Satu hal yang calonteolog.com pahami bahwa ketika seseorang benar.
Tidak berarti ia berhak untuk melakukan apapun kepada yang salah. Sebab dalam
kebenaran setiap orang, juga terdapat kesalahan dalam dirinya. Demikian juga
sebaliknya, dalam kesalahan setiap orang, juga terdapat kebenaran dalam dirinya
yang harus kita hargai. Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita mendiamkan
kesalahan tersebut? Tidak!
Pernah calonteolog.com membaca suatu kisah mengenai Hakim Hakim
Agung Byron White yang sedang berada di
Salt Lake City untuk berpidato, ia diserang oleh seorang pria yang marah.
Tersangka mengatakan bahwa ia menyerang hakim itu karena keputusan-keputusannya
di Pengadilan Tinggi. Ia berkata, "Hakim White menyebabkan sumpah serapah
memasuki ruang keluarga saya melalui televisi." Untuk merasionalisasi
serangannya, ia melanjutkan, "Satu-satunya cara yang saya ketahui untuk
menghentikan hal itu adalah dengan mendatangi sumbernya."
Bagi calonteolog.com,Pria yang marah itu memiliki kebenaran
yang sedang ia perjuangkan. Karena itu, ia menyuarakan pendapatnya dengan
keras. Ia bahkan dibenarkan untuk marah, jika ia yakin keputusan pengadilan
mendorong imoralitas. Tetapi semua ada aturan dan prosedurnya. Sikap yang dipilih
pria itu hanya memperlihatkan ungkapan kemarahan dan itu sama buruknya dengan apa
yang dilakukan oleh Hakim tersebut pada keputusan pengadilan yang salah.
Kesempatan ini, calonteolog.com berefleksi dari Efesus 4:26
dan Mazmur 37:8. Apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain, terkadang
sering membangkit amarah dalam diri calonteolog.com. Bahkan tidak jarang
calonteolog.com menjadi marah besar pada kasus-kasus ketidakadilan. Tapi,
calonteolog.com diberikan satu pengkauan sebagai manusia, bahwa saudara dan
calonteolog.com juga harus berhati-hati untuk tidak bereaksi terlalu cepat dan
berlebihan, sampai kehilangan kendali.
Untuk itu, bagi calonteolog.com, seseorang perlu melihat
segala tindakan orang lain kepada kita dengan nilai yang lebih positif dan
berhenti untuk berbicara tentang segala perbuatan baik yang kita lakukan pada
orang lain. Terkadang kedua hal ini yang sering kali kita lupakan,
sehingga membuat diri kita lekas untuk marah.
Karena calonteolog.com
pikir harusnya emosi berkembang untuk satu tujuan spesifik: membuat kita hidup
dan membuatnya sedikit lebih baik. Karena itu, emosi menjadi mekanisme umpan
balik yang memberitahukan kepada kita untuk melihat sesuatu yang datang kepada
kita itu sepertinya benar atau salah untuk kita lakukan.
Seperti halnya rasa sakit akibat menyentuh kompor yang panas,
mengajarkan kepada kita untuk tidak menyentuhnya lagi, kesedihan karena kesepian
mengajarkan kepada saudara untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat saudara
merasa sangat kesepian lagi. Emosi hanyalah sinya biologis yang dirancang oleh
Tuhan untuk ke perubahan yang seharusnya bermanfaat. Karena itu marah yang
merupakan bagian dari emosi menjadi tanda bagi kita yang hidup dan juga harusnya
memiliki manfaat bagi pengembangan diri kita.
Untuk itu, sekalipun sesuatu terasa enak, tidak berarti itu
baik. Hanya karena sesuatu terasa sangat menggelisahkan dan tidak menguntungkan
kita, bukan berarti itu buruk. Emosi harusnya menjadi penanda untuk kita, anjuran
yang disampaikan bukanlah sebuah perintah. Sehingga dengan pemahaman yang
demikian kita mempercayai secara langsung emosi kita sendiri, baik itu marah
ataupun perasaan yang lainnya. Malah bagi calonteolgo.com kita perlu untuk
selalu mempertanyakan perasaan kita masing-masing. Sehingga kita dapat lebih
matang dalam melakukan reaksi atas emosi yang timbul dalam diri kita, kepada
orang lain.
Tentu, hal ini dengan jelas mengatakan kepada para pembaca. Bukan
marahnya yang salah. Tapi respon apa yang terjadi dan kita lakukan setelahnya
menentukan, yang akhirnya menentukan marah itu baik atau sebenarnya haram untuk
kita lakukan.
Dengan pengertian yang demikian, diharapkan saudara dapat lebih
menguasai emosi ataupun perasaan yang ada dalam diri saudara. Tanpa harus
mendiamkan ketidakadilan ataupun kesalahan yang dilakukan oleh orang lain pada saudara.
Seperti halnya Yesus yang dalam manusiawinya tetap memiliki perasaan marah dan
tidak membiarkan ketidakadilan terjadi bagi sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar