Beberapa waktu terakhir ini, keagamaan beberapa orang di Indonesia
sedang diuji. Ada begitu banyak orang yang harus kehilangan momen bersama
dengan keluarganya, hanya karena terpancing oleh emosi sesaat yang dikeluarkan
oleh kalangan politikus. Emosi mereka dibakar dengan ajakan untuk menghentikan
kriminalisasi para tokoh agamanya; membela Tuhan; melawan pemerintahan yang
tidak sah dan tidak adil. Padahal semuanya itu adalah tuduhan-tuduhan yang
didasari oleh kepentingan. Namun, kita justru mudah terpancing olehnya.
Seolah-olah ibadah yang selama ini kita lakukan menjadi sia-sia bila tidak
melakukan hal tersebut. Apalagi penyematan yang dilakukan oleh orang-orang
kepada kita sebagai “Orang yang beragama”, justru membuat kita semakin
terpancing dan gelisah bila tidak menerima ajakan itu.
Saudaraku, bukankah ini sering kali juga terjadi dalam keseharian kita. Ketika
sekeliling kita menyematkan status sosial dan berbagai macam pujian untuk kita,
justru menjerumuskan saudara menjadi seorang yang tinggi hati. Sulit melakukan
ini dan itu, harus menerima ajakan ini dan itu. Ketakutan akan kehilangan
status sosial dan pujian tersebut menjadi penghalang untuk kita mnejadi pribadi
yang penuh kasih, terlebih rendah hati dalam melayani sekeliling kita.
Sederhananya seperti ini, seorang laki-laki brewok dan disematkan
sebagai lelaki masukulin akan merasa minder mendengarkan lagu-lagu cengeng ataupun
nonton beberapa film-film romantis. Contoh lainnya juga terjadi pada salah satu
teman calonteolog.com yang merupakan calon pendeta. Saat dia sedang persekutuan
bersama mentornya di dalam rumah, tepatnya saat acara makan bersama yang
diberikan setelah berakhirnya persekutuan. Calon pendeta itu ingin membantu
yang punya rumah untuk mencuci piringnya karena dia merasa dirinya pantas untuk
melakukannya, terlebih anggapan seorang perempuan yang harus melakukan
pekerjaan dapur di sukunya. Tetapi mentornya yang juga seorang pendeta
perempuan malah tidak mengizinkannya. Dengan anggapan bahwa seorang pendeta,
sangatlah tidak diizinkan untuk melakukan hal demikian. Entah,
konstruksi darimana yang membuat hal ini bisa terus hidup. Namun, demikianlah
yang sering terjadi dan terlihat di banyak kasus.
Ya, demikianlah terkadang status sosial membuat beberapa orang sulit
untuk mengasihi dan merendahkan hatinya, terlebih dalam melakukan beberapa
bentuk pelayanan-pelayanan kecil. Sudah terbiasa dengan pesona-pesona yang
didapatkan dari pujian-pujian orang lain, sehingga bila pesona yang begitu
terlihat eksekutif itu dipaksakan untuk melakukan pekerjaan atau pelayanan,
malah memunculkan ketakutan akan kehilangan status sosial tersebut. Sehingga menjadi
sungkan atau jadi berat hati untuk melakukannya.
Padahal setiap orang tidak perlu mencemaskan harga dirinya,
sebab sekalipun saudara merendahkan hatimu. Bukan berarti saudara
telah direndahkan oleh orang lain. Selayaknya seorang Bill Gates yang
mengantri untuk membeli burger, tidak membuat dirinya direndahkan oleh orang lain,
justru mendapati tuaian dari banyak orang.
Rasa-rasanya, demikianlah sukacita yang diharapkan oleh Paulus terjadi
ketika melihat ada sikap yang mau saling merendahkan hati dalam diri jemaat di
Filipi, ketika mengatakan “…..sempurnakalah sukacitaku……” (lih. Filipi
2:1-11). Sebab hanya hal itu yang membuat Paulus merasa sungguh-sungguh
bahagia, bahkan ketika nantinya harus meninggalkan pelayanannya di Filipi.
Karena sia-sialah persekutuan orang-orang percaya bila tidak ada saling merendahkan
hati didalamnya. Selayaknya Yesus yang meninggalkan para murid-muridnya,
sempurna Allah kita juga semakin sempurna karena sikap rendah hati dari setiap
kita yang mau melayani dan meneruskan misi Allah. Karena itu, berdamailah
dengan harga dirimu, berdamailah dengan status sosialmu. Ketika hatimu damai,
saudara bisa menerima semua ketakutan dan kegelisahan yang muncul ketika
saudara hendak merendahkan hatimu.
Hal kedua dalam refleksi ini, Calonteolog.com dapatkan ketika masa
dimana para murid-murid yang terpesona melihat Yesus yang membuat mereka selalu
memandang ke atas, sembari melepas kepergian Yesus naik ke Surga. Sampai dua
orang yang berpakaian putih menegur mereka untuk tidak lagi melihat ke atas
langit (Lih. Kis 1:10-11)
Saudaraku, kekaguman pada Yesus harusnya tidak membuat kita selalu
memandang ke atas seperti para murid yang terlena pada pesona Yesus dan
melupakan sekitar dan kenyataannya. Sebab hal ini terkadang yang membuat
kita enggan dan sulit untuk merendahkan hati kepada banyak orang. Bukan hanya
karena sekedar ego kita yang berlebihan seperti poin sebelumnya. Tapi sulitnya
kita melepaskan status kita dan sadar pada situasi dan kenyataan dimana kita
sedang berada. Bayangkan saja, betapa banyak konflik yang terjadi dalam Gereja
atau Rumah Tangga hanya karena dia lupa menjadi apa seharusnya dirinya ditempat
tersebut. Seorang yang terbiasa mengatur dan memimpin didalam kesehariannya
lupa bahwa dia sedang melayani di dalam Gereja. Seorang yang terbiasa
mendapatkan penghormatan dan pujian diluar Rumah, lupa bahwa orang-orang
didalam rumahnya juga membutuhkan hal sama keluar dari sikapnya.
Bahkan satu peristiwa yang sampai sekarang membuat calonteolog.com tidak
habis pikir, bisa terjadi di kalangan orang-orang Kristiani di tempat calonteolog.com
dulu pernah melayani. Peristiwa itu nyata dilihat ketika kegiatan Gereja
diberlangsungkan di suatu WISMA. Kala itu, semua jemaat sedang menyantap
makanannya di atas kursi dan meja didepannya. Namun tidak dengan salah satu
bapak dan anaknya yang duduk dilesehan, tepat didepan meja makan orang-orang
Gereja lainnya duduk dan menyantap makanannya. Memang benar, bahwa kursi saat
itu sudah tidak ada dan tersusun rapi disudut aula tersebut. Tapi, tidak ada
satupun terlihat oleh mata calonteolog.com yang menawarkan kursi kepadanya,
karena sedang menikmati santapan makanan yang ada didepannya dan melupakan
kenyataan yang ada didepannya.
Refleksi penutup dalam tulisan ini, muncul dari perasaan kehilangan para
murid dengan perginya Yesus dari antara mereka di kehidupan setelahnya.
Perasaan yang secara manusia membuat beberapa diantara kita sering kali merasa
bingung dan hilang arah. Ya, kala itu memang mereka merasakan
semuanya. Namun, setelah ia menyadari
akan kehilangan tersebut, para murid justru berkembang pesat lewat perasaan
itu. mereka yang tadinya peragu, sulit mengerti, emosional dan bahkan sulit
untuk merendahkan hatinya, kemudian menjadi pejuang-pejuang pewarta cinta kasih
yang kokoh dan tangguh. Saudaraku, adakah respon yang sama juga terjadi
pada kita sekalian?
Calonteolog.com sering kali melihat betapa banyak orang yang harus
dihilangkan/menghilangkan dirinya karena sikap dan perlakuan kita di dalam
Gereja. Adakah hal yang sama seperti refleksi para murid semakin membuat kita
mengevaluasi diri dan tidak lagi melihat kesalahan orang lain sambil
meninggikan hati kita? Adakah perasaan serupa ada dalam diri kita? Atau
peristiwa-peristiwa kehilangan itu hanya lewat begitu saja, dan membuat kita
tidak pernah mengevaluasi diri dan berkembang.
Bila saudara mau, merefleksikan bersama dengan calonteolog.com. Maka,
sekarang evaluasilah dirimu. Berhentilah untuk selalu membenarkan diri dan
memuaskan keinginan pribadimu. Rendah hatilah, lakukan itu kepada sekelilingmu,
sebagai bentuk pelayananmu dan pengakuanmu pada Yesus
Kristus sebagai Tuhan. Ya, Sampai saudara lupa untuk melayani
keinginan diri sendiri dan mementingkan status yang saudara miliki saat ini. Sama
seperti Yesus yang tidak mementingkan status ke-Ilahian-Nya dalam melayani; Dan
seperti Yesus yang tidak pernah membiarkan diri kita sendirian dalam menjalani
kehidupan ini. Demikian pula Yesus juga mengharapkan setiap dari kita melakukan
hal yang sama untuk melayani, mengasihi, dan memberikan pesona Yesus dalam
sikap doa dan pelayanan kita kepada sesama ciptaan.
Lepaskan Semua Status Sosialmu, Sadarlah dan lihatlah sekelilingmu, lalu kasihi mereka seperti Yesus mengasihimu
Komentar
Posting Komentar