Saudaraku, hari ini kita berefleksi tentang kehidupan
Yesus sebagai Hamba ataupun ada pula yang menafsirkannya sebagai Mesias yang
dinubuatkan Nabi Yesaya dalam Matius 12:15-21. Adapun kehidupan tersebut ditandai dengan sebuah kesetiaan. Sikap
yang saat ini sangatlah mahal harganya, baik itu dalam hubungan percintaan,
pekerjaan ataupun pelayanan maupun kepemimpinan. Tapi demikianlah kenyataanya,
bahwa kesetiaan selalu menunjukkan kualitas iman kehidupan seseorang, khususnya
saat diperhadapkan dengan panggilan ataupun kehendak Tuhan.
Saat panggilan ataupun kehendak itu tidak
diperhadapkan pada ketidaknyamanan kita akan lebih mudah setia. Namun hal
berbeda akan mungkin terjadi saat penggilan dan kehendak Tuhan memperhadapkan
kita kepada ketidaknyamaan. Sekalipun, kita selalu mengetahui dan diingatkan
bahwa rancangan Tuhan selalu baik.
Seperti kisah seorang raja yang jarinya terluka saat
dia melakukan perburuan dan asistennya. Raja itu memanggil tabib tua seperti
yang disarankan asistennya untuk merawat jarinya. Tabib tua itupun melakukan
tugasnya. Namun, Raja cemas apakah jarinya bakal baik atau buruk dan asistennya
hanya menjawab “Baik, buruk, siapa yang tahu?”
Beberapa hari kemudian, jari Raja ternyata terinfeksi
hingga jarinya bengkak dan harus di amputasi. Karena kejadian itu, Raja menjadi
marah kepada asistennya yang menyarankan tabib tua itu. Dengan penuh amarah ia
mengatakan, “Baik? Buruk? Aku tahu ini Buruk!” lalu menjebloskan asistennya itu
ke penjara karena sarannya yang salah. Setelah menjebloskan asisten itu, raja
berseru “nah sekarang bagaimana perasaanmu, ha? Asistennya menukas “Baik?
Buruk? Siapa yang tahu? Rajapun semakin marah dan mengumpatnya, “Dasar Sinting!”
Setelah amputasi, Rajapun kembali berburu. Kali ini ia
dipaksa mengejar buruannya makin ke pelosok hutan dan terpisah dari
rombongannya. Sampai ketika penghuni hutan yang tidak mengenal raja itu
menangkapnya sebagai orang asing untuk dijadikan korban bagi dewa dewa mereka.
Bukan kepalang takutnya raja itu. Singkat cerita, dalam proses persembahan
tersebut, kepala suku penghuni hutan itu menemukan bahwa salah satu dari jari
raja tidak lengkap. Sehingga ia tidak layak untuk dijadikan sebagai korban bagi
para dewa. Alhasil, Raja tersebut dibebaskan dari korban persembahan.
Betapa beruntungnya dia, mungkin bila jarinya tidak
diamputasi. Hari itu ia telah menjadi korban persembahan para dewa. Iapun
teringat akan asisten yang dijebloskannya, dan mendatanginya untuk meminta maaf
atas perbuatannya. Menariknya, asisten itu menjawab permintaan maaf raja dengan
keheranan, ia mengatakan “Apa maksud paduka memenjarkan hamba sebagai sesuatu
yang buruk? Justru itu baik bagi hamba, sebab kalau hamba tidak dipenjara
mungkin hamba akan mengikuti paduka dan menggantikan paduka sebagai persembahan
para dewa”.
Ya, kira kira demikianlah
kisah ini memberikan pesan moral kepada kita bahwa kita hanya perlu menyadari
baik ataupun buruk itu hanyalah misteri. Kepastiannya, bahwa setiap rancangan
dan kehendak Allah selalu baik bagi kehidupan orang yang percaya dan berserah.
Oleh sebab itu, jangalah situasi dan keadaan membuat kita tidak lagi setia
kepada Tuhan. Namun sebagai manusia pula, saya menyadari bahwa mungkin kita
tidak pernah sekuat dan semampu Yesus Kristus untuk selalu setia kepada setiap
orang yang percaya dan berharap padaNya. Sebab kita memiliki kelamahan dan
kerapuhan yang sering kali membuat kita lari dari panggilan atau mengingkari
kehendak Allah. Tapi setidaknya pengakuan itu membuat kita dapat menjadi
seorang Yunus yang dalam perut ikan berdoa bukan hanya untuk menyadari kesalahannya, tetapi juga
berseru kepada Tuhan dan mengucap syukur bahkan bernazar akan menjadi setia
dalam penggilan Tuhan.
Hal kedua
yang dapat kita teladani adalah kehidupan Yesus kala itu sangatlah kontras
bedanya dengan orang-orang Kristen yang lebih sering ingin terlihat kesuksesan
dan penuh kuasa dalam hal apapun.
Bayangkan saja, ketika banyak orang ingin disaksikan
dan terlihat sebagai yang penuh kuasa dalam; berdoa, berkhotbah ataupun sukses
dalam perjalanan hidupnya (menginspirasi kehidupan banyak orang). Yesus malah
memilih menyingkir dari kehidupan demikian tersebut, dengan melarang
orang-orang yang disembuhkannya, memberitahukan siapa Dia. Teladan kehidupan
untuk menjadi rendah hati, meskipun pada akhirnya semakin banyak orang
mengikutiNya untuk disembuhkan. Suatu sikap yang juga memperlihatkan kepada
kita bahwa Yesus ingin orang-orang yang mengikutinya melihat bahwa tugasnya
bukan sekedar menjadi penyembuh secara jasmani. Melainkan seperti yang
diungkapkan Nabi Yesaya dalam nubuatannya, dalam Yesaya 42:3 bahwa dalam Yesus
ada kesembuhan secara jasmani dan rohani. Atau dengan kata lain, Yesus
sepertinya tidak menginginkan orang-orang itu datang kepadaNya dengan motivasi
yang salah yakni hanya ingin mendapatkan kesembuhan jasmani.
Hal
terakhir yang dapat kita pelajari dalam refleksi saat ini adalah situasi dan
keadaan yang nyaman tidak menentukan seseorang dengan mudah dapat melayani dan
menjadi berkat bagi orang lain. Sehingga ketika saudara berfikir, bahwa orang-orang
takkan pernah menerima perkataan dan nasihat kita kecuali mereka berhutang
budi, menjadi pembelanya atau meraih gelar akademik adalah kekeliruan. Sebab
kitapun sering mendapati bahwa banyak orang yang tidak melakukan kebaikan
serupa seperti yang kita lakukan. Ataupun situasi dan keadaan yang nyaman juga
tidak memudahkan kita untuk melayani dan menjadi berkat pada sesama. Belajar
dari situasi di Amos, maka kita menemukan bahwa Kehidupan bangsa Israel pada zaman nabi Amos berada
pada kejayaan karena banyak wilayah yang sudah dikuasai, secara ekonomi banggsa
Israel makmur serta situasi politik yang aman. Tetapi hidup keseharian bangsa
ini sungguh tidak berkenan dihadapan Tuhan, ketidak adilan serta penyembahan
berhala. Mengubah keadilan menjadi sebuah kejahatan dan menghempaskan kebenaran
ke tanah. Bangsa ini benar-benar jauh dari Tuhan, untuk itulah Tuhan menyuruh
Nabi Amos mengingatkan bangsa Israel akan dosa-dosanya di hadapan Tuhan.
Ibu Teresa pernah berkata, “Kita tidak bisa
melakukan hal-hal besar di dunia ini. Kita hanya dapat melakukan hal-hal kecil
dengan kasih yang besar.” Kadang-kadang rencana mulia kita untuk melakukan
hal-hal baik di situasi dan keadaan berbeda justru dapat mengganggu kesempatan
kita untuk melakukan hal-hal kecil saat ini. Karena itu, dalam hal ini nasihat
Ibu Teresa memang benar. Kita tidak dapat mengubah dunia, tetapi untuk membuat
dunia ini lebih baik, kita perlu mengubahnya dengan memusatkan perhatian pada
tindakan-tindakan kecil dari kebaikan, kesempatan-kesempatan yang bisa kita
lakukan sekarang tanpa menunggu situasi dan keadaan berubah. Sebab bila kita
memberikan perhatian besar kita untuk melayani dan berlaku kebaikan kepada
seluruh ciptaanNya, maka saat yang sama kita memperoleh kenikmatan sekaligus
membuat dunia ini setidaknya sedikit lebih baik. Tentu, dengan keikhlasan dan
ketulusan pastinya.
Komentar
Posting Komentar