan besar yang melibatkan tradisi, identitas, dan panggilan. Para rasul tidak hanya berbicara tentang kebenaran, tetapi juga memilih untuk hidup di dalamnya—kebenaran yang mengatasi batas tradisi dan membuka ruang bagi belas kasih Tuhan. Bagaimana kita bisa meneladani mereka? Bagaimana kita menghadirkan solusi yang tidak hanya menyelesaikan konflik tetapi juga memuliakan Tuhan?

 

Tradisi, Kritik, dan Belas Kasih Tuhan

Tradisi adalah fondasi yang membentuk identitas kita. Seperti rumah yang nyaman, tradisi memberikan stabilitas dan rasa aman. Namun, ketika tradisi menjadi terlalu kokoh, ia bisa berubah menjadi tembok yang memisahkan kita dari apa yang benar-benar penting. Dalam Kisah Para Rasul 10, kita melihat bagaimana Petrus menghadapi tantangan besar ketika Tuhan menyuruhnya menerima orang non-Yahudi ke dalam komunitas iman. Bagi Petrus, ini bukan hanya persoalan teologis tetapi juga benturan langsung dengan tradisi yang ia pegang sepanjang hidupnya. Namun, dengan bantuan Roh Kudus, ia memilih untuk mengikuti panggilan belas kasih Tuhan yang melampaui batas tradisi.

 

Secara psikologis, kita sering terjebak dalam pola pikir yang mempertahankan status quo karena rasa nyaman yang ditawarkannya. Teori cognitive dissonance yang dikemukakan oleh Leon Festinger menunjukkan bahwa manusia cenderung menghindari konflik internal antara keyakinan lama dan kenyataan baru. Namun, seperti yang ditunjukkan Petrus, keberanian untuk menghadapi ketidaksesuaian ini dapat membuka jalan menuju pemahaman dan belas kasih yang lebih besar.

 

Secara filosofis, hal ini dapat dikaitkan dengan gagasan Jacques Derrida tentang deconstruction, yaitu proses menggali dan mempertanyakan kembali fondasi dari tradisi atau keyakinan kita. Derrida menunjukkan bahwa di balik setiap struktur atau sistem keyakinan, selalu ada celah yang memungkinkan kita untuk menemukan makna baru. Para rasul mengajarkan kita bahwa tradisi bukan untuk dihancurkan, melainkan untuk dikritisi dan diperbarui dalam terang kasih Tuhan.

 

Kebenaran yang Menghidupkan

Kebenaran sering kali menjadi senjata dalam konflik, tetapi kebenaran yang sejati seharusnya membawa damai dan kehidupan. Dalam Bilangan 12:1-13, Musa menjadi contoh nyata bagaimana kebenaran tidak digunakan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membangun. Ketika Miriam dan Harun mengkritik Musa, ia tidak membalas dengan kemarahan. Sebaliknya, Musa menunjukkan kedewasaan rohani dengan berdoa agar mereka dipulihkan. Ini adalah gambaran bagaimana kebenaran Kristus selalu diiringi oleh belas kasih.

 

Tindakan Musa mengingatkan kita pada pentingnya hikmat dari Roh Kudus dalam menyelesaikan persoalan. Kehidupan tidak selalu tentang hitam dan putih; sering kali, kita hidup di antara keduanya. Dalam ranah filsafat, ini mirip dengan gagasan Aristoteles tentang virtue ethics, di mana kebajikan berada di antara dua ekstrem. Kebijaksanaan, sebagai salah satu kebajikan utama, memungkinkan kita untuk menavigasi kompleksitas kehidupan dengan kasih dan pengertian.

 

Dalam konteks gereja, 1 Korintus 3:9 menekankan bahwa kita adalah rekan sekerja Allah. Gereja bukanlah arena untuk memperebutkan siapa yang benar atau salah, melainkan tempat di mana kita bersama-sama membangun. Fokus kita haruslah pada visi untuk memuliakan Tuhan, bukan mempertahankan tradisi yang mungkin telah kehilangan relevansinya atau mengejar kepentingan pribadi.

 

 

 

Kedewasaan dalam Menyelesaikan Persoalan

Kedewasaan rohani dan emosional terlihat dalam kemampuan untuk melihat melampaui konflik dan mencari solusi yang membangun. Martin Buber, dengan konsepnya tentang hubungan "Aku-Engkau" (I-Thou), mengajarkan bahwa kita dipanggil untuk melihat orang lain sebagai individu yang berharga, bukan sebagai objek untuk didebatkan. Dalam gereja, ini berarti menerima perbedaan pandangan dengan kasih, sambil tetap fokus pada tujuan bersama.

 

Psikologi modern juga mendukung pentingnya kedewasaan ini. Daniel Goleman, melalui konsep kecerdasan emosional, menekankan bahwa empati dan kemampuan untuk mengelola emosi adalah kunci untuk menyelesaikan konflik dengan damai. Dalam kehidupan bergereja, ini berarti mendengarkan dengan hati terbuka, bukan hanya untuk membalas tetapi untuk memahami.

 

Kesimpulan

Hadir menyelesaikan persoalan berarti menghadirkan kasih Tuhan di tengah konflik. Seperti para rasul yang memilih jalan belas kasih, Musa yang menunjukkan pengampunan, dan gereja yang dipanggil untuk bekerja sama sebagai tubuh Kristus, kita juga dipanggil untuk membawa damai yang sejati.

 

Tradisi, meski penting, bukanlah tujuan akhir. Kebenaran Kristus yang menghidupkan dan memulihkan adalah panggilan utama kita. Dalam dunia yang penuh perbedaan, kedewasaan rohani dan hikmat dari Roh Kudus memungkinkan kita untuk menghadapi persoalan dengan kasih, pengertian, dan solusi yang membangun.

 

Jadi, saat kita dihadapkan pada persoalan, mari kita bertanya: Apakah kebenaran yang saya bawa mencerminkan Kristus? Apakah solusi yang saya usulkan membawa damai atau justru memecah belah? Sebab pada akhirnya, hidup bukanlah tentang memenangkan perdebatan, melainkan tentang menjadi alat kasih Tuhan di tengah dunia yang membutuhkan solusi, bukan konflik

Komentar