Suatu ketika,
seseorang pemuda mengalami kecelakaan yang parah dan membuat tangan kanannya harus
diamputasi. Hal ini membuat dia sangat depresi, karena dia tidak bisa
membayangkan seperti apa hidup dengan hanya tangan kiri saja. Selama di Rumah
Sakit, dia mengutuki dirinya, atas semua yang telah dia lakukan sebelumnya.
Sampai akhirnya dia bangkit dari tempat tidurnya dan berniat untuk bunuh diri.
Mengingat saat itu tidak ada keluarga yang menemani, ia pun keluar jendela
untuk melakukan aksi bunuh dirinya. Tetapi ketika dia melihat kebawah, ada
banyak orang yang melihat lelaki dewasa yang tidak memiliki kedua tangan sedang
menari-nari dan dikrumuni oleh banyak orang. Seketika itu pula, dia
mengurungkan niatnya dan bersyukur atas apa yang masih dia miliki saat ini.
Lalu dia turun, untuk menemui bapak itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Karena berkat bapak itu, dia tidak jadi untuk bunuh diri. Sesampainya dia
dibawah, dia langsung mendekati bapak itu dan berkata,
“Terima kasih pak, kamu
telah menyelamatkan nyawa saya. Tadi saya berniat untuk bunuh diri. Tetapi
ketika saya melihat anda menari, saya bersyukur dan mengurungkan niat saya
untuk bunuh diri”.
Seketika pula, si
Bapak menjawab ;
“Maaf nak, kamu dan
mereka semua ini sama saja. Kalian melihat saya seolah-olah saya sedang menari.
Padahal ada sesuatu yang menyangkut di kantong belakang celana saya dan membuat
saya merasa gatal. Jadi saya tidak sedang menari nak. Melainkan saya sedang
berusaha untuk menghilangkan rasa gatal ini dengan melompat-lompat dan
menggerakan kaki saya dengan lincah.”
Kisah
ini menjadi cerminan dalam diri kita masing-masing. Dalam banyak hal, kita
perlu untuk menyelesaikan masalah kita sendiri tanpa orang lain. Menyelesaikan
masalahnya dengan melepaskan beban pikiran yang justru hanya menghambat dan
menghalangi pandangan kita kedepannya. Sama seperti pemuda tadi, ketika dia
melihat bapak itu dari atas. Dia melepaskan bebannya dan berhenti untuk
mengutuki dirinya, sehingga dia memiliki pandangan yang siap untuk melangkah
kedepannya. Mungkin demikian pula yang sedang dialami oleh kedua orang murid
Yesus, duka dan harapan yang tidak tercapai membuat pandangan mereka tertutup.
Sampai-sampai Yesus yang telah bangkit dan sedang berjalan bersama mereka,
tidak mereka sadari.
Yesus
mendatangi mereka dan sebenarnya sedang menyentil mereka dengan bertanya,
“Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?”. Sentilan sederhana
tapi maknanya sangatlah mendalam. Karena kedua murid itu sedang berjalan,
tetapi kecewa dan dukannya justru menyelubungi matanya sampai akhirnya dia buta
akan Yesus bersama mereka, ataupun (mungkin)
akan lingkungan tempat dimana mereka sedang berjalan. Kalau saja mereka ada di
zaman ini, mungkin mereka adalah orang-orang yang berkendara tetapi sibuk
ngobrol sampai tidak menikmati setiap perjalananya dan bahkan membahayakan
keselamatannya. Atau seperti orang yang sedang berliburan, tapi sibuk
memikirkan tentang oleh-oleh yang seperti apa harus aku bawakan saat aku pulang
nanti.
Idealnya setiap orang harusnya mau
belajar cara melepas. Karena dengan tidak mampu melepas, maka kita sedang menjalani
kehidupan dengan membawa kenangan buruk masa lalu, perasaan negatif masa kini,
ketakuutan akan masa depan, dan semuanya hanya akan menyebabkan begitu banyak
duka dan rasa sakit. Bukan hanya pada kita, namun juga pada orang-orang yang
bersama kita. Seperti kedua murid tadi, mereka berdua tidak mampu melepas duka
dan kekecewaan mereka, sehingga kehadiran dan kebangkitan Yesus, tanda
kemenanganNya dari kematian justru terabaikan oleh suasanan yang menghalangi
pandangan mereka kepada Yesus. Sampai-sampai membuat Yesus sepertinya menjadi
kesal (menurut saya) dan mengatakan “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya
hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para
nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam
kemuliaan-Nya?”
Karena itu, jika kita mencintai
keluarga kita dan rekan-rekan kerja kita, marilah kita melatih batin kita untuk
melepas, sehingga kita mampu meraih keheningan, kedamaian dan kebahagian.
Tetapi, dengan belajar melepas bukan berarti kita sedang melepas sepanjang
waktu atau menjadi seorang biarawan. Karena seorang biarawan sekalipun yang
selalu melatih batin mereka, juga memiliki tanggung jawab yang harus
diselesaikan. Kita tidak bisa melepas segala hal sepanjang waktu, akan tetapi
sungguh indah jika dalam rutinitas kita kapan saja, dalam situasi apa saja,
kita memiliki kemampuan yang sebagian besar orang tidak bisa lakukan yakni
sekedar melepas dan membiarkan segala sesuatu berjalan dengan alami.
Kalau kita kembali kepada teks, maka
kita harus belajar cara untuk melepas masa lalu kita. Moment-moment buruk yang
justru menghalangi pandangan kita untuk menikmati hidup saat ini. Tetapi, kita
juga tidak diajak untuk melepas hal itu saja, karena kita juga diajak untuk
melepas baik itu moment buruk ataupun moment indah sekalipun. Seperti kisah
teman saya, yang sangat senang dengan bumbu pecal buatan mamanya dan mengatakan
bahwa tidak ada yang lebih enak dari bumbu pecal buatan mamanya. Sehingga
setiap kali diajak untuk menikmati bumbu pecal dari jawa timur sekalipun, tidak
membuat dia nikmat untuk memakannya. Dengan kita belajar untuk melepas, kita
bisa menikmat setiap rasa baru yang mungkin hadir di dalam kehidupan kita saat
ini.
Karena apa yang terjadi saat ini seumpama seperti saat
kita sedang bergantung pada satu cabang pohon yang tak lama lagi akan membuat
kita jatuh ke bawah. Tugas kita cuman melompat kebawah dan biarkan Yesus
menangkap dan menolong kita. Tanpa harus mengutuki diri kita yang telah
memanjat pohon tersebut, ataupun khawatir kalau tidak ada yang menangkap kita
dibawah. Memberanikan diri untuk melompat kebawah, adalah cara kita untuk
mengatakan kalau kita mau berserah dan berjalan bersama dengan Yesus dalam
setiap harapan dan kekhawatiran kita.
Komentar
Posting Komentar