========================
1 Raja-raja 4:29-34
Betapa banyak
orang-orang Kristen menyebut Salomo sebagai seorang berhikmat dalam
kehidupannya. Tentu alasannya sangatlah jelas, bayangkan; Pertama, Salomo
sukses mengatur pemerintahannya dengan menempatkan pejabat-pejabat pusat yang
tepat, sesuai posisi masing-masing (1-6), demikian juga dengan
pejabat-pejabat daerah (7-20). Dengan memilih orang-orang yang
tepat, Salomo bisa membangun kerajaan dan bangsanya menjadi makmur
dan aman sentosa (20-21).
Kedua,
pemerintahan Salomo mencakup wilayah yang pernah dinubuatkan Allah
kepada nenek moyangnya, Abraham (21, Kej. 15:18). Jelas ini merupakan kasih
karunia Tuhan karena Salomo menjalankan pemerintahannya mengikuti hikmat yang
Tuhan karuniakan. Gambaran kekayaan Salomo di ayat 22-28 yang mengagumkan
menjadi bukti tentang berkat Tuhan yang melimpah atasnya.
Ketiga, bukan
hanya hikmat dalam memerintah bangsa, Tuhan juga mengaruniakan Salomo hikmat
dalam berbagai aspek kehidupan (29-33). Keragaman dan kekayaan intelektual
maupun hikmat Salomo merupakan sesuatu yang mencengangkan. Sesuatu yang tidak
banyak dimiliki oleh penguasa-penguasa yang pernah hidup dalam catatan sejarah
dunia. Sedemikian berhikmatnya Salomo sehingga namanya harum di manca negara.
Ini mengundang kekaguman bahkan para raja tunduk kepadanya.
Tapi, bagaimana
dengan orang-orang percaya yang tidak pernah menerima kebesaran-kebesaran
seprti Salomo dapatkan dalam hidupnya ? Bagaimana dengan orang-orang percaya
yang harus mati martir, justru karena namaNya? Apakah mereka yang tidak
mendapatkan kesuksesan seperti Salomo disebut sebagai seorang tidak berhikmat?
Faktanya, calonteolog.com tidak pernah mendengar orang Kristen mengatakan bahwa
Stefanus yang mati dirajam oleh orang-orang Yahudi, sebagai seorang berhikmat.
Apakah, setiap
kesuksesan disebut sebagai buah dari hikmat? Lalu, apakah kegagalan merupakan
buah dari tidak berhikmat?
Bayangkan, suatu
hari saudara mengikuti tes dalam bidang yang diminati. Bahkan saudara telah
melakukan persiapan dengan begitu matang. Lalu, Sang Guru datang mengembalikan
hasil tes saudara yang mendapatkan nilai C+. Kemudian dalam satu perjalanan
pulang, dihari itu pula saudara terkena tilang karena melanggar parkir. Kedua
hal itu membuat saudara ingin mencari tempat untuk bercerita. Sahabat saudara
menjadi pilihan terbaik, untuk bercerita saat itu. Tetapi saat saudara mencoba
menelponnya, dia justru menolak untuk mendengarnya.
Bagi
calonteolog.com, mereka yang tidak berhikmat akan berkata; “Hidupku
menyedihkan”; “Aku tidak punya kehidupan”; “Orang-orang menjauhiku” ; “Dunia
telah membuangku”; “Tidak ada yang mencintaiku”; “Kadilan tidak diberikan
kepada orang sepertiku”; “Aku orang tolol.Tidak ada hal baik yang pernah
terjadi padauk”; “Akulah orang yang paling sial di muka bumi.”
Sebelum, saudara
mengeluh lebih banyak. Mari kita berfikir bersama, apakah kejadian tersebut
membawa kematian dan kehancuran? Atau ini hanya nilai buruk, kena tilang
parkir, dan pembicaraan tidak enak lewat telepon?
Banyak diantara
kita, justru menjadi seorang optimis dan berhikmat saat tidak mengalami
kegagalan. Ketika kegagalan tiba, kita justru menjadi manusia paling rendah
dengan tingkat pesimis yang sangat tinggi. Tentu, orang-orang demikian ini
dapat dikatakan tidak berhikmat.
Lalu bagaimana,
bila orang-orang gagal tersebut berkata dalam dirinya, “ketika menyelesaikan
tes itu, saya beruntung tidak mendapatkan F. Saya masih bisa berusaha untuk
mendapatkan nilai lebih daripada ini, nanti.” “Ini hanya sekedar surat tilang,
bukan kecelakaan mobil. Saya bisa memperbaiki kesalahan saya nanti” “Sahabat
saya tidak menolak dengan kasar, dia menolaknya secara halus karena kesibukan
yang sedang dia lakukan. Aku harus memahaminya pula” “Tidak ada kejadian
mengerikan dalam hidup ini, waktu akan membantuku untuk memperbaikinya”
Apakah
orang-orang yang berfikir demikian ini, dikatakan tidak lagi berhikmat?
Bukankah upaya untuk keluar dari kegagalan itu juga disebut sebagai HIKMAT.
Bahkan tidak jarang pula, kegagalan dalam pandangan manusia menjadi kemenangan
untuk Tuhan menghindarkanmu dari kehancuran. Bukankah, ketika Stefanus dirajam
dengan batu, tingkap-tingkap langit terbuka dan membawa dirinya sampai kepada
kekekalan.
Salomo yang
disebut berhikmat, menikah dengan banyak perempuan asing. Pada masa tuanya, ia
mendirikan altar bagi ilah-ilah istrinya (1 Raja-raja 11:1-1). Pertanyaannya,
adakah saudara menyebut Salomo sebagai raja yang tidak berhikmat? Lalu apakah seorang
yang pernah gagal, masih mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang
berhikmat?
Apakah Hikmat
itu sifatnya tetap? Apakah hikmat itu bawaan (nature) atau hasil binaan
(nature), gen atau lingkungan? Tidak, hikmat itu selalu berbicara tentang proses
setiap orang untuk terus menerus belajar dalam kehidupannya. Tuhan beri hikmat,
kalau tidak kita terima bagaimana bisa berkembang? Tuhan beri hikmat, tapi kalau
hanya berhenti pada satu masa saja, itu juga hanya menghilangkan hikmat.
Manusia mungkin
memulai dengan doa dan temperamen bakat yang berbeda, tetapi jelas bahwa
pengalaman, latihan dan upaya personal menentukan jalan mereka selanjutnya.
Satu hal membuat
seorang Salomo menjadi tidak lagi berhikmat, yakni mengakhiri proses
pembelajaran. Satu hal sama juga membuat seorang dalam kegagalannya disebut
tidak lagi berhikmat, yakni mengakhiri proses pembelajarannya. Ia menyerah pada
keadaan dan berhenti utnuk mengembangkan dirinya sendiri.
Karena itu,
dalam setiap waktu setiap orang perlu mengambil waktu untuk JEDA dan
mengevaluasi diri. Agar dirinya kembali bisa terus diperbaharui dan
dikembangkan. Tapi apakah, semua evaluasi juga menghasilkan hal serupa? Tidak!
Ada banyak
diantara kita, mampu untuk mengevaluasi diri. Setelahnya menjadi takut dengan
tantangan. Saudara mengambil waktu jeda untuk mengetahui banyak informasi
tentang kekurangan-kekurang saudara saat mengalami kegagalan. Informasi
tersebut menjadi kebutuhan penting untuk saduara dapat belajar secara obyektif.
Tapi, ketika saudara mengetahui semua hal tersebut, saudara hanya sedang membesar-besarkan
kelebihan saudara, lalu mengabaikan kekurangan yang saudara miliki. Bahkan
saudara, menjadi berhenti untuk mencoba kembali. Alhasil, evaluasi diri tidak
lagi membuat saudara menjadi pribadi yang berhikmat.
Sebab, mereka
yang berhikmat tidak buang-buang waktu dengan terus berusaha membuktikan betapa
hebat dirinya. Mereka juga tidak menyembunyikan kekurangan-kekurangannya. Evaluasi
itu baik dan diperlukan. Mengetahui kelebihan dan kekurangan itu juga baik.
Tapi apa setelahnya? Apakah saudara hanya fokus pada kelebihan saudara dan
menyampingkan kelebihan yang ada? Apakah ketika saudara mengetahui kegagalan
terjadi karena kekurangan yang saudara miliki lalu menjadi seorang pesimis dan
menyerah? Atau saudara lebih menantang diri untuk mengembangkan kekurangan yang
saudara miliki saat ini. Bukankah kasih Allah begitu sempurna dalam kerapuhan
manusia?
Mereka yang
berhikmat akan bersemangat untuk mengembangkan diri dan tetap melakukannya,
sekalipun (atau khususnya) ketika keadaan tidak berjalan dengan baik. Bahkan
hal ini, memungkinkan mereka yang berhikmat untuk lebih berkembang ketika
mengalami masa-masa paling menantang dalam hidupnya.
Ada orang-orang
terpelajar yang mampu mengungkapkan pandangan mereka tentang masalah-masalah
ilmiah dan berkata-kata dengan penuh hikmat adalah satu hal. Meminta karya Roh
Kudus untuk membantu saudara memahami bagaimana pandangan-pandangan tersebut
berlaku bagi saudara, itulah orang Kristen berhikmat.
Komentar
Posting Komentar