Jelaslah
bagi kita, bahwa ketika seseorang mengasihi ataupun mencintai hikmat, maka hal
itu yang menjaga kita. Saat kita menjunjung hikmat dalam melakukan dan
memutuskan apapun, kitapun akan ditinggikan oleh hikmat. Bahkan hal itu juga
yang nantinya membuat diri terhormat dan mahkota yang paling indah dibanding
mahkota apapun di dunia.
Apakah
hikmat itu merupakan pelajaran yang dapat di bangku sekolah? Kita sadar bahwa
itu tidak mungkin didapatkan dalam sebuah pelajaran di bangku sekolah.
Apakah
hikmat itu sebuah bawaan dari lahir dan diberikan hanya kepada beberapa orang
saja? Kita sadar bahwa itupun adalah kekeliruan. Sebab, kitapun tau ada banyak
orang berhikmat dahulunya juga bukan orang berhikmat dan melakukan hal-hal
bodoh. Bahkan ada pula orang berhikmat di masa lalu, namun seketika berubah
karena situasi dan keadaan yang tidak pernah dia harapkan seperti sebelumnya.
Apakah
hikmat itu merupakan sesuatu yang didapatkan sekali dan bertahan selamanya?
Kitapun sadar bahwa hal itu tidak didapatkan sekali dan mampu bertahan
selamanya.
Jadi
bagaimana?
Hikmat,
tentu didapatkan dari sikap hidup yang takut akan Tuhan. Karena takut akan
Tuhan adalah permulaan dari segala pengetahuan. Belajar dari Amsal 4:1-9,
hikmat juga didapatkan dari proses pembelajaran dan pendengaran akan nasihat-nasihat
baik oleh orang tua kita atau siapapun itu.Sebab setiap dalam diri setiap
orang, Roh Kudus juga bekerja untuk memberikan kita hikmat dalam menjalani
kehidupan ini. Cara mengujinya
sederhana, Yakobus 3:13-18 menjelaskan dan membedakan tentang hikmat yang
datang pertama-tama murni, selanjutnya
pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan
buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Itulah mengapa,
orang yang mencari kedamaian disebut sebagai manusia. Sementara orang yang membagikan
kedamaian disebut manusia yang berhikmat. Sebab, buah manusia yang berhikmat
adalah kedamaian bagi dirinya juga orang lain yang berjalan berdampingan
bersamanya.
Nah,
apakah menjadi berhikmat ataupun mencintainya adalah kesusahan?
Bisa
ia, bisa tidak! Seperti seekor kerbau yang terbiasa berendam dalam lumpur. Pastilah,
untuk berendam di air kolam yang bersih adalah kesusahan baru baginya. Ini
hanya sebuah kebiasaan! Kebiasaan untuk selalu mencari hikmat dalam setiap hal
yang terjadi dalam kehidupan, atau membiasakan diri untuk terbawa pada situasi
dan suasana hati yang muncul.
Sederhananya
begini, hidup terisi oleh kesempatan untuk memilih antara membuat suatu hal
menjadi persoalan besar (disebut tidak berhikmat) atau membiarkannya berlalu
begitu saja sambil menyadari bahwa semua akan baik-baik saja dalam penyerahan
diri dan pengharapan pada pertolongan Tuhan (disebut berhikmat).
Loh,
jadi hikmat bukan sebuah solusi? Kadang solusi, kadangpun hanya sebuah
penerimaan. Justru yang menjadi pertanyaan adalah apakah hikmat membuat segala
sesuatunya berjalan sempurna? Kalau sempurna yang dimaksudkan adalah tidak
adanya masalah dan penderitaan, maka itu hanya sebuah fantasi.
Bagi
saya, pilihan penulis Kitab Amsal tentang orang tua sebagai pemberi hikmat dan
anak sebagai penerima hikmat. Dikarenakan seorang anak akan lebih powerfull
dalam kehidupan ini. Sesuatu yang membuatnya untuk tidak sungkan sungkan dalam
memperdebatkan, berkonfrontasi atau bahkan memperjuangkan sesuatu yang
diyakininya. Namun, sikap demikian ternyata membuat hidup semakin tidak
tentram. Karena itulah, seumpama orang tua yang selalu menikmati dan menghidupi
sebuah ketentraman, kedamaian dan demikianlah hikmat itu diberikan kepada kita
yang mungkin saat ini masih sangat powerfull untuk selalu membuat segala sesuatunya
berjalan sempurna, bahkan pada hal kecil sekalipun.
Karena
itulah, saat berjumpa dengan masalah dan penderitaan. Hikmat tidak membawa kita
pada sebuah kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran berlebihan. Sebaliknya,
hikmat membawa kita pada sebuah kedamaian. Sebab kitapun paham, bukan kehidupan
tidak ada kedamaian, namun dalam reaksi kita pada kehidupanlah yang sering kali
membuat tidak adanya kedamaian.
Semakin
membingungkan ya?
Hahaha,
itulah hikmat… sesuatu yang
membingungkan kita, lalu kemudian memaksa kita untuk berhenti berfikir dan
menemukan kedamaian dalam sebuah penyerahan dan pengharapan kepada kehendak
Tuhan dalam setiap persoalan, serta kehidupan yang kita jalani.
Komentar
Posting Komentar