Mazmur
91:14-16 beberapa pekan terakhir ini menjadi ayat yang tampaknya sangatlah
disenangi oleh kalangan orang percaya. Sebab bila kita membaca ayat tersebut,
bahkan dalam keseluruhan pasal 91. Maka hati kita benar-benar diteguhkan
kembali untuk menghadapi setiap masalah. Sebab, dalam ayat tersebut dituliskan
tentang janji-janji Allah yang kita sadar bahwa IA tidak akan pernah
mengingkarinya.
Tetapi
kitapun menyadari bahwa janji-janji tersebut hanya berlaku kepada orang-orang
yang hatinya melekat kepada Tuhan. Sehingga ia mendapatkan perlindungan, dalam
seruannya Tuhan menjawab, dalam setiap masalah (bukan tidak ada masalah) Allah
menyertainya, dsb. Sedang mereka yang tidak melekatkan hatinya pada Tuhan tidak
memiliki jaminan untuk mengalami hal-hal yang Allah janjikan tersebut.
Karena
itu yang menjadi pertanyaan, apakah hati kita sudah melekat pada Tuhan?; Hati
mana dan seperti apa yang melekat pada Tuhan?
Bila
kita memulai pembacaan ini dari ayat pertama, maka kita menemukan pertama, hati yang melekat pada Tuhan
adalah hati yang mau berdamai dengan ketidaksempurnaan dan kerapuhan yang dimiliki.
Sebab, pada hakikatnya mereka yang merasa diri sempurna dan kuat tidak
membutuhkan perlindungan dan penyertaan Tuhan. Sebaliknya mereka yang berdamai
dengan ketidaksempurnaan dan kerapuhannya, menyadari bahwa dalam kesemua itu,
KasihNya tampak begitu sempurna. Persis seperti kisah seorang Pegawai Baru dalam satu pabrik
tekstil menemukan sebuah
tulisan “Jika benang anda kusut, datanglah kepada Trainer anda”. Ia membaca dan memahami tulisan tersebut. Sampai suatu ketika, situasi yang tidak dia inginkan terjadi, membuat salah satu benangnya menjadi kusut. Ia dengan
pengetahuannnya mencoba memperbaiki agar benang tadi tidak kusut kembali. Ia
mengabaikan tulisan yang sebelumnya telah ia baca dan beranggapan bahwa dengan
usahanya yang terbaik, dia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dengan
sepengetahuannya. Sampai akhirnya benang tadi semakin menjadi kusut
dan waktu yang telah diberikan kepadanya hampir habis. Lalu trainernya yang sejak tadi memperhatikannya
mendatangi pegawai baru itu, katanya “Kenapa wajahmu tampak muram dan sedih?
Dengan ketakutan dan khawatir ia mengatakan bahwa Benangnya kusut dan sejak
tadi ia telah berusaha seterbaik mungkin, namun ia tetap gagal. Dengan penuh
simpati Trainer itu mengatakan kepadanya, “Bukankah dari awal, kamu sudah
membaca tulisan dipapan itu. Saat benangmu kusut maka datanglah kepadaku. Tapi
pikirmu, usahamu adalah yang terbaik. Padahal bukan itu yang terbaik,
mendatangiku adalah pilihan terbaik!”
Apakah
saudara menemukan pesan dari kisah ini?
Ya,
kira demikianlah yang sering terjadi saat masalah, kekacauan dan kondisi terasa
sulit. Di awal kita selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan berfikir untuk
melakukan semua yang terbaik. Hal ini dimungkinkan karena kita berfikir bahwa
hidup ini adalah perjuangan. Segala sesuatunya harus diperjuangkan dan tidak
boleh bermalas-malasan. Sayapun tidak mengikari hal tersebut. Tapi haruslah
disadari bahwa setiap dari kita memiliki ambang batas diri. Kita memiliki
kelemahan dan kerapuhan dalam diri. Perasaan seperti pegawai baru tadi yang
berjuang dan cemas bila kedapatan benangnya kusut telah membuatnya menghabiskan
banyak energi dan waktu. Sampai akhirnya diapun menyadari, dan kitapun
menyadari bahwa usaha kita tidak mendapatkan hasil lalu mendatangi kepada
Tuhan. Atau dengan kata lain, pertolongan Tuhan selalu menjadi pilihan terakhir
saat kita telah mencapai pada ambang batas diri. Alhasil sikap demikian sama
sekali tidak menunjukkan bahwa hati kita melekat pada Tuhan. Sebab, mereka yang
melekatkan hatinya pada Tuhan, akan selalu mengandalkan Tuhan dari awal, selama
proses dan setelah semuanya berakhir. Itulah mengapa dikatakan pemazmur, bahwa
orang-orang yang melekatkan hatinya pada Tuhan akan datang, duduk dan bermalam dalam
naungan Tuhan. Sebab ia menyadari, bahwa dia rapuh dan lemah, namun dalam hal
itulah sempurna KasihNya. (2 Korintus 12:9)
Kedua, hati
yang melekat pada Tuhan didalamnya bukan tidak ada kekhawatiran tetapi dalam
khawatirnya, hatinya tetap menaruh harapan pada Allah sebagai penolongnya. Ya,
bukan tanpa ketakutan dan kekhawatiran. Tetapi dalam ketakutan dan
kekhawatiranpun, kita harus menaruh harapan kita pada Allah yang selalu setia
dan menepati janjiNya.
Hal
ini sangatlah penting dan terutama untuk mencapai kebahagian dan ketenangan
dalam hidup. Sebab kebanyakan orang saat ketakutan dan kekhawatiran merasuki
hidupnya, ia akan sangat serius dan berusaha mencari dan menganalisis yang
salah untuk menghilangkan perasaan ketakutan dan kekhawatiran itu. Seolah-olah
orang yang memiliki perasaan itu adalah orang yang penuh dosa. Padahal tidak
demikian, justru bila perasaan itu datang dalam diri saudara, ketimbang
melawannya, lebih baik menaruhkan dan meletakkannya pada Tuhan agar lebih
tenang. Sebab, keyakinan akan janjiNya yang selalu setia dan menyertai akan membuat
kitapun paham bahwa semua inipun akan berlalu dan dapat kita lewati bersamaNya.
Tapi, perlu diingat juga jangan menjadi orang yang
tidak berhikmat dan tidak bermawas diri, sampai menantang dan melawan maut. Itu
hanyalah kebodohan! Jangan minum racun untuk membuktikan hati yang melekat pada
Tuhan. Tetapi percayalah sekalipun musuh-musuhmu menghidangkan racun untukmu,
tanpa seizin dari Tuhan. Sehelai rambutpun tidak akan hilang daripadamu.
Ketiga, seorang yang melekatkan hatinya pada Tuhan
akan selalu tenang dan terbuka pada segala kemungkian. Tentu, dengan keyakinan
bahwa semua akan baik-baik saja dalam naunganNya. Mengenai hal ketiga ini, adalah kisah tentang seorang
petani dan kakek tua yang terkenal bijaksana. Suatu hari, si petani mendapati
bahwa kerbau yang membantunya untuk membajak sawah ternyata mati. Ia merasakan
kesedihan yang mendalam, sebab tanpa kerbau tersebut sulit baginya menuntaskan
pekerjaannya untuk membajak sawah. Lalu ia mendengar tentang seorang kakek tua
yang terkenal bijaksana. Petani itupun mendatanginya untuk meminta saran, sebab
pikirnya ini adalah musibah bagi hidupnya. Tapi setelah petani itu menceritakan
semuanya, kakek tua itu hanya menjawab “Baik atau buruk, siapa yang tahu?”Sebuah
jawaban yang sangat membuat dia marah, karena merasa tertipu atas kabar
orang-orang yang mengatakan bahwa kakek tua ini seorang yang bijaksana.
Sampai
keesokan harinya ia menemukan kuda tidak bertuan, masih muda dan kuat berada didekat
lahannya. Petani itupun menangkap dan merawat kuda itu untuk membantu pekerjaannya.
Sungguh petani itu bahagia dan teringat akan kakek tua tersebut, lalu
mendatanginya untuk meminta maaf atas responnya kemarin. Tapi, seperti jawaban
sebelumnya, kakek tua itupun berkata “Baik atau buruk, siapa yang tahu? Merasa
tidak peduli dengan jawaban tersebut, si petanipun pulang kerumahnya.
Namun
sesuatu yang tidak dia harapkan terjadi lagi, ternyata anak tunggalnya yang
ikut bekerja membantunya terjatuh dari kuda yang ditungganginya dan membuat
kakinya patah. Seperti sebelumnya, karena kejadian tersebut petani itupun
mendatangi lagi kakek tua itu, untuk memberikan pengakuan kepada kakek tua
tersebut.
Tidak
berubah, jawaban kakek tua itu tetap sama “Baik atau buruk, siapa yang tahu?”.
Mendengar jawaban itu lagi, petanipun sangat marah dan bersumpah untuk tidak
akan datang lagi kepadanya. Sampai keesokan
harinya, terdengar kabar bahwa lahan petani tersebut mengalami longsor
dan beruntunglah mereka karena berdiam dirumah untuk merawat kaki anaknya yang
patah.
Pesan
moral cerita ini merupakan pelajaran yang bermanfaat untuk dapat memiliki hati
yang melekat pada Tuhan. Sebab orang yang melekatkan hatinya kepada Tuhan
menyadari bahwa masa lalu, masa kini dan masa depan hanyalah misteri. Namun
sering kali kita membesar-besarkan sekenario yang ada dikepala kita mengenai
semua hal buruk yang akan terjadi. Pada sebagian besar kesempatan, Tuhan
memperlihatkan bahwa yang kita pikirkan tersebut justru sering kali salah.
Maka
dari itulah, pemazmur bukan hanya memberikan kita pengetahuan tentang janji
Allah pada orang-orang yang melekatkan hatinya kepada Allah. Tetapi, pemazmur
juga mengajak kita untuk melekatkan hati kita pada Allah. Untuk dapat tenang
dan tetap terbuka pada segala kemungkinan; untuk dapat meyakini bahwa akhirnya
semua akan baik-baik saja di dalam naunganNya.
Komentar
Posting Komentar