Calonteolog.com
menyadari bahwa Alkitab memang bukan buku teks ekonomi, juga bukan buku teks
ilmu-ilmu lain, bahkan bukan pula buku teks dogma dan teologi. Dengan
mengatakan demikian artinya kita menyadari bahwa Alkitab tidak berisikan uraian
deskriptif, analitis, dan sistematis tentang hal-hal tadi seperti yang kita
temukan dalam buku-buku sumber pelajaran. Namun mengatakan demikian tidak harus
berarti bahwa kita tidak dapat melakukan abstraksi untuk menemukan pola-pola
wawasan dan petunjuk-petunjuk prinsipil tentang berbagai segi kehidupan di
dunia ini dari dalam isi Alkitab.
Bila
dari Alkitab kita dapat menarik prinsip-prinsip dogmatis, seyogianya tentang
hal- hal yang mencakup segi ekonomi kehidupan manusia pun dapat kita simpulkan
dari firman Allah ini sebab Alkitab adalah firman Allah dalam kata-kata
manusia, yaitu kata-kata yang lahir untuk dan dari dalam pergumulan-pergumulan
nyata kehidupan dengan berbagai aspeknya. Seperti halnya ketika Allah bersabda,
Allah tidak saja membentangkan diri-Nya kepada manusia tetapi juga
membentangkan bagaimana adanya dan bagaimana harusnya manusia, demikianlah isi
Alkitab adalah sekaligus prinsip-prinsip spiritual teologis yang mewujud nyata
di dalam segi- segi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politis, pendidikan,
dlsb. Oleh karena kita tidak hendak mengambil model-model sistem ekonomi secara
rinci yang berasal dari situasi masyarakat nomad dan agraris, melainkan
prinsip-prinsip dasar etika ekonomi dan moral bisnis, tentunya dengan dasar ini
Gereja harusnya lebih leluasa dalam menyambut dan melihat perkembangan ekonomi
saat ini.
Hal penting yang calonteolog.com pikir perlu untuk kita
sadari bahwa “Kreativitas” ada di dalam diri setiap orang. Tapi tidak semua
orang mau mempergunakannya. Sebagian orang terlalu malas untuk mengolah
kreativitas yang ada di dalam mereka. Kemalasan tidak akan pernah bisa membawa
orang mengalami peningkatan dalam hidupnya. Yang ada malah keruntuhan, seperti
apa yang dikatakan Pengkotbah. "Oleh karena kemalasan runtuhlah atap, dan
oleh karena kelambanan tangan bocorlah rumah." (Pengkotbah 10:18).
Mengenai bagaimana cara dan proses Gereja menyambut Ekonomi Kreatif ini Mazmur
19:8c menyatakan bahwa Tuhan akan memberikan hikmat kepada orang yang tak
berpengalaman. Ya, sedemikianlah
Gereja harus optimis dalam melihat perkembangan Ekonomi saat ini.
Dalam pencarian calonteolog.com, ditemukan suatu
pemahaman dari Coleman dan Hamman, yakni bahwa berpikir kreatif itu tentang, berpikir yang menghasilkan metode baru ,
konsep baru ,pengertian baru ,perencanaan baru dan seni baru. Rawlinston
menjelaskan ,bahwa berpikir kreatif dinamakan berpikir divergen atau lateral ,
yaitu menghubungkan ide atau hal-hal yang seelumnya tidak berhubungan .
Dengan kata lain mereka yang berpikir kreatif dikarenakan
ada kegiatan yang kuat pada pribadinya untuk menghasilkan suatu kemajuan ,
akibat dari adanya dorongan untuk berprestasi yang tinggi serta adanya
kesadaran akan pentingnya sesuatu yang baru tersebut.
Namun calonteolog.com juga menyadari bahwa terbentuknya
sebuah Ekonomi Kreatif. Tentu bukan sebagai kegiatan kreatif yang hanya
diadakan secara cuma-cuma. Tetapi kegiatan itu dilihat dari faktor produksi
utama dari kegiatan ekonomi kreatif sendiri adalah Sumber Daya Manusia (SDM)
nya. Lebih lanjut, sumber daya utamanya adalah kreativitas si pelakunya. Yang
terakhir dan tidak kalah penting jika bicara soal Ekonomi keratif adalah nilai
tambah dari segi nilai dan ekonomi. Semisal kegiatan pertanian yang orang tua
dulu katakana agar tidak menyentuhnya lagi, karena pekerjaan tersebut terlalu
melelahkan. Melalui konsep Smart Farming,
kegiatan pertanian seharusnya bisa menambah keyakinan orang tua untuk mengajak
generasi saat ini untuk ikut ambil bagian. Sehingga kegiatan-kegiatan pertanian
ini tidak menjadi pilihan terakhir generasi-generasi muda saat ini untuk berkreasi
secara kreatif.
Untuk itu, Revolusi mental juga harus dijalankan dalam
diri Gereja, mulai dari mengubah mindset negatif dan ketakutan terhadap Ekonomi
Kreatif yang berkembang saat ini yakni suatu paradigma bahwa teknologi itu
sulit.
Sebab, SDM kita saat ini lebih fleksibel dalam beradaptasi
dengan teknologi baru. Khususnya anak-anak milenial. Namun benarkah bahwa saudara
saat ini sudah optimal dalam menggunakan fasilitas teknologi yang didapat saat
ini atau justru Gereja memilih untuk pasif pada perkembangan teknologi yang “mau-tidak
mau” harus diikuti oleh Gereja.
Bayangkan saja, menurut data dari BPS 4 juta pertahun
penduduk Indonesia semakin menaik. Bila Gereja tetap pasif dalam perkembangan
ekonomi saat ini. Calonteolog.com ragu, jangan-jangan Gereja tidak lagi berhikmat
dalam melihat situasi dan perkembangan yang ada. Atau, Gereja saat ini masuk
dalam golongan orang-orang yang selalu menolak kedatangan tenaga Asing, namun
tidak bisa berbuat apa-apa ketika tanggung jawab itu diberikan kepadanya.
Komentar
Posting Komentar