Refleksi 2 Petrus 3:17-18
Sebelum saya menuliskan bahan ini, saya teringat akan
film 2012, film yang sempat menjadi tranding
di tahun 2009. Bahkan karena kemunculannya, orang-orang mulai ikut-ikutan
meramal dan membuat rangkaian pembuktian untuk memastikan bahwa hal ini akan
terjadi. Sedang film ini sendiri muncul ketika tahun 2009, sehingga dapat
dibayangkan bagaimana film ini terus menghantui pemikiran-pemikiran orang-orang
yang telah menontonnya. Sampai-sampai beberapa Gereja juga memanfaatkan hal ini
untuk memperbanyak jemaat-jemaatnya. Sekarang, setelah kita melewati tahun
tersebut, muncul juga ramalan-ramalan tentang akhir zaman. Terlebih berita-berita sekarang ini
mengungkapkan bahwa salah satu bongkahan es di kutub telah mencair dan pecah, iklim yang
semakin menggilakan, gunung-gunung yang mulai meletus. Situasi-situasi yang
mendukung untuk Gereja melakukan kebaktian kebaktian yang menceritakan tentang
akhir zaman dan akhir dari kehidupan. Seolah-olah Gereja juga masuk ke dalamnya
dan ingin mengatakan bahwa apa yang telah diteliti penelitian memang benar dan
kita harus bersiap-siap olehnya. Bukan berarti bahwa kegiatan itu tidak
penting. Penting, hanya saja pada
bahan ini kita diingatkan kembali tentang situasi
yang tampaknya mirip dengan keadaan yang lalu. Tapi dengan posisi yang berbeda.
Bila beberapa orang saat ini sedang
sibuk untuk membayangkan tentang kedatangan Yesus dan segala macamnya. Maka
situasi dalam teks Petrus 2 juga mengalaminya. Hanya saja kala itu, orang-orang
Kristen sedang dicela dengan anggapan bahwa penantian yang dilakukan oleh orang-orang kristen kala itu adalah
penantian yang sia-sia. Karena menurut pengetahuan orang-orang yang mencela
orang Kristen pada masa itu, Yesus tidak akan datang untuk yang kedua kalinya.
Maka dari itu, beberapa dari penafsir mengungkapkan bahwa apa yang dituliskan
dalam petrus 2 dimaksudkan untuk menyampaikan pngetahuan yang salah ini harus
diselesaikan dengan pengetahuan yang benar. Seperti halnya bahan teks yang
menjadi bahan renungan kita hari ini. Penulis sedang mengingatkan sekaligus
menguatkan orang-orang Kristen masa itu bahwa Allah tidak menghitung waktu atau
masa seperti yang dilakukan oleh manusia. Satu hari seperti seribu tahun dan
seribu tahun seperti satu hari bagi Allah. Ini menunjukkan bahwa saat
terjadinya masa itu (kedatangan Yesus kedua kalinya) bisa meleset dari
perhitungan manusia. Tapi harusnya itu bukan menjadi satu masalah, karena
penundaan justru bermakna belas kasihan kepada manusia karena memberi
kesempatan lebih panjang bagi manusia yang berdosa untuk bertobat (3:9). Namun,
Kristus akan kembali pada waktu yang tidak disangka sama seperti pencuri di
waktu malam.
Tadi saya mengungkapkan bahwa
posisinya berbeda, mengapa? Karena situasi saat ini beberapa oknum memakainya
bukan sebagai alat untuk mencela orang-orang yang terus berpengharapan akan
kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Tetapi, mereka justru memakai situasi ini
untuk memanfaatkan orang-orang tersebut datang ke Gerejanya, atau percaya
kepadanya dan memahami bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran.
Sehingga, bila dimasa teks kita ada perasaan yang jengkel akan celaan yang
datang. Maka, masa sekarang orang-orang yang berpengharapan akan kedatangan
Yesus justru sedang ditakut-takuti. Dampaknya, ibadah dan penyembahan yang
dilakukan oleh orang-orang tersebut, hanya karena takut neraka dan ingin akan surga. Atau lebih tepatnya,
ibadah yang kita lakukan adalah ibadah yang tidak tulus. Padahal, Ibadah itu harusnya
merupakan ungkapan tulus kita kepada Tuhan. Selayaknya seorang yang mencintai,
tidak mengharapkan balasan. Terlebih memaksakan apa yang diharapkan. Karena itu
dalam masa-masa sekarang ini kita justru diingatkan kembali bahwa kehidupan ini membawa kita untuk memahami tentang apa itu kesempatan. Karena waktu
yang saat ini diberikan Tuhan kepada kita adalah bentuk kasih setianya yang
mengizinkan kita untuk selalu memperbaiki kesalahan apa yang telah kita
lakukan, atau lebih daripada itu waktu yang kita nikmati hari lepas hari adalah
waktu yang diberikan oleh Tuhan untuk kita selalu melakukan yang terbaik.
Seorang yang sedang lapar, akan menggap semua
makan itu adalah enak. Padahal setelah ia memakannya mungkin ia akan mengkritik
makanan tersebut. Tapi ketika ia sedang makan, gak ada satupun kritikan yang
muncul dari mulutnya. Sama halnya seperti seorang yang sedang sakit dan divonis
oleh dokter bahwa kehidupannya tidak lama lagi. Ia akan jauh lebih menghargai
kehidupan dibandingkan dengan orang yang sedang sehat. Namun pertannyaannya,
apa kita harus lapar dulu baru bisa menikmati setiap makanan yang diberikan
kepada kita? Apakah setiap kita harus diukur dulu umurnya baru kita mau untuk lebih
menghargai tentang setiap detik yang telah kita lewati.
Saat ini
kita hidup di zaman penantian kedatangan Yesus yang kedua kalinya dan kita
sedang diperhadapkan dengan begitu banyaknya pengajaran yang kurang jelas,
bahkan menyesatkan. Ada yang menakut-nakuti, ada pula yang meremehkan, mengejek
serta meragukan akan kedatanganNya, tetapi ada pula yang menyambut dengan
mempersiapkan diri dalam kekudusan hidup. Sedang
kita seperti apa?
Komentar
Posting Komentar