Pendahuluan
Manusia
adalah bagian dari “alam”, artinya kita ikut serta dalam proses-proses biologis
dan fisiologis, sama seperti binatang dan makhluk hidup lainnya. Sebaliknya
manusia juga “terpisah” dari alam karena kita memiliki kesadaran dan sanggup
mengambil keputusan secara sadar tentang cara mengubah alam di sekitar kita.
Selain itu, dalam penghayatan iman orang Kristen, Yahweh umumnya dipandang
segambar dengan manusia. Walaupun pada akhirnya penghayatan akan “Gambar Yahweh”
yang melekat pada manusia, menjadi ambigu di era sekarang. Hal ini terlihat
dari beberapa kalangan yang mengeksploitasi alam terlalu berlebihan untuk
membuat tambang emasnya sendiri, tanpa memikirkan kehidupan yang ada
disekitarnya. Keprihatinan akan peristiwa tersebut menjadi dasar akan tulisan
ini sebagai bentuk pengkajian ulang akan
makna dari Gambaran Yahweh. Sehingga makna tersebut tidak lagi ambigu dan dapat
direlevansikan untuk kehidupan saat ini. Karena itu dalam pembahasan tulisan
ini, kita akan memulai fokus kita pada penciptaan manusia yang diciptakan seperti
gambaran Yahweh. Lalu akan berlanjut pada Yahweh yang merupakan gambaran untuk
Manusia, dimulai dari sikapnya yang memelihara dan pemberian bumi yang
diberkati dan sarat berbuah. Setelah melakukan peninjauan ulang akan “Gambar
Yahweh”, fokus kita akan beralih pada
konsep “Kuasa” yang juga diberikan khusus kepada Manusia. Hingga diakhir, akan
ditutup dengan rangkuman dari seluruh tinjauan, untuk menciptakan sebuah “Gambaran
Yahweh” dan “Berkuasa”, sebagai wujud tanggapan atas bencana-bencana asap yang
beberapa waktu ini terjadi di Indonesia.
1. Yahweh Menjadikan Manusia menurut Gambar-Nya.
Menurut
Christoph Barth dan Marie Claire Barth, Yahweh menjadikan manusia menurut
gambar-Nya untuk memungkinkan hubungan timbal balik antara Ia dan mereka[1].
Dari hal ini, umat Kristen merenungkannya dan mempertimbangkannya ke lima arah
utama:
1. Kata
Ibrani tselem menekankan kemiripan
dan dipakai untuk anak yang serupa dengan bapaknya (Kej. 5:3) dan patung yang
menyerupai pembesar. Alkitab berbicara tentang mata, mulut, hidung, wajah,
tangan Yahweh. Akan tetapi, rasanya bahasa kiasan ini jangan dipahami secara
harafiah.
2. Diantara
para makhluk, hanya manusia yang berbicara, berpikir, mengingat, merencanakan,
menghasilkan kesenian. Dalam hal inilah ia dikatakan serupa dengan Yahweh.
3. Dalam
budaya Mesir dan Babel, raja disamakan dengan gambar ilah. Apakah pertimbangan itu
sepenuhnya diambil dan dikenakan kepada manusia? Sebagai wakil Yahweh, manusia
berkuasa atas makhluk lain, tetapi sulit membayangkan bahwa para imam melihat
manusia sebagai wakil Yahweh karena biasanya Yahweh diwakili oleh kemuliaan-Nya
dalam teofani dan dalam ibadah.
4. Cerita
mula-jadi tak hanya membicarakan hakikat manusia, tetapi juga karya ciptaan Yahweh.
Maka, kesimpulan bahwa manusia diciptakan untuk berhubungan dengan Yahweh dan
sesame makin sering diambil. Manusia seutuhnya dijadikan untuk bersekutu dengan
Khalik dan sesamanya; inilah “gambar Yahweh” yang ada padanya.
5. Dalam
karya penafsir Barat, “gambar” dan “rupa” dipandang searti saja. Dalam tradisi
Ortodoks Timur, keduanya dibedakan. “Gambar” dikaruniakan kepada setiap orang
ketika ia lahir dan tak dapat hilang, sedangkan “rupa” baru berkembang dalam
hubungan dengan Yahweh. Baru di dalam diri Yesus Kristus “rupa Yahweh”
kelihatan dengan sempurna.
[2]
Dari
beberapa hal ini juga memperlihatkan bahwa pada gambar Yahweh, terletak
martabat manusia yang menunjukan kesediaan dan undangan membuka diri terhadap
Yahweh dan sesama. Gambar Yahweh, juga diperlihatkan Mzm 21:6 sebagai mahkota
yang dilekatkan pada manusia sebagai bentuk kemuliaan dan hormat Yahweh yang
bersinar atasnya dan melekat kepadanya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah gambaran Yahweh itu dan
bagaimana hubungan manusia sebagai gambaran Yahweh dengan bumi yang diberkati
dan sarat berbuah?
1.1.
Yahweh sebagai gambaran untuk manusia adalah pemelihara
Dalam teologi konvensional, sering dijumpai penggunaan kata-kata benda untuk berbicara tentang Yahweh. Kesaksian Israel menggunakan “kata-kata benda” untuk berbicara tentang Yahweh. Dengan kata-kata benda, Yahweh diberikan nama dan diberikan karakter dalam narasi kesaksian.[3] Penggunaan kata-kata inilah yang menjadi bahasan kita pada bagian ini, sebagai bentuk tinjauan akan Yahweh yang merupakan Gambaran untuk manusia, terkhusus penggunaan kata-kata yang bertujuan pada sifat Yahweh sebagai pemelihara. Adapun menurut Walter Brueggeman, metafora-metafora mengenai Yahweh sebagai pemelihara sebagai berikut :
a.
Yahweh Sebagai Seniman
Pada
metafora ini, Yahweh digambarkan sebagai tuukang periuk yang dengan terampil,
penuh perasaan dan kehalusan hati membentuk pribadi manusia (Kej 2:7-8),
membentuk binatang-binatang dan burung-burung (Kej 2:19) dan bumi (Yes 45:18;
Mzm 95:5), serta membentuk Israel (Yes 43:1,7,21; 44:2,21,24; 45:9,11).
Mengenai pembentukan tersebut ysr
menyiratkan kepada kita suatu kepuasan atau kesukaan tertentu pada pihak
Yahweh, yang mampu membayangkan bentuk sebuah objek yang pernah ada sebelumnya,
lalu mengubahnya dari imajnasi kepada kenyataan. Walaupun demikian metafora
tersebut sedikit membuat gelagat buruk dan penuh tuntutan. Mengingat tanah liat tidak sudi tunduk pada
kehendak tukang perik, maka tukang periuk bebas dan siap untuk meremukan periuk
itu dan mengerjakannya kembali[4] :
Apabila bejana, yang sedang
dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali
menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya.
(Yer 18:4) Dari
hal ini, kita melihat bahwa Yahweh sebagai seniman bertanggung jawab atas seni
yang Dia bentuk dan pastinya sekalipun peremukan terjadi pada periuk, hal itu
dilakukan untuk memperbaiki agar periuk tersebut menjadi lebih baik lagi.
Sehingga tidak dibiarkan begitu saja, melainkan dibentuk lagi untuk
menghasilkan yang terbaik.
b.
Yahweh Sebagai Tabib
Yahweh
sebagai tabib, bukanlah gambaran yang utama untuk Yahweh, namun metafora ini
dimunculkan dalam wacana israel pada tempat-tempat yang sangat penting. Sebagai
saksi tentang kemampuan Yahweh untuk memulihkan, memugar dan memperbaiki segala
sesuatu yang rusak atau terluka. Walaupun demikian, menurut Brueggeman gambaran
ini menjukkan bahwa pemakian metafora ini oleh Israel tidak sedemikan sederhan\
dan kasat mata. Pertama, penyembuhan yang dilakukan Yahweh tidak selalu berupa
suatu tindak kekuasaan murni seperti gamblang dalam Kel 15:26. Seperti yang
dikutip Bruggeman pada Abraham Heschel, bahwa karya penyembuhan yang dilakukan
Yahweh dalam Kitab Yeremia dibebani dengan derita, rasa sedih dan masalah.
Tidak hanya itu juga, jalan menuju penyembuhan itu bahkan harus melewati
kehilangan derita, murka dan penghinaan. Penyembuhan dibayar mahal oleh si
penyembuh. Kedua, penyembuhan dimulai dengan menuntut penyingkapan kebenaran
(bdk, Mzm 32:3-5; 38:3-8). Ketiga, Yahweh juga memiliki batasan-batasan dalam
melakukan penyembuhan sekalipun Yahweh murah hati dan penuh perhatian. Seperti
syair dalam Yeremia 51 yang menceritakan tentang bangsa Babel yang tidak ingin
disembuhkan. Keempat, menurut Bruggeman, sekalipun Yahweh sebagai tabib yang
tiada banding, manusia juga dapat menjadi agen bagi penyembuhan yang
dikehendaki oleh Yahweh.[5]
c.
Yahweh Sebagai Tukang Kebun – Pemelihara Pokok Anggur.
Metafora
lain yang menunjukan sikap pemeliharaan Yahweh adalah sebagai tukang kebun yang
menanami sebuah kebun atau kebun anggur. Kebun dapat dihubungkan dengan
tindakan penciptaan (Kej 2:8) dan tentu saja mempunyai kaitan dengan kesuburan
dan kepenuhan fungsi penciptaan (Bil 24:6). Yang paling dikenal dan barangkali
merupakan rumusan paling sempurna dari metafora ini ialah nyanyian tentang kebun
anggur dalam Yes 5:1-7. Dalam drama gambaran ini diberikan dalam dua bagian.
Pertama, Yahweh telah murah hati dan penuh perhatian dalam memelihara kebun
anggur. Adapun tujuan Yahweh ialah membangun kebun yang menghasilkan kebun
anggur yang baik. Begitulah gambaran positif Yahweh sebagai tukang kebun dan
pemelihara pokok anggur yang berujung pada penilaian dan penghakiman.[6]
d. Yahweh Sebagai Ibu
Yahweh,
selain sebagai Bapa Israel yang campur tangan demi kepentingan si anak sulung
(bdk. Kel 4:22; dan tidak begitu langsung dalam Yer 31:9; Yes 43:6), dan mampu
bertindak keras sehingga berpikir untuk menolak Israel (Hos 11:4-7). Yahweh
juga mampu melakukan tindakan-tindakan “keibuan” terhadap Israel, yakni
mengalami keseluruhan masalah emosional-relasional dari sikap keras hingga
kelembutan. Teks-teks paling utama untuk kajian kita tentang Yahweh sebagai Ibu
terlihat dari tradisi Yesaya. Dalam tradisi Yesaya 66:13 Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan
menghibur kamu; Syair ini menggambarkan Yahweh yang menghibur Israel.
Adapun motif dari penghiburan ini dimasukan dalam term yang berfungsi seperti
memberi makan, memelihara, menjaga Israel. Sehingga dari motif ini jelaslah
bahwa Yahweh dalam metafora tukang periuk dan tukang kebun ataupun tabib
memberikan gambaran bahwa Yahweh yang tidak keras. Lalu, jelas jugalah kiranya
bahwa gambaran untuk Yahweh selalu bercorak keibuan yang memiliki fungsi ,
bukan hanya sekedar memelihara namun memberi makan, menjaga dan merawat juga.[7]
e.
Yahweh Sebagai Gembala
Selain
dari metofora-metafora diatas, didapat juga bahwa dalam kesaksian Israel Yahweh
merupakan Gembala bagi mereka (bdk. Yes 44:28; Yeh 37:24). Gambaran ini merujuk
pada seorang agen yang dengan arif, peduli dan penuh perhatian memelihara,
menjaga, memberi makan, melindungi kawanannya yang rentan, yang tidak dapat
mandiri dan membutuhkan pertolongan.
Kiranya
gambaran-gambaran dari metafora-metfora ini menunjukan kepada kita, bahwa
Yahweh sebagai Gambaran untuk manusia memiliki karakter, bukan hanya sekedar
memelihara, namun melampaui hal itu. Pemeliharaannya juga nyata dan konkret
dirasakan oleh bangsa Israel. Kita lihat dalam Mazmur 104: 10-18, yang
berbicara mengenai Yahweh yang adalah penyelenggara kehidupan, praktisnya Dia yang
menyediakan minuman dan makanan kepada penghuni bumi, termasuk manusia.
Binatang-binatang di padang, maksudnya binatang-binatang liar dan burung-burung
yang bersiulan mendapatkan minumannya dari mata-mata air yang disediakan oleh Yahweh
bagi mereka. Bahkan dengan bahasa puitis, gunung-gunung (dataran tinggi) dan
tanah (dataran rendah, “bumi” di ayat 13 seyogyanya diterjemahkan “tanah”) juga
diberi minum oleh Yahweh dari loteng-lotengnya yang di atas, maksudnya dari
hujan yang diturunkan ke bumi.[8]
1.2. Yahweh memberikan bumi yang diberkati dan sarat berbuah
Seperti yang kita ketahui bahwa bumi diciptakan Yahweh sebagai bentuk kedermawanan-Nya. Bahkan tidak ada alasan yang dikemukaan menyangkut tindakan Yahweh yang tak terperikan sehingga membentuk bumi yang cocok bagi kehidupan. Tindakan-tindakan yang dermawan ini dalam kesaksian Israel, adalah sebuah tempat di mana ada kesuburan, keberlimpahan, produktivitas, kemewahan – semua term ini memuncak dalam kata berkat. Namun dibalik rasa kedermawananNya, Yahweh juga menghendaki agar bumi yang barusan ditata itu menghasilkan buah berlimpah dan menanamkan di dalamnya “daya kesuburan”. Bahkan Yahweh juga mengesahkan di dalam bumi daya kedermawanan yang tak terperikan agar bumi mampu menopang semua anggotanya dan agar bumi memiliki di dalam dirinya kemampuan bagi pelestarian, pengasuhan dan peremajaan.[9]
Kiranya
jelaslah bahwa Yahweh menciptakan Bumi ini sebagai “rumah” untuk segenap makhluk
didasarkan kedermawanan-Nya. Namun pemberian itu juga tidak berhenti pada itu
saja, karena pada akhirnya manusia diberikan beberapa karunia untuk berkhikmat,
adil dan beribadat. Hingga akhirnya bumi terus diberkati dan sarat berbuah.
2. Manusia yang “Berkuasa”
Membicarakan
tentang “kuasa” manusia, kita bisa merujuk pada Mazmur 8:7-9;
Engkau membuat dia berkuasa atas
tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya, kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga
binatang-binatang di padang;burung-burung
di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.
Jika kita perhatikan, semua binatang yang dituliskan dalam ayat ini juga terlihat pada Kejadian pasal 1. Sehingga menurut, Emanuel Gerrit Singgih, pemazmur hanya membayangkan penguasaan manusia hanya terbatas pada makhluk-makhluk hidup ini. Hal itu juga, dalam rangka penyediaan makanan dan keamanan. Sedang langit, tampaknya tidak menjadi bagian dari kekuasaan manusia.[10] Hal ini juga dilihat Barth, sebagai bentuk kuasa atas binatang saja dan kuasa itu juga mengandung tanggung jawab mereka. Ditambahkan Barth juga, bahwa hubungan manusia dengan tanah berbeda secara radikal. Yahweh menempatkan manusia untuk melayani (Ibr:abad; Indonesia/Arab:mengabdi kepada; LAI; mengusahakan,Kej 2:15) dan memeliharanya (sebagaimana orangtua memelihara anak, peternak memelihara ternaknya, dan orang yang taat kepada Yahweh memelihara hukum-hukumNya). Manusia diberi kuasa menamai dan memanfaatkan tanah, tetapi ia harus menjadikan ladang, kebun, sawah tetap subur sehingga ia dapat memberi makanan turun-temurun kepada umat manusia dalam kesadaran bahwa apa pun usaha manusia, Yahweh saja yang memberikan pertumbuhan. Sehingga kuasa manusia baru menghasilkan karya yang baik bila dijalankan dalam tanggung jawab terhadap Khalik.
Selanjutnya,
manusia juga diajak berkarya dan
diundang dalam persekutuan dengan Yahweh. Pekerjaan bukan hanya merupakan
beban. Sejak, awal manusia diajak untuk mengembangkan sesuatu yang baru dan
berguna. Ia mulai sebagai pertani (Kej. 1:13;4:2), kemudian menjadi gembala
domba dan kambing (Kej. 4:2 dan 20, sedangkan perempuan memintal dan menenun
pakaian dan wol dan kain tenda) dan berburu (Kej. 10:9). Semuanya merupakan
buah Hikamt yang universal sifatnya dan berakar pada penciptaan (Ams. 8:22-36).[11]
Dari hal ini kiranya jelas, selain diberikan
“kuasa”, manusia juga diberikan buah “Hikmat” untuk diajak berkarya oleh
Yahweh.
Berbicara
mengenai hikmat yang diberikan Tuhan kepada manusia, perlulah juga diketahui;
Pertama bahwa ciptaan menuntut dari pribadi manusia, pihak yang diberi kuasa,
agar ia mempraktikan hikmat kebijaksanaan.
Hal ini dimaksudkan sebagai penerimaan secara kritis, reflektif dan tajam
terhadap kedermawanan Yahweh.[12]
Karena pada hakikatnya karunia ini diberikan bukan demi kepuasan diri sendiri,
ekspoitasi, ketamakan atau kejenuhan. Karunia tersebut deiberi demi pengelolaan
secara saksama agar sumber-sumber daya alam didayagunakan demi perlindungan,
kemajuan serta kelestarian semua makhluk ciptaan. Kedua, dalam hikmat manusia
memiliki keadilan. Hal ini diperuntukan agar, bumi sebagai ciptaan Yahweh tidak
ditata beberapa orang untuk mengangkat diri mereka sendiri di atas semua yang
lain demi keuntungan dan kepentingan mereka sendiri. Apabila ada orang-orang
menafikan kedermawanan itu, ciptaan itu sendiri memiliki di dalam dirinya
rupa-rupa sanksi yang akan membawa kematian untuk mereka. Ketiga, walaupun
penataan ciptaan sebagai kedermawanan itu bukan merupakan harta miliki Israel,
namun bagi Bruggeman kesakisian Israel berkeyakinan bahwa ibadat publik
merupakan konteks dalamnya kedermawanan ciptaan itu bisa diterima dan
ditingkatkan.[13]
Penutup : Manusia
Sebagai Gambaran Yahweh Dan Berkuasa Yang Seharusnya (Tanggapan Atas Bencana
Asap di Indonesia)
Dari
seluruh kajian sebelumnya kita dapati bahwa gambaran Yahweh dalam kesaksian
Israel ialah sebagai pemelihara. Dalam rangka memelihara tersebut, Yahweh
diperlihatkan dengan berbagai macam metafora yang digunakan oleh bangsa Israel
untuk mewujudkan bentuk pemeliharaan-Nya secara konkret dan nyata. Salah satunya metafora seorang Ibu yang
dilekatkan kepada Yahweh yaitu memberi makan, menjaga dan merawat ciptaannya.
Sehingga dari hal ini, dapatlah kita bayangkan bila manuisa adalah gambaran
Yahweh, maka manusia juga harus bersikap sebagaimana gambaranNya yakni
pemelihara dan bila kita hubungkan dengan alam. Maka sudah seharusnyalah
manusia mampu memelihara alam seperti Yahweh memelihara ciptaan-Nya.
Manusia
juga senantiasa hidup dalam hubungan yang dinamis, dalam diri sendiri antara
tubuh dan jiwa, antara kefanaan dan hidup yang diberi Roh, antara semua makhluk
yang lain. Ia dijadikan demi hubungan dengan Yahweh, tetapi manusia memilih
otonomi dan mendatangkan hukuman atas dirinya. Seperti yang beberapa pekan ini di
beberapa daerah yang terjadi kebakaran hutan di Indonesia. Jika kita lihat
dalam beberapa surat kabar, kebakaran hutan terjadi karena beberapa faktor yang
salah satunya adalah karena tindakan beberapa kalangan yang sengaja yang
membakarnya. Akibatnya banyaknya asap yang melingkupi di berbagai daerah
membuat beberapa orang jatuh sakit dan bahkan sampai pada kematian. Tidak hanya itu, perbuatan itu juga
berakibat pada makhluk-makhluk lain yang hidup di dalam hutan yang dibakar
seperti binatang-binatang liar juga yang kehilangan habitatnya.
Hal
tersebut memang dapat saja terjadi karena manusia memanglah bertindak atas
pilihannya sendiri. Karena manusia diberikan kuasa dan gambaran Yahweh sendiri
selalu melekat pada dirinya yang tidak dapat hilang karena kelainan dalam tubuh
dan jiwanya atau, karena tindakan keji apa pun. Paling tidak, yang dapat kita
katakan adalah gambar Yahweh tidak lagi keliatan pada dirinya.[14]
Namun
hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sebagai gambaran Yahweh yang
seharusnya, manusia juga harus melihat seperti apa yang digambarkan dalam
kesaksian Israel mengenai Yahweh sebagai pemelihara. Sebab kendatinya, gagasan
bahwa manusia diciptakan segambar dengan Yahweh menempatkan manusia juga dalam
suatu hubungan yang unik dengan Yahweh dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Hubungan
kita yang unik itu memberikan tanggung
jawab khusus untuk bertindak. Karena Yahweh menciptakan bumi ini sebagai
“rumah” untuk segenap makhluk didasarkan kedermawanan-Nya. Namun pemberian itu
juga tidak berhenti pada itu saja, karena manusia juga diberikan peran sebagai
pelaksana harian yang jelas sudah jelas kita bahas sebelumnya di mana Yahweh
memerintahkan manusia menguasai cipataan dan mengelola bumi. Tugas ini berisi
mandat memelihara bumi (lagi!), bukan mandat mengeksploitasi. Kalau kita gagal
memelihara bumi maka kita gagal dalam tanggung jawab sebagai penatalayan
ciptaan. Kehormatan kita yang khusus atau “hak” bergandengan tangan dengan
“tugas “ kita yang khusus.
Seperti
yang ditafsirkan Singgih, dalam Mazmur 104, bahwa manusia berada dalam urutan
yang sama dengan makhuk lain dan dengan habitatnya. Dia tidak berada di atas
yang lain, melainkan setara dengan yang lain. Jika didialogkan maka mansuaia
adalah khalifah yang menata alam, tetapi dia adalah rapuh (vulnerable) dan
bergantung (dependent) kepada Yahweh, dan karena itu dia adalah juga hasi
tataan ilahi. Manusia yang ingin menata alam dalam rangka menyelamatkan alam,
terlebih dahulu harus sadar bahwa sebelum kita menata alam, sudah ada yang
menatanya terlebih dahul yaitu Yahweh. Ia menatanya dengan adil, sehingga
penataan tersebut memperlihatkan irama yang teratur. Kita manusia termasuk yang
ditata oleh Yahweh sehingga kita bisa melihat tempat kita di dalam alam ini.
Ternyata kita adalah bagian dari alam ini. Memang alam adalah habitat kita,
namun di mazmur 104 habitat it menentukan. Jadi bukan hanya kita yang
menentukan alam, tetapi alam juga menentukan kita. Kalau habitat itu rusak,
kita juga kehilangan tempat kita.[15] Kemudian
jika kita beralih lagi pada kata “kuasa”, seperti yang sudah dibahas
sebelumnya. Yahweh juga mengaruniakan hikmatnya dibalik kuasa yang diberikanNya
kepada manusia. Sehingga dari hikmat tersebut manusia diajak bukan hanya untuk
berkarya dan memelihara tetapi juga menjaga. Jika kita kembali pada tinjauan kita
sebelumnya bahwa Yahweh menjadikan manusia menurut gambar-Nya untuk
memungkinkan hubungan timbal balik antara Ia dan mereka. Maka kita harus
menjaga hubungan ini, sebab Yahweh juga dapat menderita karena ciptaan-Nya
rusak.[16] Karena
realitasnya manusia juga dapat berkuasa atas keinginan mengikuti hati (Kej.
4:7), bahkan ia seharusnya juga dapat hidup benar dan adil seperti Nuh yang
tidak bercela di antara segala orang sezamannya (Kej. 6:9).
Demikianlah
paradigma dari gambaran Yahweh dan kuasa harus diperbaharui. Karena manusia
memiliki pengetahuan untuk menyelamatkan dan menghancurkan. Untuk itu setiap
manusia juga memerlukan pencarian moral dalam dirinya. Selain itu, manusia juga
memerlukan sebuah kedekatan dengan kosmologi dan etika yang berpusatkan pada
manusia (“antroposentrisme” dan “homesentrisme”), sebab dengan demikian juga
kepekaan terhadap seluruh kajian konteks yang telah dikaji sebelumnya akan
hadir dalam diri manusia. Dengan
demikian juga manusia bisa menyadari akan gambaran Yahweh dan kuasa yang
sebenarnya, yakni berkarya, memelihara dan menjaga seluruh ciptaan Yahweh. Sebab
ketika itu terjadi maka manusia sudah menyadari di dalam dunia ada nilai
intrinsik atau moralitas antara alam dan manusia.
[1] Christoph Barth
Marrie-Claire Barth-Frommel., ”Teologi Perjanjian Lama Jilid 1”. (Jakarta: BPK.
Gunung Mulia, 2015), h.34
[2] Christoph Barth
Marrie-Claire Barth-Frommel., “Teologi Perjanjian Lama Jilid 1”, Ibid. hlm. 35
[3] Walter Brueggeman, Teologi
Perjanjian Lama, Jilid I, (Maumere : Ledalero, 2009), h.351
[4] Ibid., h.382-383
[5] Walter Brueggeman,
“Teologi Perjanjian Lama, Jilid I”, Ibid., h. 386-388
[6] Ibid., h. 390-391
[7] Walter Brueggeman,
“Teologi Perjanjian Lama, Jilid I”, Ibid., h. 392-395
[8] Emmanuel Gerrit Singgih,
“Sebuah refleksi terhadap Mazmur 8 dan Mazmur 104”, artikel yang belum
diterbitkan. h.3
[9] Walter Brueggeman, “Teologi
Perjanjian Lama, Jilid II”, (Maumere : Ledalero, 2009), h. 798-799
[10] Emmanuel Gerrit Singgih,
“Sebuah refleksi terhadap Mazmur 8 dan Mazmur 104”, Ibid., h.3
[11] Christoph Barth
Marrie-Claire Barth-Frommel., “Teologi Perjanjian Lama Jilid 1”, Ibid h. 51-52
[12] Walter Brueggeman,
T”eologi Perjanjian Lama, Jilid II”, Ibid. h. 802
[13] Walter Brueggeman,
“Teologi Perjanjian Lama”, Jilid II, Ibid. h. 803
[14] Christoph Barth
Marrie-Claire Barth-Frommel., “Teologi Perjanjian Lama Jilid 1”, Ibid. h.35
[15] Emmanuel Gerrit Singgih,
“Sebuah refleksi terhadap Mazmur 8 dan Mazmur 104”, Ibid., h.8
[16] Christoph Barth Marrie-Claire Barth-Frommel.,
“Teologi Perjanjian Lama Jilid 1”, Ibid. h.50
Komentar
Posting Komentar