Saudaraku,
adalah suatu kisah mengenai percakapan Gus Dur dan Santrinya. Percakapan yang
dituliskan dalam kesempatan ini, merupakan lanjutan dari pernyataan Gus Dur mengenai iblis bukanlah Atheis. Karena kebingungan, maka si santripun tetap
menyatakan keheranannya. "Masa sih, Gus?"
Gus
Dur : "Lho, kan dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok."
Santri
: "Terus, kesalahan terbesar dia apa?"
Gus
Dur : "Sombong, menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran."
Santri
: "Wah, persis cucunya Nabi Adam juga tuh."
Gus
Dur : "Siapa? Ente?
Santri
: "Bukan. Cucu Nabi Adam yang lain, Gus. Mereka mengaku yang paling bener,
paling sunnah, paling ahli surga. Kalo ada orang lain berbeda pendapat akan
mereka serang. Mereka tuduh kafir, ahli bid'ah, ahli neraka. Orang lain
disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka tidak mau
menghormati orang lain. Kalau sudah marah nih, Gus. Orang-orang ditonjokin,
barang-barang orang lain dirusak, mencuri kitab kitab para ulama. Setelah itu
mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom
segala loh."
Gus
Dur : "Wah, persis Iblis tuh."
Santri
: "Tapi mereka siap mati, Gus. Karena kalo mereka mati nanti masuk surga
katanya."
Gus
Dur : "Siap mati, tapi tidak siap hidup."
Santri
: "Bedanya apa, Gus?"
Gus
Dur : "Orang yang tidak siap hidup itu berarti tidak siap menjalankan
agama."
Santri
: "Lho, kok begitu?"
Gus
Dur : "Nabi Adam dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi
(lihat Al- Baqarah: 37). Bukan waktu di surga."
Santri
: "Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?"
Gus
Dur : "Pinter kamu, Kang!"
Santri
: "Santrinya siapa dulu dong? Gus Dur."
Agama itu bekal untuk hidup, bukan bekal untuk Mati
Membaca
percakapan sederhana ini, bukan tidak mungkin diantara kita akan merasa tidak
cocok. Namun, baik bila kita tidak terburu-buru berhenti pada kata tidak
setuju. Sebab, dalam tulisan ini, kita akan membahas percakapan dan
mengkorelasikannya dengan percakapan
Yesus bersama para muid dalam Matius 24:3-8.
Seperti
kita baca, dalam percakapan tersebut murid-murid datang kepada-Nya untuk
mempertanyakan tentang tanda kedatangan Yesus dan kesudahan dunia. Jawaban
Yesus juga sederhana mengenai pertanyaan ini “Waspada; Berjaga-jaga”. Sebab, seluruh
tanda-tanda yang disampaikan hanyalah permulaan menjelang zaman baru. Dengan
kata lain, penderitaan-penderitaan akan terus berjalan. Tapi itu hanyalah
permulaan, artinya Yesus juga belum tentu datang setelah penderitaan itu
bermunculan. Sebab, seperti yang disampaikan Yesus pada Matius 24:43
kedatanganNya seperti pencuri yang tidak kita ketahui kapan. Untuk itu, poin
penting dalam percakapan ini tentang bagaimana
para muridNya berdiri teguh dalam kebenaran yang telah mereka terima
yaitu Yesus Kristus sendiri. Demikian pula, bahwa Yesus juga mengharapkan agar kita berdiri teguh didalamNya, bukan
ketakutan terhadap kedatanganNya, melainkan bersukacita dalam masa penantian (adven) ini .
Bagaimana Caranya? Bila dalam percakapan Gus Dur dan santrinya, Agamalah yang menjadi
bekal untuk hidup. Maka dalam hal ini, biarlah Firman Tuhan (Yesus) lahir dalam
hati kita dan menjadi bekal untuk kita tetap teguh dalam menjalani kehidupan.
Pertanyaan
selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita; “Lalu bagaimana dengan Akhir
Zaman? Bagaimana dengan semua tanda-tanda yang terlihat nyata dalam kehidupan
dan dinubuatkan Alkitab?”
Faktanya
bagi sebagian orang, percakapan mengenai Akhir Zaman sangatlah menarik. Tapi sebagian
orang juga melihat percakapan tersebut sangatlah menjenuhkan. Tentang bagaimana
posisi saudara dalam menaggapi Akhir Zaman, poin utamanya bukanlah “waktu”,
melainkan seperti yang kita telah bahas sebelumnya, ini tentang bagaimana “kita
berdiri teguh didalamNya, bukan ketakutan terhadap kedatanganNya, melainkan bersukacita dalam masa penantian (adven) ini ”.
Tindakan nyatanya adalah dengan berdiri diantara keduanya, dalam menyikapi Akhir Zaman,
yakni tidak berlebihan dalam membicarakan dan tetap serius dalam memikirkannya.
Mengingat Akhir Zaman merupakan subjek yang mudah disampingkan. Seperti nasihat
yang Yesus sampaikan tentang kemunculan nabi-nabi palsu.
Sikap
demikian ini muncul karena memikirkan tentang Akhir Zaman itu juga ada baik dan
buruknya. Bayangkan saja bila setiap orang memikirkan Akhir Zaman atau
sederhananya pemakaman bagi mereka sendiri; sekalipun menyeramkan. Tapi,
melakukan hal ini akan membuat kita ingat: ingin menjadi jenis orang seperti
apakah kita dan prioritas hidup dan mana yang paling penting untuk kita.
Karena sebagian besar orang, akan lebih mudah berefleksi kembali hidup mereka
setelah terbaring di peti mati, berharap prioritas hidup mereka akan berbeda.
Disisi
lain, bila seseorang tidak berlebihan membicarakan dan membayangkan Akhir Zaman
atau sederhananya tentang kematiannya sendiri, juga ada baiknya. Hidup yang
demikian ini pastilah akan lebih santuy.
Contoh sederhananya, ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak, berkata, “saya
tidak bisa merapikan rumah menjadi sebersih yang saya inginkan sebelum semua
orang meninggalkan rumah di pagi hari.” Ia begitu panik memikirkan
ketidakmampuannya untuk menjadi sempurna sehingga dokternya meresepkan obat
anticemas untuknya. Ia bersikap (dan merasa) seakan ada sepucuk pistol yang
diarahkan ke kepalanya dan pemegang pistol itu menuntut agar ia membereskan
semua piring di meja makan dan melipat semua serbet yang
berserakan-atau tugas-tugas rumah tangga lainnya! Ya, demikianlah bila
seseorang terlalu berlebihan membicarakan dan membayangkan Akhir Zaman. Tidak ada sukacita, dan bebanpun semakin bertambah.
Bila
saudara menyadari, hal yang ingin disampaikan sangatlah sederhana;
bersukacitalah dalam penantian (adven) ini. Sebab tidak ada orang lain selain diri kita
sendirilah yang menciptakan tekanan yang kita alami. Padahal, sejatinya kita
mengetahui bahwa,"kita tidak tahu kapan hari itu akan tiba". Lalu untuk apa, kita
tanamkan beban itu dalam pikirkan kita, yang justru membuat kita tidak lagi
bersukacita dalam masa pengharapan (adven) ini?
Komentar
Posting Komentar