Faktanya,
belum semua gereja-gereja Protestan dan denominasi-denominasi gereja dan
aliran-aliran gereja-gereja lainnya (di luar aliran gereja arus utama
atau mainstream) melaksanakan kebaktian/misa (ibadah) Rabu Abu. Apa
sebenarnya Rabu Abu itu?
Pada
kalender liturgi (tahun gerejawi) dalam dunia Kristen Barat, hari Rabu Abu (Ash
Wednesday) merupakan hari pertama Masa Prapaskah (Lent), dan jatuh pada hari
ke-40 (tidak termasuk hari Minggu) sebelum hari raya Paskah. Oleh karena
tanggal jatuhnya hari raya Paskah berubah-ubah sesuai kalender liturgi, maka
hari Rabu Abu pun tidak tetap tanggalnya – pada tahun 2024 ini jatuh pada
tanggal 14 Febuari 2024.
Kebaktian
Rabu Abu sebenarnya sudah menjadi bagian dari Liturgi Gerejawi. Dalam Liturgi
Gerejawi itu, Rabu Abu mengawali dimulainya masa Prapaskah di mana umat
mengonfirmasikan pertobatan dengan mengingat kembali perjalanan Yesus menuju
penyalibannya.
Penggunaan
abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan,
ketidakabadian, dan penyesalan/pertobatan. Sebagai contoh, dalam Buku Ester,
Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja
Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam
kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan
abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6).
Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM)
menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa
dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3).
Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan
dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan
raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6).
Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek
penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.
Yesus
Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak
untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan
mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Celakalah
engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon
terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama
mereka bertobat dan berkabung.” (Mat 11:21)
Gereja
Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam
bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa
yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain
kabung dan abu.” Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal,
menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama
Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu
untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang
diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala
mereka setelah pengakuan.
Dalam
abad pertengahan (setidak-tidaknya abad VIII), mereka yang menghadapi ajal
dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan
memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan
“Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Setelah
memercikkan air suci, imam bertanya, “Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu
sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?” Yang mana
akan dijawab orang tersebut dengan, “Saya puas.” Dalam contoh-contoh di atas,
tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian, dan tobat.
Akhirnya,
abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan
selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paska. Ritual perayaan
“Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang
diterbitkan sekitar abad VIII. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon
bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, “Kita membaca dalam kitab-kitab, baik
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali
dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain
kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaska
kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib
menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaska.” Setidak-tidaknya sejak
abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa
tobat Prapaska, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa
kita.
Tetapi, seperti yang telah
disinggung sebelumnya, bahwa belum semua Gereja-gereja protestan melaksanakan
kebaktian ini. Salah satunya yakni gereja saya sendiri, tentu dengan berbagai
bentuk landasan-landasan yang cukup kuat. Namun tidak menutup peluang bahwa gereja
ini akan membicarakannya di kemudian hari mengenai Ibadah Rabu Abu ini.
Sekiranya pula, itu tidak mengurangi semangat kita untuk semakin menghayati dan
menjalani masa prapaskah ini. Tuhan Yesus memberkati.
Komentar
Posting Komentar